Hanya dalam hitungan hari kehidupanku telah berubah drastis. Ternyata memang waktu yang dibutuhkan untuk mengubah hidup seseorang itu sangatlah singkat. Bahkan perubahan yang terjadi tidaklah sedikit. Seperti yang kukatakan di awal tadi drastis hingga seratus delapan puluh derajat.
Semua orang tahu bahwa hobiku adalah nongkrong. Aku tidak pernah betah berada lama di dalam rumah terutama pada hari libur. Berapa banyak hari libur yang kuhabiskan di dalam rumah? Hmmm, biar kuhitung. Ah sepertinya hampir tidak ada! Hari libur selalu kumanfaatkan untuk pergi ke mana pun yang kuinginkan. Aku bisa pergi ke kafe, mall, bioskop, atau tempat konser. Bahkan aku biasa juga pergi ke kampus di hari libur apabila ada even yang menarik di sana. Yang jelas aku harus pergi ke luar rumah setiap hari libur. Itu adalah hal wajib yang tidak bisa lagi ditawar-tawar dalam hidupku. Entah kenapa sebabnya berada di dalam rumah membuatku bosan. Mati gaya kalau istilah anak-anak zaman sekarang. Ya, seperti itulah aku kalau dibiarkan berdiam diri di rumah. Mungkin aku bisa gila kalau dipaksa berdiam diri di dalam rumah.
Dan sekarang semua itu berubah. Duniaku seolah jungkir balik. Dengan sangat terpaksa aku justru tidak bisa meninggalkan rumah sama sekali. Ya, sama sekali. Tidak sedikit pun aku bisa meninggalkan rumah barang sejengkal sekalipun.
Hari itu cerah, seolah tidak ada tanda-tanda akan terjadi sesuatu yang buruk. Pagi itu, aku masih merasakan euforia wisuda yang baru saja kurayakan. Aku bahkan belum sempat mencari pekerjaan. Betapa tidak, aku baru saja menerima ijazahku. Mendapatkan pekerjaan adalah agendaku setelah selesai wisuda. Tapi apa daya, tak lama berselang aku telah ditetapkan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP).
Aku sedang duduk di ruang tamu, menikmati sarapan bersama Mama dan Papa, ketika telepon di rumah berbunyi. Mama yang mengangkat telepon tersebut. Wajahnya berubah tegang saat mendengar suara di ujung sana. “Sari, ini dari tim satuan tugas penanganan Corona,” katanya sambil menyerahkan telepon padaku.
Dengan jantung berdebar, aku mengambil telepon itu. “Halo?”
“Sari, kami dari tim satuan tugas penanganan Corona. Kami mendapat laporan bahwa beberapa peserta wisuda yang hadir bersamamu telah dinyatakan positif mengidap virus COVID-19. Karena itu, kamu yang berada dalam satu ruangan dengan mereka juga harus melakukan karantina mandiri selama empat belas hari.”
“Ap-apa?” Aku hampir tidak bisa percaya dengan apa yang kudengar. “Tapi saya merasa sehat-sehat saja.”
“Itu memang bisa terjadi. Banyak orang yang tidak menunjukkan gejala tetapi bisa menjadi pembawa virus. Untuk mencegah penyebaran lebih lanjut, kamu diwajibkan untuk melakukan isolasi mandiri di rumah. Jangan pergi ke mana pun dan hindari kontak dekat dengan anggota keluarga lainnya.”
Aku merasa seperti dihantam palu. Tiba-tiba saja, dunia yang kukenal berubah total. Aku tidak bisa pergi ke mana pun. Tidak bisa bertemu teman-temanku, tidak bisa menikmati hari-hari di luar rumah seperti biasa.
Setelah telepon itu berakhir, Mama dan Papa menatapku dengan cemas. “Kita harus bagaimana?” tanya Mama, suaranya bergetar.
“Kita harus mengikuti instruksi mereka, Ma,” jawabku dengan suara yang mencoba tegar. “Aku harus isolasi mandiri di rumah selama empat belas hari. Tidak boleh keluar rumah sama sekali.”
Papa mengangguk pelan. “Kami akan mendukungmu, Sari. Kita akan melalui ini bersama-sama.”
Hari-hari pertama isolasi terasa sangat sulit. Aku merasa seperti burung yang biasa terbang bebas, tapi sekarang harus hidup dalam sangkar. Tidak peduli apakah sangkar itu sangkar emas atau sangkar apa pun. Sekarang aku bisa mengerti bagaimana perasaan satwa liar yang ditangkap dan dikurung dalam kandang. Mereka tentu menderita frustrasi dan ingin bebas. Aku bersyukur bahwa yang kualami saat ini hanya sebatas kebosanan. Mungkin penderitaanku saat ini belumlah sebanding dengan satwa liar yang direnggut kebebasannya untuk dikurung.
Selain kebosanan, hal yang membuatku tertekan adalah membaca berita. Dalam keadaan seperti ini, aku tidak memiliki banyak pilihan kecuali mengakses internet untuk menemukan hal-hal menarik yang bisa kubaca. Tapi justru situs-situs di sana banyak didominasi oleh berita tentang Corona. Berita-berita di internet maupun televisi hampir selalu mengabarkan kematian dan kasus-kasus baru infeksi Corona. Mereka seolah menebar ketakutan. Menurutku, bukankah sebaiknya cukup informasi penting saja yang disampaikan? Tidak perlu sampai jumlah kematian dan efek mengerikannya. Aku benci mereka yang selalu menebar ketakutan. Mereka membuatku depresi.
Barangkali benar bahwa yang membuat orang menderita dari penyakit ini adalah perasaan tertekannya. Perasaan tertekan akibat terus menerus menyaksikan berita-berita tentang penyakit tersebut. Bahkan orang yang belum tentu sakit pun bisa-bisa menjadi sakit. Aku tidak ingin menjadi salah satu dari mereka yang sakit karena depresi. Kucoba mengalihkan diriku dari berita-berita seperti itu kepada hal-hal lain yang lebih menarik. Tapi dengan keadaan terkarantina seperti ini tidak banyak hal yang bisa kulakukan. Aku telah membaca habis semua koleksi novel dan komikku, menonton Netflix secara maraton, hingga menyaksikan konten-konten viral di YouTube. Sekarang aku tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Depresi? Ya mungkin saja. Tapi apa yang harus kulakukan? Haruskah kuhubungi psikiater? Ah sepertinya terlalu jauh. Lagipula apakah ada psikiater yang mau mendatangi seorang bersatus ODP? Mungkin ada, tapi aku belum merasa harus sejauh itu hingga harus menemui psikiater.
Yang kulakukan berikutnya adalah menghubungi teman-teman lamaku. Kuharap itu bisa mengobati kerinduanku atas mereka selain tentunya mengisi waktuku selama minimal empat belas hari ke depan. Lyna, salah satu teman baikku yang kuhubungi menjadi sasaran curhatku tentang keadaan ini. Ia adalah pendengar dan penyimak yang baik. Lebih dari itu, Lyna juga pemberi saran yang baik. Ia memberiku saran agar mengikuti sebuah grup online. Lyna memperkenalkanku pada aplikasi Zoom yang membuat orang bisa melakukan pertemuan virtual. Aku memerlukan waktu sekitar satu jam untuk bisa familiar dengan aplikasi yang diperkenalkan oleh Lyna ini.
Setelah familiar barulah kuakses grup tersebut berdasarkan tautan yang dikirim oleh Lyna. Ternyata aplikasi ini cukup menarik. Kita bisa melihat tampilan secara langsung dari sekian banyak orang seperti sedang rapat namun semua peserta berada di tempat yang berbeda-beda. Aku memang telah terbiasa menggunakan panggilan video Whatsapp. Tapi tetap saja Zoom terasa menarik. Terlebih jumlah peserta yang bisa terlibat melebihi dari yang bisa dilayani oleh Whatsapp. Grup yang dikatakan Lyna terdiri atas mereka yang sama sepertiku. Orang-orang yang termasuk kelompok ODP. Dengan demikian kami bisa saling berbagi. Di samping itu, karena kami semua adalah ODP maka kami lebih bisa memahami satu sama lain.
Setidaknya itu menurut Lyna. Mudah baginya untuk berkata karena dia tidak termasuk ODP. Beruntung ia tidak lulus dan diwisuda bersamaku. Hanya sekian jam keterlambatannya mendaftar sidang tapi justru membuat dirinya selamat dari hari wisuda celaka itu. Dari situ aku bisa menyimpulkan bahwa terlambat lulus bukanlah malapetaka. Setidaknya itu berlaku bagi Lyna. Ia memang sungguh beruntung. Akhirnya aku mengikuti apa yang disarankan Lyna. Aku memasang aplikasi Zoom di ponselku. Lalu aku mengikuti komunitas ODP yang ia rekomendasikan. Kuharap itu bisa membuatku merasa lebih baik.
---
Aku memang telah terbiasa menggunakan panggilan video Whatsapp. Tapi tetap saja Zoom terasa menarik. Terlebih jumlah peserta yang bisa terlibat melebihi dari yang bisa dilayani oleh Whatsapp.
Grup yang dikatakan Lyna terdiri atas mereka yang sama sepertiku. Orang-orang yang termasuk kelompok ODP. Dengan demikian, kami bisa saling berbagi. Di samping itu, karena kami semua adalah ODP, maka kami lebih bisa memahami satu sama lain.
Setidaknya itu menurut Lyna.
Mudah baginya untuk berkata, karena dia tidak termasuk ODP. Beruntung ia tidak lulus dan diwisuda bersamaku. Hanya sekian jam keterlambatannya mendaftar sidang, tapi justru membuat dirinya selamat dari hari wisuda celaka itu.
Dari situ aku bisa menyimpulkan bahwa terlambat lulus bukanlah malapetaka. Setidaknya itu berlaku bagi Lyna. Ia memang sungguh beruntung.
Akhirnya aku mengikuti apa yang disarankan Lyna. Aku memasang aplikasi Zoom di ponselku dengan sedikit keraguan. Aku belum pernah menggunakan aplikasi ini sebelumnya, tapi demi mengisi kekosongan waktu selama isolasi, aku bersedia mencoba apa saja. Lyna mengirimkan tautan undangan untuk bergabung dengan komunitas ODP yang ia rekomendasikan. Dengan perasaan campur aduk, aku pun mengakses tautan tersebut dan memasuki ruang pertemuan virtual.
Pertama kali masuk, aku disambut oleh tampilan beberapa wajah di layar, semuanya tampak serius dan tegang. Wajah-wajah ini terdiri dari berbagai usia dan latar belakang, namun satu hal yang pasti, kami semua berada di dalam rumah masing-masing, terkurung oleh keadaan yang sama.
Aku memperkenalkan diri seperti yang disarankan oleh Lyna. “Hai, nama saya Sari,” kataku dengan suara bergetar, berusaha tetap tenang meskipun hatiku berdebar kencang. “Saya baru lulus kuliah dan sekarang sedang dalam masa isolasi mandiri karena beberapa teman wisuda dinyatakan positif COVID-19.”
Setelah aku berbicara, giliran peserta lain untuk memperkenalkan diri. Mereka juga bercerita tentang bagaimana mereka bisa menjadi ODP dan menjalani isolasi mandiri. Ada yang bercerita dengan nada datar, ada yang terlihat cemas, dan ada juga yang tampak sangat putus asa. Mendengarkan cerita mereka, aku merasa seperti seorang penderita penyakit kronis yang sedang mengalami penderitaan besar akibat sakitnya itu. Padahal kami baru berstatus ODP, belum tentu kami benar-benar terjangkit virus tersebut.
Sesi pertama ini dipimpin oleh seorang pria bernama Mirka. Dia memperkenalkan dirinya sebagai mantan ODP yang telah melewati masa isolasi mandiri. Mirka bercerita tentang pengalamannya yang penuh kesendirian selama empat belas hari di rumah. “Selama waktu tersebut, saya selalu mengingat akan kematian,” katanya dengan suara berat. “Saya memikirkan apa saja yang sudah dan belum saya lakukan selama hidup di dunia ini.”
Mirka melanjutkan bahwa ia bertekad, jika dirinya selamat dari Corona, maka ia akan berbagi kepada orang lain tentang pentingnya kesadaran dan pencegahan. Sekarang, setelah melewati masa isolasi, ia merasa terpanggil untuk membantu orang lain yang sedang menjalani masa yang sama. “Kita harus siap, karena tidak akan ada yang menemani kita selain Tuhan,” katanya, membuat suasana semakin tegang.
Aku mendengarkan cerita-cerita dari anggota grup lainnya. Setiap dari kami melakukan sharing atas pengalaman diri kami selama isolasi. Kami terdiri atas dua puluh orang. Entah dengan peserta yang lain, tapi dengan begini aku pribadi merasa semakin tertekan. Komunitas ini sama sekali tidak membawaku kepada perasaan yang lebih tenang. Kami malah lebih tampak seperti grup para pecandu narkotika, atau minimal orang-orang penyakitan.
Grup itu mengadakan pertemuan secara daring setiap hari pada pukul empat belas selama kurang-lebih satu hingga dua jam. Hari ini, pertemuan pertamaku di grup tersebut, membuatku justru semakin tambah tertekan. Yang mereka bicarakan selalu tentang apa yang harus dilakukan untuk menyembuhkan penyakit ini. Bagaimana kami akan diisolasi, dan harus sabar menghadapi sesak napas dan penderitaan lain sendirian.
Mirka menjelaskan bahwa kami harus siap menghadapi kemungkinan terburuk. “Ya, sendirian, karena kami akan berada di sebuah ruangan yang tidak ada seorang pun yang boleh memasukinya kecuali tenaga medis,” katanya dengan nada serius. “Di sana kami akan merasakan betapa kedekatan dengan Tuhan adalah yang terpenting. Kami harus siap, karena tidak akan ada yang menemani kami selain Tuhan.”
Aku merasa semakin tertekan dengan penjelasan Mirka. Padahal, sekali lagi, kami belum tentu telah terjangkit penyakit tersebut. Tapi kata-kata Mirka seolah mengunci pikiran kami dalam ketakutan dan kecemasan.
Pada hari pertama karantina mandiri ini, aku juga diminta memperkenalkan diri di grup. Kuperkenalkan diriku bahwa namaku Sari, pekerjaan belum ada, serta kronologi bagaimana aku bisa menjadi ODP. Sudah, seperti itu saja.
Setelah sesi perkenalan, pertemuan dilanjutkan dengan sesi diskusi yang dipimpin oleh Mirka. Ia berceramah panjang lebar tentang pentingnya menjaga kesehatan mental selama isolasi. Namun, entah mengapa, caranya berbicara justru membuatku semakin cemas. Ia terus-menerus mengingatkan kami tentang kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi jika kami terinfeksi.
“Jangan pernah lengah,” katanya dengan nada tegas. “Kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Siapkan diri kalian untuk yang terburuk.”