Cinta Corona

Rizki Ramadhana
Chapter #6

6

Malamnya aku menghabiskan waktu untuk menonton Contagion. Salman mengirimiku tautan untuk mengunduh film tersebut secara legal. Tidak seperti October Sky yang sulit ditemukan, Contagion ada di mana-mana.

Film yang dirilis tahun 2011 ini memang tidak cukup tenar untuk membuatnya masuk ke dalam Box Office pada masa itu, tapi ia cukup laku dan sukses dalam penjualannya. Mungkin tidak cukup banyak orang yang tertarik akan film ini pada tahun tersebut.

Bagaimana dengan sekarang?

Tentu saja aku yakin pasti banyak orang mencari Contagion. Film ini memuat cerita yang sama persis kejadiannya seperti Corona. Penyebarannya, gejalanya, bahkan tempat asalnya. Ini seperti sebuah film yang meramalkan masa depan.

Jika kau mengira bahwa ini adalah sebuah film yang penuh dengan teori konspirasi, maka kau akan kecewa. Film ini murni membahas penyebaran virus akibat sebuah “kecelakaan”.

Apakah Corona juga demikian?

Entahlah, kuharap juga demikian. Terlalu jahat apabila ada pihak yang berkonspirasi menggunakan nyawa manusia sebagai taruhannya. Meskipun ya, kemungkinan itu masih tetap ada. Tapi aku sendiri kurang yakin. Aku justru yakin bahwa manusia tidaklah sejahat itu.

Aku tidak akan membocorkan akhir cerita Contagion di sini. Kau bisa mencarinya sendiri di internet. Aku yakin banyak di antara kalian yang memiliki tautannya.

Yang aku kagumi dari film ini adalah kesamaannya dengan kondisi dunia saat ini. Itu saja.

Kutunjukkan film itu kepada Mama dan kami menyaksikannya bersama-sama. Tentu saja dengan tetap menjaga jarak tubuh kami.

Dan betul, itu berarti aku menyaksikannya sekali lagi, demi Mama. Aku memang tidak pernah bermasalah untuk menonton film yang sama berkali-kali. Aku rasa kau juga bisa menilai sifatku itu sejak pertama kali membaca catatan ini.

Seperti yang sudah kuduga, Mama pun menunjukkan kekagumannya akan film Contagion tersebut.

“Kok bisa persis ya?” tanya Mama.

“Ya, aku juga heran, Ma.” Jawabku.

“Semuanya benar-benar persis. Cuma nama virusnya saja yang beda.” Kata Mama.

“Kok bisa ya ada yang terilhami bikin film seperti ini? Padahal di zaman itu Mama yakin belum ada yang terbayang soal Corona. Film ini kayak tukang ramal yang bisa memprediksi masa depan.” Lanjut Mama.

“Ya, barangkali yang bikin emang tukang ramal.” Kataku tertawa.

Mama masih asyik menyaksikannya. Hingga akhirnya film tersebut berakhir, ia nampak puas dibuatnya.

“Mama harap akhir film ini bisa jadi kenyataan.” Kata Mama usah adegan penutup.

“Iya, aku harap juga begitu.” Jawabku.

Ya, kau benar, film ini berakhir bahagia. Tapi aku tidak membocorkan terlalu banyak ‘kan?

Siangnya aku kembali mengikuti diskusi grup di Zoom. Isinya sama seperti sebelumnya. Mirka selalu mengisi grup dengan ceramah dan betapa beruntungnya kami.

Ia juga menanyakan apakah di antara kami ada yang merasakan gejala Corona. Tidak ada seorang pun dari anggota grup yang menjawab bahwa mereka memiliki gejala.

Tentu saja tidak, perlu usaha lebih untuk sebuah pengakuan. Itu pun jika memang benar-benar ada di antara mereka yang menyembunyikan gejala tersebut di tubuhnya. Aku berasumsi bahwa sebagian orang di sana masih menganggap mengidap Corona sebagai aib. Aku juga tidak menyalahkan mereka. Keadaan dan media yang membuat mereka jadi berpikir demikian.

Diskusi grup dilanjutkan kembali dengan ceramah Mirka. Seperti biasa, ia mendominasi semua pembicaraan. Seperti biasa juga, aku merasa bosan dengan cara diskusi di grup ini. Mungkin ini lebih tepat bukan disebut sebagai “diskusi”, tapi “ceramah Mirka” karena peserta hanya sesekali dimintai pendapat di sela paparan yang dilakukan pria itu.

Tapi tetap harus kulakukan karena aku menghargai Lyna. Meskipun ia tidak akan tahu jika aku absen atau bahkan tidak pernah menghadiri grup lagi untuk seterusnya. Cukup kulaporkan bahwa diriku mengikuti grup ini setiap kali diadakan sesinya, maka aku yakin Lyna akan percaya. Tapi entah juga, siapa tahu Lyna memiliki teman di grup ini.

Jika tidak, dari mana ia bisa memiliki informasi tentang grup tersebut dan memberikannya kepadaku, bukan?

Entahlah, aku juga tidak terlalu memikirkannya. Satu hal yang membantu dari grup ini adalah membuatku memiliki sesuatu untuk menghabiskan waktu yang membosankan. Mungkin kau berpikir kenapa aku tidak belajar saja dan bersiap apabila dipanggil untuk wawancara atau tes dari lamaran pekerjaan.

Untuk hal ini harus kuberitahu bahwa sekarang, dengan kondisi pandemi begini, mayoritas perusahaan menunda perekrutan pegawai baru. Informasi ini kudapatkan langsung dari teman-temanku yang sedang melamar pekerjaan.

Mungkin bisnis mayoritas perusahaan di dalam negeri maupun mancanegara sedang menurun. Karena itu, alih-alih merekrut pegawai baru, mungkin mereka justru tengah melakukan perampingan pegawai dalam perusahaannya. Dengan kata lain, Pemutusan Hubungan Kerja, atau PHK, atau bisa disebut juga dengan istilah pemecatan.

Karena itulah, dengan minimnya lowongan pekerjaan yang tersedia, aku belum memiliki bayangan atau motivasi tentang apa yang harus kupersiapkan. Seharusnya memang aku belajar dan berlatih, tapi aku belum tahu apa yang harus kupelajari dan kulatih. Selain, tentunya, aku mengingat-ingat keahlian yang telah kudapatkan dari bangku kuliah.

Selebihnya, seperti yang telah kuceritakan, kegiatanku adalah begitu-begitu saja. Termasuk mengikuti diskusi atau ceramah di grup Mirka, yang untuk kesekian kalinya harus kuceritakan kepadamu, itu sangat membosankan.

Untungnya Salman meneleponku setelah sesi grup berakhir di hari tersebut. Salman memilih untuk menggunakan panggilan video seperti biasa. Itu sangat berarti bagiku, dan benar-benar mengobati kebosananku.

“Hei Sari, kau masih ingat Markus ‘kan?” tanya Salman.

Ah, kupikir dia akan menanyakan kabarku atau apa. Ternyata tentang Markus. Jangan-jangan dia menghubungiku untuk membicarakan Markus, dan bukan tentangku.

Eh, nggak boleh begitu, Markus juga temanmu, ‘kan, batinku.

“Ya, tentu saja. Kenapa?” jawabku.

“Sepertinya dia perlu teman.” Katanya lagi.

“Oh ya?” tanyaku singkat.

Bukankah kita semua perlu teman?

“Iya, kulihat ia selalu murung.” Katanya.

“Ya sih, aku juga sering melihatnya seperti itu.” jawabku.

“Kau tahu bahwa dia juga suka sepakbola?” kata Salman lagi.

“Markus? Benarkah?” aku menjadi mulai tertarik.

“Iya. Karena itu dia punya kesamaan hobi dengan kita.” Jawab Salman.

“Bagus dong kalau gitu. Kita bisa banyak ngobrol tentang sepakbola dengan Markus.” Kataku.

“Aku ingin mengajaknya main FIFA.” Lanjut Salman.

“FIFA?” aku mencoba mengonfirmasi, jangan-jangan aku salah dengar.

“Ya, kamu tahu ‘kan? Masa penggila bola nggak tahu.” Tanya Salman.

“Iya, aku tahu. Cuma penasaran aja mainnya sambil ngajak dia, dan bareng kamu juga. Caranya gimana? Main lewat X-Box?” aku mengonfirmasi.

“Begitulah, kita main FIFA di X-Box saja.” Jawab Salman.

“Gimana caranya? Berarti ‘kan kita mesti ketemu. Kamu dan aku sama-sama tahu bahwa itu nggak mungkin saat ini.” aku masih penasaran dengan rencana Salman.

“Ketemu? Kenapa harus ketemu?” ia justru balik bertanya.

“Lho, buat main X-Box, ‘kan?” aku bertanya balik.

“Waduh, Sari...” Salman tertawa.

“Kenapa?” tanyaku bingung.

“Kamu ini ‘kan sudah lama jadi penggemar bola.” Katanya.

“Iya, lalu?” aku masih belum paham maksudnya.

“Kamu nggak pernah main game bola di konsol?” tanya Salman.

“Pernah, tapi memangnya kenapa?” aku balik bertanya.

“Kamu main sama siapa saja?” ia justru balik bertanya lagi.

“Ya, sama teman-temanku, kadang-kadang.” Jawabku.

“Selalu di konsol yang sama?” tanya Salman lagi.

“Maksudmu di X-Box punyaku? Iya, pastinya.” Kini aku yang balik bertanya.

“Jadi kamu belum pernah main FIFA secara online?” tanyanya.

“Main FIFA online? Memangnya bisa?” ini hal yang baru kudengar sekarang.

Salman tertawa lagi. Sebenarnya aku tidak suka ia menertawakanku, tapi toh kubiarkan saja. Aku masih penasaran dengan rencana dirinya.

“Kamu ke mana saja, Sari? Sekarang orang main FIFA itu bareng seluruh dunia.” Kata Salman.

“Oh ya? Berarti mereka main lewat internet?” tanyaku.

“Begitulah. Konsol kita bisa kita sambungin ke internet, lalu setelahnya kita akan bisa main apa pun bareng semua orang di dunia. Untuk FIFA, kita bisa tanding sama orang-orang di negara mana pun. Jadi kita bisa kayak main Piala Dunia betulan.” Terang Salman.

“Wah, sepertinya seru ya.” Aku mulai tertarik.

“Seru pake banget, kamu harus coba. Ini akan sangat menyenangkan. Kamu jarang main game ya?” tanyanya lagi.

“Ya begitulah, aku bukan pecandu game sejati. Tapi sebenarnya aku cukup sering main. Hanya akhir-akhir ini sudah jarang.”

“Padahal kamu ‘kan punya X-Box, berarti selama ini kalau nggak main sendiri, kamu mainnya sama teman-teman saja di rumah?” tanya Salman.

“Iya, paling kayak gitu.” Jawabku.

“Sayang sekali kamu baru tahu sekarang. Nanti kita main bareng bertiga ya. Asyik lho, kamu pasti ketagihan.” Kata Salman dengan nada yakin.

“Mungkin juga, sepertinya akan asyik, dan kita nggak perlu ketemu buat bisa main.” Timpalku.

“Iya, salah satunya itu, biar nggak harus ketemu dulu.” Ia balik menimpali.

“Kayaknya aku mulai tertarik.” Kataku.

“Jangan cuma tertarik, ayo main!” ajaknya lagi.

“Eh, iya ya.” Aku tertawa.

“Nanti agak sore, gimana?” kejar Salman.

“Boleh, Markus sudah kamu kasih tahu?” tanyaku.

“Nanti aku kasih tahu.” Jawabnya.

“Memangnya dia pasti mau?” aku masih belum yakin.

“Aku jamin dia bakal mau.” Tapi nada Salman terdengar amat yakin.

“Baiklah. Nanti kasih tahu aja jam berapa mau mulai.” Kataku akhirnya.

“Siap, nanti aku kabarin. Ini pasti akan jadi seru.” Ia masih berkata dengan nada yang sangat yakin.

“Mungkin juga. Tapi memang sih aku kayaknya kuper banget. Aku baru tahu kalau FIFA bisa dimainin lewat online.” Kataku sambil tertawa nyengir.

“Yahhh, ke mana aja?” Salman tertawa.

Aku tersipu.

“Bagaimana kabarmu?” ia bertanya lagi.

Ah, akhirnya nanya kabar, setelah ngobrol begitu panjang.

“Baik, kamu sehat?” jawabku balik bertanya.

“Ya, sejauh ini aku sehat.” Jawabnya.

“Syukurlah.” Ucapku.

“Kamu sendiri gimana?” kini ia yang balik bertanya.

“Sehat juga, nggak ada gejala aneh-aneh.” Jawabku.

“Syukurlah.” Ucapnya.

“Kamu juga nggak ada gejala aneh-aneh ‘kan?” tanyaku.

“Nggak, sejauh ini nggak. Kuharap kita semua nggak akan ada yang menunjukkan atau mengalami gejala-gejala Corona.” Jawabnya.

“Nggak cuma gejala Corona, tapi gejala penyakit apa pun. Baik penyakit berat atau pun ringan. Semoga kita semua dijauhkan dari penyakit-penyakit, segala macam penyakit, apa pun.” Timpalku sambil berdoa.

“Aamiin. Doamu sudah cukup lengkap, jadi aku mengaminkan saja.” Salman tertawa.

“Jadi, bagaimana rasanya dikarantina?” ia bertanya.

“Kamu ‘kan lebih tahu, soalnya kamu lebih senior daripada aku.” Jawabku.

“Hah? Senior gimana?” ia seperti orang bingung mendengarnya.

“Ya, senior karena lebih dulu dikarantina.” Aku tertawa.

“Lah, ada juga istilah senior karantina. Kupikir di sekolah dan kuliah aja yang ada senioritas.” Timpalnya.

“Memang, karena aku yang bikin istilah itu.” kataku sambil tertawa lagi.

Salman ikut tertawa.

“Kapan bikinnya?” canca Salman.

“Baru aja tadi.” Balasku.

“Barusan banget? Waktu kita mulai ngobrol tadi, sudah kepikir belum?” selidiknya.

“Belum lah.” Jawabku enteng.

“Hebat, kamu kreatif.” Pujinya.

“Kayak gitu kok dibilang kreatif.” Aku mengelak.

“Kreatif itu nggak ada batasnya. Apa pun kreasi kita, jika kita bisa membuatnya, itu namanya kreatif.” Ia mulai berceramah.

“Berarti aku memang kreatif ya?” tanyaku sambil memuji diri sendiri.

“Iya dong, pake banget.” Salman justru memujiku.

“Berlebihan. Lebay!” seruku.

Kami sama-sama tertawa.

Kurang lebih dua jam kemudian, Salman kembali menghubungiku.

Lihat selengkapnya