Cinta Corona

Rizki Ramadhana
Chapter #5

5

Setelah percakapan dengan Salman itu, aku jadi ingin menonton film. Kubuka koleksi DVD di kamarku untuk mencari apabila ada film yang menarik. Pastinya semua film di sana sudah kutonton. Tapi pasti ada juga yang ingin kutonton ulang.

Aku menemukan film Vanilla Sky dan kutonton hingga larut malam. Ya, akhiran di judulnya memang sama-sama “Sky”, tapi itu bukan film yang diberikan Salman. Tapi aku sangat menyukai ceritanya.

Pada awalnya, film ini terkesan seperti sebuah film bergenre roman biasa. Tapi semua itu berubah saat kusaksikan akhirnya. Vanilla Sky malah bisa disebut sebagai sebuah film thriller psikologis. Aku teringat pertama kali kutonton film ini. Vanilla Sky bisa membuatku memikirkan dan membayangkan terus menerus ceritanya usai film tersebut berakhir. Ya, bagiku ceritanya memang sebagus itu.

Walaupun demikian, aku masih  menunggu October Sky. Aku menantikan Salman menemukannya.

Aku masih menunggu saat itu. Saat ia memberikannya kepadaku.

Entah kapan.

Tapi sekali lagi, Vanilla Sky juga film yang cukup menarik. Bahkan pagi harinya aku menontonnya lagi. Meskipun itu berarti aku sudah menontonnya untuk yang kesekian kali.

Aku tidak akan memberitahumu tentang akhirnya. Hanya saja, aku bisa memberitahu dirimu bahwa ini juga film yang bagus.

“Tumben betah di kamar.” Kata Mama saat aku turun.

“Lho, ‘kan biasanya juga di kamar, Ma. Selama isolasi.” Jawabku.

“Ya, tapi biasanya kamu di kamar juga kedengeran langkah gradak-gruduk nggak bisa diamnya.” Kata Mama lagi.

Aku tertawa nyengir sebagai jawabannya.

“Kali ini kayak yang tenang. Kenapa? Sakit?” lanjut Mama nampak khawatir.

“Ah enggak, Ma.” Jawabku.

“Nggak biasanya saja kamu begitu.” Katanya lagi.

“Aku nonton film, Ma.” Aku menerangkan.

“Nonton film?” Mama nampak keheranan. “Di Netflix?”

“Enggak, Ma. Di laptop.” Jawabku.

“Tumben, biasanya kamu nonton kalau nggak di bioskop ya Netflix.” Mama memang tahu kebiasaanku.

“Film yang ini nggak ada di Netflix.” Terangku.

“Memangnya film apa?” Mama bertanya lagi.

“Vanilla Sky.” Jawabku.

“Film apa tuh?” Mama masih penasaran.

“Nanti kukasih filmnya deh, Ma.” Jawabku agar penasaran Mama hilang.

“Tumben kamu bisa suka sama satu film.” Sepertinya Mama masih penasaran.

“Itu film lama, tapi aku tonton lagi.” Aku mencoba menerangkan dengan singkat.

“Memangnya masih menarik kalau nonton film lama? Apa dulu belum sempat kamu tonton?” Mama seperti belum puas.

“Sudah sih, Ma. Tapi ceritanya masih asik biarpun diulang-ulang.” Aku menerangkan lagi.

“Mama kok nggak pernah bisa ya nonton film yang sudah pernah Mama tonton.” Mama mulai membandingkanku dengan dirinya.

“Tergantung filmnya mungkin, Ma. Bisa jadi Mama belum pernah nonton film yang sebagus itu.” aku berusaha menimpali perbandingannya.

“Bisa jadi. Kamu punya banyak film yang seperti itu?” tanya Mama.

“Ada, Ma. Nanti aku carikan. Aku juga lagi nunggu film October Sky.” Jawabku.

“Kok nunggu? Kamu belum punya?” tanya Mama lagi.

“Salman yang akan kasih, Ma.” Jawabku.

“Oh, teman barumu itu?” Mama nampak menyelidik.

“Iya.” Jawabku singkat.

“Dia yang mau ngasih film yang katanya bagus itu buatmu?” Mama bertanya lagi.

“Betul, Ma.” Aku lagi-lagi menjawab singkat.

“Kamu suka ya sama dia?” selidik Mama lagi.

“Loh, kok ke sana kesimpulannya?” aku tersipu.

“Ya kelihatan saja. Nggak biasanya kamu ngomongin teman cowok.” Jawab Mama.

“Bukannya sering? Aku kan punya banyak teman cowok, Ma. Bahkan beberapa ada yang pernah main ke sini.” aku mencoba menghindar.

“Iya, Mama tahu. Tapi mereka itu kan teman kuliahmu. Ke sininya juga barengan yang lain. Nggak ada yang datang khusus ke sini sendirian.” kata Mama.

“Salman juga belum pernah ke sini sendirian ‘kan, Ma?” aku bertanya balik.

“Tapi caramu ngomongin dia beda.” Mama masih menyelidik.

“Oh iya ya?” aku justru bertanya untuk menghindar.

“Iya.” Jawab Mama.

“Sudah pergi ke mana saja sama dia?” kejar Mama lagi.

“Yah Mama, kan aku ODP!” aku mengingatkan Mama.

“Oh iya lupa.” Mama tertawa.

“Yah Mama.” Kataku.

“Maaf, maaf.” Mama tersenyum geli.

“Salman juga sama sepertiku, Ma.” Kataku.

“Maksudmu, dia ODP juga?” tanya Mama.

“Iya, Ma. Seperti itulah.” Jawabku.

“Kalau dia bukan ODP juga kalian belum boleh ketemu.” Terang Mama.

“Aku ngerti.” Jawabku.

“Sabar saja ya.” Mama nampak berusaha menghibur.

Aku tersenyum dan mengiyakan. Baru pada saat seperti ini aku menyadari bahwa diriku sangat menyukai Mama.

 

Selain menonton Netflix, aku banyak menghabiskan waktu dengan bermain Instagram. Hal ini sangat jarang kulakukan sebelumnya. Aku lebih suka bermain di dunia nyata daripada di dunia maya. Tapi sekali lagi, saat ini aku tidak memiliki banyak pilihan sekarang.

Aku juga jadi betah berlama-lama menonton YouTube karena tautan-tautan yang dikirim oleh Salman. YouTube sebelumnya bukanlah pilihanku. Kau pasti sudah tahu bahwa pilihan utamaku adalah Netflix.

Sementara aku sedang terkurung seperti sekarang ini, sejumlah temanku telah mulai berkeliaran mencari pekerjaan. Dan aku hanya bisa berada di kamarku, melihat pembaruan status mereka di media sosial yang menceritakan perjuangan masing-masing. Mereka sedang melamar, memasukkan CV, bahkan ada yang sudah memasuki tahap wawancara.

Aku di sini memandangi mereka dan berusaha untuk ikut berbahagia. Walaupun sebenarnya aku iri dengan keadaan mereka semua. Tapi aku memutuskan untuk tidak memberi ruang untuk kesedihan. Maka aku memfokuskan diri melihat video-video lucu di YouTube.

Lihat selengkapnya