Cinta Corona

Rizki Ramadhana
Chapter #2

2

Mama pergi berbelanja keesokan harinya. Ia menanyakan apakah aku akan baik-baik saja di rumah. Kukatakan bahwa aku tentu akan baik-baik saja.

Wajar ia bertanya demikian, karena ia tahu bahwa aku bukan orang yang akan tahan berlama-lama di rumah. Sebelum ini, ia selalu mendapati bahwa walaupun hari libur atau sedang tidak ada kelas, jarang sekali aku menghabiskan waktu di rumah. Pasti ada saja tempat untuk kudatangi di luar sana.

Kini, selama empat belas hari, aku harus mengurung diri. Memisahkan diri dari masyarakat agar tidak menulari mereka andai aku memang membawa virus itu. Sebenarnya aku sendiri lebih takut tertular daripada menulari.

Mama melambaikan tangannya dari jauh sebelum pergi. Sedih juga rasanya tidak bisa menyentuh dirinya. Biasanya aku selalu mencium tangan Mama, entah aku atau beliau yang hendak pergi. Kini kami hanya bisa saling berkomunikasi sambil berjauhan.

Sesi hari itu kembali dimulai tepat pukul dua siang. Aku membuka Zoom dan melihat semua peserta di sana. Mereka semua sudah siap di depan layarnya masing-masing.

Ada satu sosok yang kudapati baru. Ia tidak kulihat kemarin. Memang aku sendiri juga tidak terlalu hapal dengan nama-nama yang hadir kemarin. Mereka semua sama-sama masih baru dalam hidupku.

Tapi setidaknya aku bisa melihat seseorang yang belum pernah kulihat kemarin. Ia nampak terpisah dua orang di kiri Markus.

Mirka juga tidak memperkenalkan orang itu sebagai anggota baru seperti halnya ia memperkenalkan dirinya kemarin. Malah justru Mirka menanyakan kabar orang itu.

“Hei, Salman. Apa kabar?” tanya Mirka.

“Baik, maaf kemarin saya nggak hadir.” Jawabnya.

Ternyata namanya Salman, pikirku.

“Ya, kami juga mencarimu. Ke mana saja kemarin?” tanya Mirka lagi.

“Ketiduran.” Kata Salman tertawa.

Beberapa orang ikut tertawa.

Ternyata ia bukan orang baru. Hanya orang lama yang kemarin absen. Orang lama yang sudah kenal akrab dengan semua orang di sana.

Salman kulihat berambut pendek, lebih tepatnya ia memiliki model rambut cepak. Ia memiliki kulit yang bersih. Tapi aku tidak melihatnya terlalu jelas. Tampilan di Zoom terlalu kecil ketika menampakkan banyak orang.

Mirka memulai sesi diskusi. Ia berceramah tentang pentingnya kita semua mawas diri dalam keadaan sekarang. Bahwa tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali mengaplikasikan social distancing. Seolah karantina mandiri ini belum cukup.

Entah kenapa, aku merasa Salman memperhatikan diriku. Padahal mungkin ia sedang menatap ke semua orang di monitor. Aku hanya ge-er sendiri, mungkin.

Mirka mempersilakan anggota grup untuk berbagi cerita. Salman mendapat giliran pertama karena kemarin ia tidak hadir. Ia tertawa saat mengetahui giliran pertamanya itu.

Lagi-lagi, aku merasa ia tertawa ke arahku.

“Baiklah, sebelumnya mohon maaf karena kemarin saya absen. Saya ketiduran.” Katanya mengulangi alasan yang telah diucapkannya tadi.

Orang-orang tertawa. Kecuali aku, yang hanya memasang senyum simpul.

“Jadi kemarin saya nonton Netflix secara marathon,” lanjut Salman. “Sehingga akhirnya ketiduran.”

Aku membetulkan posisi duduknya. Kalimat Salman tadi menarik perhatianku.

Netflix?

Ah...

“Kok nggak kerja?” tanya seorang perempuan yang kubaca di layarnya sebagai “Arin”.

“Lagi nggak ada kerjaan.” Jawab Salman.

“Yee, gabut!” timpal Linda.

Mereka semua tertawa, termasuk Mirka, dan juga... Markus.

Hei, ini pertama kalinya kulihat anak itu tertawa seceria itu.

“Ini asyiknya kalo ada Salman, suasana jadi rame.” Kata Mirka.

Yang lain bergumam mengangguk-angguk, seperti menyetujui.

“Tapi kamu merasa baik-baik ‘kan?” tanya Mirka kepada Salman.

“Ya, baik-baik.” Jawab Salman.

“Syukurlah.” Kata Mirka lagi.

“Ayo, Markus, ngomong dong!” kata Salman kepada Markus.

“Ah, nggak ah...” jawab Markus.

“Ayolah.” Bujuk Salman.

“Kalau ngomong nanti sedih.” Kata Markus.

“Sedih kenapa?” tanya Salman.

“Ya sedih. Takut gimana kalau nanti saya benar-benar positif.” Markus nampak murung.

“Itu belum pasti, Markus.” Timpal Salman.

“Hanya perlu waspada.” Mirka juga ikut menimpali.

“Ya, betul.” Kataku ikut nimbrung.

Semua orang diam, termasuk Mirka dan Salman.

“Teruskan, Sari.” Kata Mirka setelah beberapa saat hening.

Aku sendiri masih kebingungan.

Apakah mereka terdiam karena aku bicara?

Lihat selengkapnya