Cinta Corona

Rizki Ramadhana
Chapter #7

7

Malamnya, aku makan dengan posisi terpisah dari Mama dan Papa. Mereka makan di meja makan, sementara aku di ruang tengah. Aneh rasanya, social distancing yang juga terjadi di dalam rumah.

Tapi itu memang harus aku lakukan. Berkali-kali aku mengingatkan diriku, bahwa sebagai ODP aku tidak memiliki banyak hal untuk dipertanyakan. Bahkan mungkin tidak punya sama sekali.

Mama dan Papa memang mempersilakanku untuk makan di meja. Tapi aku tidak mau. Aku tidak ingin mencelakakan mereka. Walaupun hingga saat ini aku tidak merasakan apa pun yang aneh dalam tubuhku.

Aku kembali ke kamar dan membuka ponselku. Betapa menyenangkan rasanya saat melihat nama Salman di notifikasi Whatsapp.

“Hai, maaf aku baru menghubungi.” Katanya.

“Nggak apa-apa. Ke mana saja?” tanyaku.

“Aku berusaha nyari October Sky.”

“Eh?”

“Ya, dan aku masih belum menemukannya.”

“Susah ya?”

“Ya, begitulah.”

“Jangan dipaksakan.”

“Nggak, tapi aku sudah nemu orang yang punya.”

“Oh ya?”

“Iya, ternyata ada orang yang punya DVD-nya.”

“Terus gimana?”

“Kayaknya perlu kita kirim surat.”

“Surat? Maksudnya?”

“Ya kan kita nggak tahu apa dia mau ngasih apa engga.”

“Kamu punya alamatnya?”

“Ya, aku punya alamat surat elektroniknya.”

“Kalau gitu biar aku yang kirim surat elektronik.”

“Lho, kok kamu?”

“Kan aku yang pengen.”

“Tapi aku yang janjiin.”

“Iya, tapi aku yang pengen.”

“Ha, ha, ha, kita bisa melakukan ini seharian.”

“Semalaman kali, ‘kan udah malem.”

“Oh iya, semalaman.”

Aku tersenyum.

“Jadi, mana alamat surat elektroniknya?” tanyaku.

Salman mengirimkan alamat surat elektronik orang yang dimaksud.

“Terima kasih.” Kataku.

Salman menjawabnya dengan emoticon senyum.

Setelah menerima alamat surat elektronik dari Salman, aku langsung menulis surat elektronik tersebut kepada si empunya film.

Yang terhormat Bapak Drajat. Perkenalkan nama saya Sari Asrianti. Saya berasal dari Jakarta Selatan dan saat ini saya sedang banyak membaca dan menonton film sejarah. Saya adalah salah satu penggemar film October Sky, dan saya pribadi belum pernah menyaksikannya. Saya hanya sempat melihat cuplikannya di internet dan langsung tertarik. Saya juga telah membaca sinopsisnya dari berbagai sumber dan memang benar saja adanya bahwa cerita di film tersebut telah menarik hati saya. Semua yang dijabarkan pada cuplikan maupun sinopsis yang saya temukan sungguh menginspirasi sehingga saya sangat ingin menyaksikan film itu.

Tetapi sayangnya, film tersebut bukanlah film yang masih beredar di pasaran, sehingga hingga saat ini saya belum berhasil memperolehnya. Baik format DVD maupun bentuk lunaknya di internet sudah tidak lagi tersedia di mana pun saya mencarinya.

Mohon maaf, dari informasi yang saya dapat melalui salah satu rekan saya, Bapak adalah salah satu dari sekian banyak orang langka yang memiliki film tersebut. Saya sangat tertarik kepada film itu, dan seperti yang telah saya ceritakan, saat ini amat sulit untuk menemukannya. Untuk mengobati rasa penasaran saya, saya bertanya kepada teman-teman dan juga rekan-rekan saya, hingga akhirnya saya diberi informasi berupa alamat surat elektronik Bapak. Karena itu, saya memberanikan diri untuk menulis surat elektronik ini kepada Bapak.

Jika Bapak berkenan, apakah boleh saya meminjamnya dari Bapak?

Jika Bapak berkenan, mohon kesediaan Bapak untuk menanggapi permintaan saya ini. Respon atau jawaban apa pun yang Bapak berikan akan sangat berarti bagi saya. Apa pun respon dan jawaban Bapak, saya akan hormati dan terima dengan senang hati.

Atas perhatian Bapak, saya ucapkan terima kasih banyak.

Salam hormat,

Sari Asrianti.

 

Usai mengirim surat itu, aku menghubungi Salman. Aku memberitahunya tentang surat elektronik itu. Salman penasaran dan memintaku meneruskan surat yang kutulis tersebut kepada alamat surat elektronik miliknya.

“Panjang dan resmi amat suratnya.” Kata Salman usai membaca surat yang telah kuteruskan kepadanya.

“Ya harus dong, aku kan nggak kenal sama Bapak itu. Masa aku harus kirim surat pakai gaya ‘lo’, ‘gue’, dan lain-lain. Yang ada suratku bakal langsung dia hapus dan masukin tong sampah.” Jawabku.

“Ya nggak gitu juga.” Salman tertawa. “Tapi memang harus kuakui bahwa kamu niat banget nulisnya. Sampai berbunga-bunga dan puitis gitu.” Lanjutnya.

“Masa segitu dibilang puitis sih?” tanyaku.

“Ya, menurutku sih gitu. Minimal ini memang terlihat resmi banget. Padahal urusannya cuman minta pinjam film.” Salman masih tertawa kecil.

“Namanya juga ke orang yang nggak kukenal. Apa lagi kita nggak tahu si Bapaknya itu sudah berapa umurnya. Bisa saja sudah sepuh banget ‘kan.” Timpalku.

“Bisa juga. Tapi bisa juga masih tiga puluhan tahun. Kayaknya ngapain deh orang usia lanjut pakai punya October Sky segala. Filmnya aja nggak setua itu amat.” Kata Salman.

“Iya sih, tapi bisa saja film punya dia itu sebenarnya bukan punya dia, tapi punya anaknya. Atau cucunya, atau ponakannya, banyak lah kemungkinannya. Lah kita malah jadi bahas si latar belakang si Bapak Drajat itu nih.” Timpalku lagi.

“Lho kan kamu yang mulai.” Jawab Salman sambil tertawa.

“Kok aku? Kan kamu yang duluan ngomentarin suratku sebagai surat yang resmi banget dan lain-lain itu.” balasku.

“Kamu juga mau saja terpancing oleh bahasanku yang nggak penting itu.” Salman membalas lagi, masih sambil tertawa.

“Sialan, jadi dari tadi kamu cuman mau bikin aku muter-muter bahas hal yang nggak penting?” aku berlagak kesal.

“Ya dan tidak.” Jawabnya.

“Ya dan tidak itu gimana maksudmu?” tanyaku bingung.

“Mungkin jawabannya ‘ya’ kalau membicarakan Bapak Drajat itu secara latar belakang dan tidak ada hubungannya dengan kita, maksudku aku dan kamu. Tapi setidaknya bagiku, Bapak Drajat itu menjadi sangat penting apabila dia punya filmnya.” Terang Salman.

“Kok gitu? Bedanya apa?” aku belum paham.

“Ya beda. Kalau dia punya film itu, tentu artinya dia punya suatu hal yang sangat berarti buat kamu. Dan itu artinya apa yang dia miliki juga sangat berarti buatku.” Terangnya lagi.

“Benarkah begitu?” tanyaku.

“Iya. Oh, ada yang salah ternyata.” Jawabnya.

“Hah? Apa yang salah?” tanyaku lagi.

“Tadi kurang lengkap. Pak Drajat itu jadi berarti kalau dia punya film itu dan mau meminjamkannya kepadamu.” Ia menjawab sambil tertawa.

“Ah, dasar!” aku juga jadi ikut tertawa.

“Lho, benar ‘kan? Kalau dia punya filmnya tapi nggak mau minjemin, apa artinya? Buat apa juga?” Salman tidak mau kalah.

“Lalu, kalau beliau nggak mau minjemin, gimana?” pancingku.

“Aku akan temui dia.” Jawab Salman.

“Temuin dia? Buat apa?” tanyaku.

“Ya buat minta langsung dia agar minjemin filmnya itu ke kamu dong.” Jawabnya lagi.

“Tapi, memangnya kamu tahu alamat rumah beliau?” tanyaku lagi.

“Nggak sih, tapi aku bisa cari. Apa sih yang nggak bisa dilakukan dengan gampangnya akses informasi saat ini? Cepat atau lambat pasti aku akan bisa menemukan alamatnya dan minta dia minjemin filmnya.” Jawab Salman.

“Kalau dia tetap nggak mau, gimana?” pancingku lagi.

“Akan kulakukan apa pun untuk membuat dia mau. Kalau perlu aku bawa laptopku dan kukopi isinya di rumahnya sana, akan aku lakukan. Kalau dia masih nggak mau, aku akan coba cara lain. Banyak cara yang bisa dicoba, dan aku nggak menemukan alasan kenapa nggak bisa.” Ia nampak bersemangat.

Terus terang, aku mengagumi keoptimisan dan semangatnya itu. Tidak hanya tentang hal ini, tapi aku sudah melihatnya sebagai sebuah karakter. Salman memiliki karakter pantang menyerah yang tentunya sangat penting untuk seseorang dalam meraih keberhasilan. Aku yakin ia akan menjadi orang yang berhasil.

“Memangnya, kamu akan melakukan itu semua?” tanyaku.

“Iya dong, kenapa tidak?” jawabnya.

“Kenapa kamu mau lakukan itu?” tanyaku lagi.

“Demi kamu, dan demi melunasi janjiku kepadamu ‘kan. Aku sudah berjanji, dan aku akan melakukan apa pun agar janjiku itu kupenuhi. Terlebih lagi, janjiku itu kepada kamu. Pasti aku penuhi, lihat saja.” Salman nampak masih sangat bersemangat saat mengucapkan ini.

Lagi-lagi, aku kembali terkagum-kagum atas dirinya. Semagatnya dalam memenuhi janjinya kepadaku itu yang membuatku semakin kagum. Ia punya prinsip yang tidak akan bisa digoyahkan.

Aku berharap bahwa ini memang benar-benar dirinya. Dan bukan suatu karakter yang ia buat-buat agar dapat menarik perhatianku untuk bisa menyukai dirinya. Ya, kuharap memang demikian. Semoga saja semua yang ditampakkannya itu asli betulan.

“Ah, kamu ini memang selalu bisa saja ngomongnya.” Tanpa sadar, aku tersipu oleh ucapan Salman tadi.

“Nggak kok, itu yang kukatakan tadi benar-benar aku maksudkan demikian. Nggak pakai rekayasa.” Ia mengonfirmasi.

“Berarti selama ini pakai rekayasa?” pancingku.

“Bisa juga. Untuk menyenangkanmu, apa pun akan aku lakukan. Walau pun itu harus lewat rekayasa.” Jawabnya.

“Lho, kok gitu? Jadi nggak apa-apa kalau kamu merekayasa sesuatu atas diriku?” kini malah aku yang terpancing.

“Selama kamu nggak tahu, nggak apa-apa ‘kan?” jawabnya enteng.

“Nggak!” kataku. “Salman, aku nggak suka kayak gitu. Aku nggak mau dibohongi.” Nada suaraku agak meninggi.

“Lho, siapa yang bilang soal bohongin kamu?” tanyanya masih dengan nada enteng.

“Kamu sendiri ‘kan yang tadi bilang soal rekayasa itu.” jawabku masih dengan nada suara agak tinggi.

“Kamu salah paham, aku kan nggak pernah bilang soal bohong. Yang aku bilang adalah soal rekayasa.” Jawabnya.

“Lho, bedanya apa? Rekayasa ya sama aja bohong.” Balasku.

“Beda dong. Kamu tahu insinyur atau engineer dalam bahasa Inggrisnya?” tanya Salman.

“Iya, tahu. Tapi apa hubungannya dengan ini semua?” tanyaku kurang mengerti.

“Dalam bahasa Indonesia, insinyur atau engineer itu artinya rekayasawan. Mereka yang bisa melakukan rekayasa atas proses atau apa pun. Artinya pekerjaan mereka ya melakukan rekayasa. Apa kamu mau bilang mereka semua itu pembohong?” tanya Salman lagi.

“Ya beda sih, itu kan konteksnya nggak sama dengan yang kita bicarakan.” Aku agak salah tingkah menanggapinya.

“Oh ya, dan setahuku, kamu juga insinyur kan? Insinyur teknologi informasi, iya kan?” Salman seolah menyerangku balik.

“Ya, memang kenapa?” tanyaku, kini dengan nada suara yang lebih datar.

“Masa kamu mau bilang bahwa diri kamu sendiri pembohong?” Salman tersenyum nyengir saat mengatakannya.

“Ih, dasar! Kan beda konteksnya!” seruku.

“Istilah itu ‘kan digunakan di mana-mana. Jadi dipakai di mana pun, konteks dan maknanya akan sama. Artinya, biarpun aku bukan insinyur atau rekayasawan tadi, aku bisa melakukan hal uang mirip dengan apa yang mereka lakukan, semua itu demi menyenangkanmu.” Salman menjelaskan.

Aku tahu atau minimal diriku bisa menduga bahwa sebenarnya ia sedang mengelak dari kejaranku. Aku juga menduga bahwa ia sebenarnya sadar bahwa dirinya tadi telah salah bicara dengan mengatakan soal rekayasa. Tapi Salman sekarang sedang mengelak dengan menjelaskan panjang lebar tersebut.

Biarlah, akan kubiarkan saja dia dengan semua penjelasannya itu.

“Kamu bisa aja ngelesnya.” Kataku akhirnya.

“Iya dong, biar nggak kamu marahin.” Salman menjawab dengan santai.

“Tuh ‘kan, berarti benar bahwa dari tadi kamu tuh ngeles.” Kataku.

“Nggak apa-apa dong. Minimal jadi ada pembicaraan yang menarik di antara kita.” Jawabnya lagi.

“Memangnya selama ini pembicaraan kita nggak menarik?” pancingku.

“Menarik sih, tapi belum sampai ngotot-ngototan kayak tadi. Seru juga ‘kan kalau sekali-sekali ada ngotot-ngototannya kayak gitu.” Ia tersenyum nakal.

“Dasar, jadi dari tadi tuh jangan-jangan kamu sengaja mancing-mancing aku biar bisa ngotot-ngototan sama kamu, gitu ya?” aku menahan tawaku.

“Mungkin saja. Tapi semua yang terjadi tadi itu benar-benar spontan. Aku aja nggak nyangka bahwa tadi kita bisa ngotot-ngototan seperti itu. Tau-tau kita sudah saling berdebat kayak tadi. Tapi itu semua mengasyikkan kok, beneran deh.” Salman terlihat tersenyum dikulum.

Lihat selengkapnya