Aku tidak mendengar kabar dari Salman selama sepekan lebih. Selama itu, harap-harap cemas menunggu kabar darinya atau dari siapa pun yang bisa memberitahuku tentang keadaannya. Tapi kabar yang kuharapkan tidak kunjung datang. Setiap kali ponselku berdering, aku berharap itu adalah Salman atau seseorang yang tahu tentang kondisinya. Namun, harapan-harapan itu terus saja pupus.
Waktu seperti berjalan begitu lambat. Sepekan ini terasa seperti lebih dari satu bulan bagiku. Hari-hariku diisi dengan kekhawatiran yang tak kunjung reda. Pikiranku selalu didominasi oleh Salman. Aku ingin tahu kabarnya, itu saja. Hanya kabar bahwa dia baik-baik saja sudah cukup untuk menenangkan hatiku.
Kenapa tidak ada orang yang memberiku kabar barang sedikit? Mana Tante Arny? Mana Rosa? Aku menyesal tidak pernah meminta kontak mereka kepada Salman. Jika tidak, aku pasti bisa bertanya tentangnya. Setiap malam sebelum tidur, aku berdoa agar esok hari ada kabar baik tentang Salman.
Mama selalu menghibur dan menenangkanku. Dia mengatakan bahwa tidak ada berita adalah berita baik, tetapi kata-kata itu tidak cukup untuk menghilangkan kekhawatiranku. Aku merasa sedikit lebih baik karenanya, tetapi yang bisa membuatku sepenuhnya merasa lebih baik hanyalah kabar dari Salman.
Bahkan aku sampai lupa bahwa diriku telah melewati empat belas hari masa karantina. Tanpa gejala apa pun, sehingga aku bisa dikatakan tidak terinfeksi. Tapi karena aku tidak menyadarinya, maka aku pun lupa untuk bersyukur serta merasa bahagia. Semua tentang keadaan Salman yang membuat diriku seperti tidak dapat memikirkan hal lain. Ketika makan dan beranjak tidur pun selalu demikian. Bahkan aku sempat sulit untuk tidur karena menunggu informasi tentang dirinya.
Suatu pagi, ketika matahari baru saja terbit, aku terbangun dengan perasaan yang lebih gelisah dari biasanya. Ada sesuatu yang terasa tidak beres, tetapi aku tidak tahu apa itu. Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan melakukan rutinitas pagi seperti biasa. Namun, pikiranku tetap saja kembali kepada Salman. Aku memeriksa ponselku berkali-kali, berharap ada pesan atau panggilan yang masuk. Tapi layar ponselku tetap kosong, tidak ada kabar.
Ketika siang tiba, aku duduk di teras rumah, menatap kosong ke arah langit. Pikiran tentang Salman dan ketidakpastian yang mengelilinginya membuatku hampir putus asa. Tiba-tiba, ponselku berdering. Jantungku berdegup kencang saat melihat nomor yang tidak kukenal muncul di layar.
Dengan tangan gemetar, aku menjawab panggilan itu. "Halo?"