Tanpa kuduga, ternyata aku tidak berhenti menikmati buku kiriman Salman tersebut. Bahkan aku sampai terlambat tidur demi untuk membacanya. Setelah kubaca lebih jauh, ternyata masih banyak isinya yang bagiku sangat menarik. Antara lain tentang kekuatan cinta yang membuat manusia hidup. Beberapa hal menjadi sorotanku di sana. Selain itu, ada juga bahasan tentang impian. Impian juga yang membuat manusia hidup, serta membedakan manusia dari makhluk lainnya. Semua bahasan itu membuatku terlambat bangun keesokan harinya.
Mama dan Papa telah berada di meja makan untuk sarapan saat aku turun. Aku yang masih belum sepenuhnya sadar dari kantukku langsung menuju dapur, mengambil roti di panggangan, dan mulai makan di ruang tengah.
“Pagi Ma, Pa.” Sapaku.
Mama dan Papa membalas sapaanku.
“Ada yang begadang nih.” Kata Mama.
“Iya Ma.” Jawabku.
“Tumben begadang.” Timpal Papa.
“Iya Pa, baca buku.” Jawabku.
“Wah, nggak biasanya kamu begadang baca buku.” Timpal Papa.
“Buku kiriman dari Salman. Tentang perjuangan anak kanker.” Jawabku lagi.
Mama tertawa.
“Oh itu sebabnya, karena dia yang kirim.” Kata Mama.
“Oh, temanmu yang kemarin itu?” timpal Papa.
“Eh, iya Pa.” Kataku.
Aku baru sadar bahwa ternyata aku memang belum pernah bercerita tentang Salman kepada Papa. Aku baru menceritakannya kepada Mama saja. Tidak heran, karena memang aku jarang bercerita tentang teman-temanku kepada Papa. Mungkin kalau Mama tidak bertanya pun, aku tidak akan bercerita kepadanya.
Mama lalu bercerita tentang Salman kepada Papa. Ia menceritakan bahwa aku selalu melakukan panggilan video dengan Salman beberapa kali setiap hari. Ia juga menceritakan bahwa aku selalu bersemangat dan ceria jika ada telepon atau pesan dari Salman.
Mama sendiri menceritakannya dengan semangat, karena ia juga sangat bersemangat mendengarkan kalau aku bicara tentang Salman. Tidak heran, karena aku juga selalu bersemangat apabila bercerita tentangnya. Aku hanya mendengarkan saja Mama bercerita kepada Papa, sambil melanjutkan sarapanku hingga habis.
Pagi itu kuhabiskan dengan melanjutkan membaca buku dari Salman. Aku tidak tahu apakah aku membaca buku itu karena isinya, ataukah karena Salman yang memberikan.
Aku juga bingung dengan perasaanku kepadanya. Ia menarik dan juga energik. Selama ini aku berpikir bahwa dia begitu dekat. Tapi kami belum pernah resmi menyatakan perasaan masing-masing. Bukannya aku ingin dia menyatakan, tapi minimal ia menunjukkannya.
Tapi, bukankah Salman sudah menunjukkannya?
Semua perhatian besar maupun kecil yang diberikannya, tidakkah itu merupakan bukti?
Seperti saat aku merasa benar-benar down beberapa waktu lalu. Sebabnya sederhana, karena aku terus memantau berita tentang Corona di internet. Aku jadi tahu betapa mematikannya virus ini. Laju penambahan jumlah orang yang terinfeksi bahkan meninggal karena Corona meningkat drastis dari hari ke hari.
Sebagai ODP, aku merasa virus itu sangat dekat denganku. Aku jadi tidak memiliki napsu makan. Bahkan aku berpikir bahwa hidupku tinggal sebentar lagi.
Saat itu aku menghubungi Salman dan menceritakan semuanya.
“Kalau begitu, berhentilah mengikuti berita.” Hanya itu yang dikatakan Salman.
“Lho, kenapa?” tanyaku.
“Karena itu yang membuatmu menderita.” Jawabnya.
“Tapi aku perlu informasi terkini.” Aku masih bersikeras.
“Untuk apa kamu tahu semua informasi itu? Kamu ‘kan tidak harus mengetahui semuanya. Cukup kau tahu cara menghindarinya dan tindakan pencegahannya. Itu sudah cukup, bahkan lebih dari cukup. Mengetahui jumlah korban dan pertambahan penyebarannya hanya akan membuatmu tertekan dan imunitasmu turun.” Jawabnya lagi.
“Kau yakin?” tanyaku.
“Ya, sangat yakin.” Ia menegaskan.
“Ah, dari hari ke hari, aku merasa semakin dekat dengan kematian.” Aku merajuk.
“Sari, tidak hanya kamu, tapi semua orang setiap harinya selalu lebih dekat dengan kematian. Kau tidak sendirian.” timpal Salman.
Ah, ya, benar juga. Aku akui itu. Salman memang benar. Tidak hanya kami yang ODP ini, tapi setiap orang juga setiap harinya semakin mendekat kepada kematian. Kita semua di dunia ini sama-sama menghitung hari, pikirku.
Tidak ada alasan untuk merasa cemas berlebihan, kataku dalam hati. Kalau memang ditakdirkan demikian, maka kita hanya bisa menerimanya, batinku lagi.
Kata-kata Salman tadi sangat menenangkan diriku. Pada hari tersebut, aku bisa tidur nyenyak berkat dirinya dan saran yang ia berikan.
Dan aku berjanji tidak akan mengikuti berita tentang Corona lagi. Setidaknya sampai nanti, saat pandemi ini berakhir untuk selama-lamanya.
Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang mulai terasa nyaman. Aku dan Salman semakin dekat, saling mendukung di tengah situasi yang tidak menentu. Namun, seperti yang sering terjadi dalam hidup, ketenangan ini tidak bertahan lama. Suatu hari, saat sedang berbicara dengan Salman melalui panggilan video, dia tampak lebih cemas dari biasanya.
"Sari, aku punya kabar buruk," katanya dengan suara berat.
Aku merasakan jantungku berdetak lebih cepat. "Apa yang terjadi, Salman?"
"Tadi pagi, aku menerima kabar bahwa salah satu anggota keluargaku positif COVID-19," ujarnya. "Ini membuat semuanya semakin rumit. Kami semua harus menjalani karantina mandiri yang lebih ketat, dan aku tidak tahu bagaimana ini akan mempengaruhi kita."