Cinta Corona

Rizki Ramadhana
Chapter #12

12

Ketika aku bangun di pagi harinya, aku merasa kurang sehat. Aku batuk tiada henti, dan tenggorokanku sakit. Memang aku telah merasakan gatal di daerah itu kemarin, tapi aku memutuskan untuk tidak memedulikannya. Awalnya aku berpikir bahwa ini hanya gejala ringan akibat kelelahan atau mungkin terlalu banyak berbicara saat sesi grup. Namun, ketika gejala itu semakin parah, rasa khawatirku mulai menguat.

 

Memang, aku terlalu takut untuk mengakuinya. Sebabnya apa lagi kalau bukan ketakutan akan Corona. Bagaimanapun aku masih tidak bisa menghilangkan kecemasanku akan hal ini, walaupun memang sudah sangat berkurang berkat keputusanku menghindari tayangan-tayangan berita tentangnya. Namun, berita tentang kasus-kasus baru dan angka kematian yang terus meningkat selalu berhasil menyusup ke dalam pikiranku, menambah ketakutan yang sudah ada.

 

Aku betul-betul khawatir saat mengalami sakit tenggorokan ini. Bagaimana jika aku ternyata benar-benar mengidap Corona? Pikiran itu menghantuiku sepanjang pagi. Bayangan tentang bagaimana aku akan diisolasi seperti Markus, teman dekatku yang sudah lebih dulu terjangkit, terus muncul di benakku. Markus yang dulu selalu ceria, sekarang terbaring lemah di ruang isolasi, sendirian tanpa bisa bertemu dengan keluarga atau teman-temannya.

 

Membayangkan hal seperti itu saja aku sudah ketakutan sendiri. Padahal aku yang menasihati Markus untuk bisa kuat dan tegar menghadapi cobaan yang tengah ia hadapi. Tapi justru aku sendiri melempem saat terancam akan hal yang sama. Aku merasa seperti seorang pengecut, tidak mampu mengikuti nasihat yang kuberikan kepada orang lain. Rasa takut yang menyelimuti hatiku membuatku merasa begitu kecil dan tidak berdaya.

 

Walaupun demikian, aku tetap harus maju. Aku tidak bisa lari dari hal ini. Harus kuhadapi segala kemungkinan yang terjadi. Menghindari kenyataan hanya akan memperburuk situasi. Aku tahu bahwa langkah pertama yang harus diambil adalah memberitahu Mama tentang kondisiku. Tapi memerlukan keberanian besar untuk melakukannya. Baru menjelang tengah hari aku berani turun dan melakukannya.

 

"Mama, aku merasa tidak enak badan," kataku dengan suara gemetar. Mama segera berhenti dari kegiatan memasaknya dan berbalik menatapku dengan penuh perhatian.

 

"Apa yang kamu rasakan, Sari?" tanyanya lembut.

 

"Tenggorokanku sakit dan aku batuk terus sejak pagi," jawabku.

 

Mama segera memanggil dokter untuk datang ke rumah. Perasaan cemas dan takut membanjiri pikiranku sementara aku menunggu. Setiap detik berlalu dengan lambat, seolah-olah waktu bergerak lebih lambat dari biasanya. Aku mencoba menenangkan diriku dengan menarik napas dalam-dalam, tetapi rasa khawatir tetap tidak hilang.

 

Lihat selengkapnya