Ke mana hati harus membawa rindu?
Puncak pegunungan? Lautan lepas? Cukupkah deret
pepohonan tinggi di hutan yang luas menampungnya?
Andai sudah menemukan jawaban, mungkin motor besar yang dikendarai Alif melintasi lengang Jalan Sudirman saat libur, telah memiliki tujuan. Nihil. Bahkan, awan seolah sengaja menggelapkan diri agar pemuda berkacamata Ray-Ban kehilangan petunjuk.
Titik air yang jatuh perlahan membasahi daun akasia di sepanjang jalan menyempurnakan kedukaan. Perasaan nelangsa yang disembunyikan dalam senyum sinis dan sikap yang kian urakan sejak Ibu tak ada. Perempuan yang selalu mampu menjadi telaga menyejukkan—terlepas apa pun warna hari yang dihadapi putranya, meninggal, sebelum sempat mencicipi kesenangan dan kebanggaan dari anak satu-satunya.
Terlalu tiba-tiba Ibu pergi. Alif tak punya tempat melarikan rindu. Tidak kepada gadis-gadis yang mengejarnya, bahkan tanpa memedulikan harga diri mereka.
Alif hanya bisa menenggelamkan diri dalam kesibukan.
Itu, dan beberapa cara lain.
Pagi hingga siang tadi, pemuda berambut gondrong sebahu dan agak ikal itu tak keluar rumah. Sejak kemarin hingga menjelang Shubuh ia mengurus bisnis—beberapa lahan parkir—yang mulai mendapat gangguan dari ‘jagoan’ yang minta jatah. Satu-dua dari mereka bahkan mulai main kasar dan menggunakan backing.
Beruntung, selama ini Alif cukup luwes bergaul dengan anak-anak pejabat, meski ia sendiri bukan jenis orang yang gampang mundur jika digertak. Malah ia sudah pintar pula menggunakan koneksi Bapak yang sempat menjadi anggota DPRD, untuk gangguan yang tak bisa ia tangani sendiri.
“Tumben baru keluar. Biasanya jam segini sudah menghilang,” tegur Bapak sambil menyeruput kopi panas. “Mau mencoret tembok mana lagi?”
Alif dan geng muralnya cukup sering mendetakkan denyut kekhawatiran di dada lelaki paruh baya itu. Syukurlah, sejauh ini putranya tak pernah berurusan dengan aparat. Jujur, ia tidak mengerti bagaimana anaknya bisa menemukan kelompok yang keberadaannya sering sulit ditemukan para seniman konvensional.
Jam menunjukkan pukul empat sore. Alif yang bersiap- siap keluar rumah, mendengar teguran itu, balik bertanya, “Hari gini masih baca koran, nggak salah?”
Kaharuddin, sang bapak, cuma tertawa. Laki-laki berumur enam puluhan itu melirik anaknya. Sejak dulu diam-diam ia mengagumi sosok si anak semata wayang yang gagah, juga mewarisi penampilan dirinya yang kata orang mirip bintang film Bollywood.
Ya, bukan memuji diri sendiri. Bagaimanapun, ia masih keturunan ningrat Bugis yang mewarisi kecakapan dan keunggulan fisik yang khas, meski sedari kecil kesehariannya terbilang biasa saja. Sejak merantau ke Jakarta dan jadi menantu orang Betawi kaya, barulah hidupnya perlahan berubah. Mendapat durian runtuh karena bapak mertua yang hidup berlimpah? Tidak juga.
Semua yang ia peroleh sekarang merupakan hasil kombinasi dari kerja keras, kejujuran, dan kejelian menangkap peluang. “Baca koran itu penting buat mengasah pancaindra. Teknologi boleh saja semakin maju. Tapi, membaca koran dan buku sangat berguna untuk melatih kemampuan.” Kalimat terakhir diucapkan Bapak dengan sedikit tekanan, “Terutama untuk menetralisir pengaruh buruk alkohol.”
Bibir Alif mengembang. Pelan tangannya menyusupkan lebih dalam botol vodka yang tadi sempat tersembul dari kantong jaket. Ia memang hobi minum meski tak sampai benar-benar mabuk. Koleksi minuman di kamar beragam, dari kelas pasaran sampai yang terbilang mahal. Ada Chivas, Blue Label, sampai Cognak. Vodka yang murah dan lebih sering terselip di kantong, bagi Alif cuma seperti minuman penyegar biasa.
“Alkohol itu ibarat pelumas pada mesin,” ujarnya tak mau kalah, sembari mencium tangan sang bapak sebelum berlalu.
Mencium tangan, satu-satunya ritual yang masih jadi pengikat hubungan batin mereka. Dan memang cuma itu yang tersisa dari keakraban dengan Bapak. Selebihnya nyaris tak ada. Meski tinggal satu rumah, keduanya hampir tak pernah berbincang lama. Kalaupun ada, seperlunya saja. Sama sekali tak menyangkut hal-hal penting, kecuali urusan bisnis Kaharuddin dan kini sepenuhnya ditangani sang anak.
“Mencium tangan orangtua bukanlah sikap berlebihan,” kata ibu Alif yang meski keturunan Betawi lama tapi pernah merasakan dunia pesantren di daerah Jawa Timur. “Itu sikap hormat dan pengikat hubungan batin.”
Alif yang kala itu masih duduk di bangku SD kritis bertanya, kenapa anak seusianya harus mencium tangan orang dewasa. Padahal, belum tentu mereka punya sikap menyenangkan. Jawaban perempuan penuh kasih yang sangat Alif hormati, bisa diterima akal. Meski di waktu lain, kala mereka hanya berdua, Ibu memberi penjelasan.
“Kelak, kamu akan bertemu perempuan yang membuat pandanganmu sepenuhnya tertumpu padanya. Sampai waktu itu tiba, rasanya wajar jika Ibu ingin diistimewakan,” canda Ibu seraya mengedipkan mata.
Alif anak tunggal. Dulu saat masih ada sang ibu, ia tak begitu sering keluar rumah. Tapi sejak Ibu meninggal dalam kecelakaan di tol Padalarang, anak itu hampir tak pernah betah di rumah jika tak perlu benar. Lebih suka tinggal di rumah teman, atau menyepi di vila milik keluarga di daerah Puncak. Rumah besar mereka semakin sepi. Yang tersisa hanya sang pemilik serta seorang pembantu yang masih setia mengabdi.
Alif sendiri bukan anak bodoh. Selepas SMA, ia pernah kuliah di beberapa universitas. Bahkan sempat masuk perguruan tinggi negeri meski setelahnya out.