Setelah itu, kami memang tetap banyak saling berbagi cerita. Tapi harus kuakui bahwa setelah Salman menyatakan cintanya, terkadang aku menjadi kikuk saat melakukan panggilan video dengannya. Entah, sepertinya aku merasa grogi atau bagaimana.
Aku juga tidak tahu kenapa aku yang grogi. Seharusnya ‘kan dia.
Apakah karena aku juga sebenarnya menginginkan ia menyatakan cintanya?
Ah, ini jadi terasa begitu rumit.
“Kalau kamu jadi tokoh di cerita Aladdin, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Salman saat kami melakukan panggilan video.
“Maksudmu aku ada di dongeng Aladdin, gitu?” aku bertanya balik.
“Iya.” Jawabnya.
“Jadi siapa memangnya aku?” tanyaku lagi.
“Ya, jadi Aladdin.” Jawabnya.
“Lho, nggak mungkinlah.” Kataku.
“Kenapa nggak mungkin?” tanyanya.
“Aku kan cewek, Aladdin kan cowok.” Kataku lagi.
“Ya kamu jadi Aladdin cewek.” Ia tidak mau kalah.
“Ya nggak mungkin, ‘kan ceritanya nggak gitu.” Aku juga tidak mau kalah.
“Dari awal juga ini pembicaraan yang nggak mungkin, jadi Aladdin.” Ia tetap mempertahankan diri.
Lagi-lagi, Salman bisa membuatku tertawa.
“Tapi kalau memang kejadian, kamu mau apa?” tanyanya.