Allah mengumpulkan jiwa-jiwa yang dikehendaki-Nya, berlindung dari tetes-tetes hujan.
Dari tempatnya berdiri, Arum merayapi keramaian yang turut berteduh. Deras curahan air langit membuat banyak orang enggan meneruskan perjalanan. Seperti Arum, mereka memilih berteduh di halte bus, meski sebagian harus berdiri menahan pegal dan dingin terkena percik hujan yang terbawa angin.
Di samping Arum, seorang bocah dengan pakaian lusuh yang basah terus menatap tajam. Entah mengapa. Barangkali sekadar membalas pandangan gadis berparas pasi, yang telah beberapa saat mendarat di wajah datar anak lelaki itu.
“Nama adik siapa?” Arum melempar senyum, memulai percakapan.
“Adi.” Bocah itu menjawab singkat, dengan mata seolah menyiratkan sesuatu.
“Umur?”
“Sebelas.” Jawaban yang diberikan tetap tanpa ekspresi.
“Masih sekolah?” suara Arum terdengar penuh iba.
Sang bocah menggeleng. Matanya dialihkan. Terkesan bosan menghadapi pertanyaan beruntun yang disampaikan si gadis berkerudung.
“Asli Jakarta?”