Salman dimakamkan dengan protap Corona. Tidak ada yang boleh menghadiri pemakamannya kecuali orang-orang tertentu. Protokol ketat membuat semua yang mencintainya terpaksa mengucapkan selamat tinggal dari kejauhan. Rasa kehilangan yang mendalam bercampur dengan ketidakmampuan untuk berada di sana, mengucapkan salam terakhir, semakin memperburuk duka ini.
Aku tidak termasuk di dalamnya, karena aku memang bukan siapa-siapa dalam hidup Salman. Meskipun hubungan kami dekat, aku hanyalah seorang teman di mata keluarganya. Ketika mendengar kabar tentang pemakamannya, hatiku terasa hancur. Aku merasa begitu tak berdaya, ingin sekali berada di sana untuk memberinya penghormatan terakhir, tetapi protokol itu adalah sesuatu yang tidak bisa kulanggar.
Namun, esok harinya setelah pemakaman, teleponku berdering. Nomor tak dikenal muncul di layar, dan aku menjawab dengan perasaan campur aduk. Ternyata, itu adalah Tante Arny. "Sari, ini Tante Arny," katanya dengan suara lembut namun sarat emosi. "Aku tahu ini sangat sulit, tapi aku ingin berbicara denganmu tentang Salman."
Aku terdiam sejenak, mencerna kenyataan bahwa Tante Arny memiliki nomor kontakku. "Tante Arny, kenapa... kenapa Tante tidak pernah menghubungiku saat Salman sedang berada dalam masa kritis?" tanyaku, suaraku bergetar.
Tante Arny menghela napas panjang sebelum menjawab, "Aku sangat menyesal, Sari. Kami tidak ingin menambah bebanmu. Kami tahu betapa kamu peduli padanya, tapi situasinya sangat sulit."
Air mata mengalir di pipiku. "Tidakkah Tante tahu bahwa aku justru lebih cemas saat tidak kunjung mendapat kabar tentang Salman?" Suaraku berubah menjadi isak tangis. "Aku merasa begitu tak berdaya, tidak tahu apa yang terjadi padanya."
"Tante sangat mengerti perasaanmu, Sari. Salman sangat sering bercerita tentangmu. Dia bilang, kamu membawa gairah baru dalam hidupnya. Dia sangat berterima kasih memiliki kamu dalam hidupnya," katanya, suaranya penuh kehangatan dan kejujuran.
Aku sangat menghargainya. Kata-kata itu memberikan sedikit rasa lega di tengah duka yang mendalam. "Terima kasih, Tante. Aku... aku merasa kehilangan seseorang yang sangat penting. Seorang teman bicara, seorang sahabat, seorang pendengar, dan juga seorang... kekasih," jawabku dengan suara yang hampir tak terdengar.
Ya, kekasih, jika aku boleh menyebutnya demikian. Salman adalah segalanya bagiku. Dia adalah cahaya di saat gelap, suara yang selalu memberiku semangat, dan tangan yang selalu siap menolong ketika aku terjatuh. Kehilangan dirinya terasa seperti kehilangan separuh dari diriku.
Tante Arny terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Salman selalu bicara tentang betapa istimewanya hubungan kalian. Dia merasa sangat beruntung memiliki kamu di sisinya, meski hanya untuk waktu yang singkat."