Departement Store yang begitu luas terasa asing bagi Arum. Padahal waktu kecil, Mama dan Papa cukup sering mengajaknya nonton film, belanja, atau sekadar main. Hari-hari ceria yang berangsur meredup.
Memasuki usia remaja, Arum mulai sakit-sakitan. Kedua orangtua serta merta mengurungnya di rumah. Menjaganya bak porcelain rapuh.
Bertahun-tahun kondisi kesehatan Arum mencemaskan. Jalan menuju kesembuhan terasa panjang dan melelahkan, bagi Arum, juga Mama dan Papa. Padahal keduanya sibuk. Arum yang semakin dewasa memahami kebutuhan orangtuanya untuk memperoleh kembali kehidupan semula. Papa yang bekerja sebagai kepala lapas, juga Mama yang seorang dokter umum.
Terlalu lama keduanya menjalani hidup seperti orang hukuman. Mengemban vonis mengerikan, lebih dari yang mampu mereka tanggung. Sebab, konon manusia lebih sanggup menahan derita yang disebabkan tangan mereka sendiri. Jauh lebih pedih jika hidup hanya untuk menyaksikan orang yang mereka cintai menanggung penderitaan.
Syukurlah, melalui perjuangan panjang, sel-sel yang mengalami mutasi dan mengancam nyawa gadis berkelopak mata indah itu akhirnya bisa dijinakkan.
Kabar ini disambut sukacita dan seketika mengubah rutinitas. Mama yang sempat berhenti dari tempatnya bekerja sebagai peneliti, langsung menerima tawaran salah satu perusahaan farmasi multi-nasional. Sementara, Papa mulai memberikan kehadiran lebih banyak di lapas tempatnya mengabdi.
“Kalau dipikir-pikir, Mama dan Papa-mu unik, ya?!” Tantri, sahabat sewaktu SMP pernah mengomentari dunia kontras Arum.
Mama Arum cantik. Wajah bersihnya bahkan tak dirambati noda satu pun akibat matahari. Sedangkan Papa, menurut teman-teman sekolah Arum, terkesan angker dan terlalu banyak memiliki rambut di wajah.
“Apa mereka pernah bertengkar?”
Sering. Tentu jawaban jujur ini hanya disimpan Arum. Interaksi keduanya kerap kali membuat Arum merasa pertemuan Mama dan Papa merupakan sebuah kesalahan. Mereka ibarat air dan minyak yang tak mungkin disatukan.
Mama dengan kehidupan kelas atas yang prestisius. Sementara, Papa dengan cambang lebat dan dunia penjara yang keras. Jika Arum tak ada di antara keduanya, bisa jadi sejak lama mereka sudah berpisah.
Yang menarik, jika para tetangga membayangkan Papa dengan sosok tinggi besar lalu jenggot dan kumis tebalnya akan menimbulkan rasa segan atau mengintimidasi Mama, yang terjadi justru sebaliknya. Papa tak banyak bicara jika Mama sudah mengungkit-ungkit profesi sang suami yang menurutnya sulit dibanggakan. Berulang kali perempuan berwajah cantik dengan postur menarik itu berusaha mendorong Papa mendapatkan penghasilan lebih.
“Saya nggak ngerti kamu nggak bisa kaya seperti kepala lapas yang lain. Lihat penampilan dan kehidupan teman- teman kamu!” Usia Arum empat belas tahun saat menyaksikan pertengkaran khas orangtuanya dari kursi roda.
Didahului tarikan napas berat, baru terdengar jawaban Papa. “Ya, kalau mau nggak jujur gampang. Izinkan napi pakai handphone di dalam lapas, biarkan sel mereka seperti kamar hotel bintang empat, atau perbolehkan keluar sebentar untuk menikmati suasana mal bersama keluarga. Tapi, hal itu melanggar profesi dan sumpah jabatan.”
Mama tidak membutuhkan waktu untuk refleks menukas kalimat suaminya.
“Ya gunakan kreativitas. Mereka juga manusia yang butuh rileks, break. Kamu toh bisa selektif. Cari yang kaya dan masa hukuman lama. Menurutku, selama bukan mengedarkan narkoba dari dalam, selama mereka nggak mengulang tindak kriminal, selama nggak ada yang tahu....”
Papa terdiam, tatapannya bertemu Arum yang belum lama menjalani operasi di bagian kaki. “Aku tidak bisa.”
“Sok religius! Munafik kamu!”
“Nggak perlu jadi orang religius untuk tahu korupsi itu salah.” Papa menghela napas.
Kalimat itu menghentikan pertengkaran, sebab Papa mengucapkannya sambil mendorong kursi roda putrinya ke kamar. Sepasang mata yang diliputi kelopak mata cekung nan indah, menahan tangis. Arum tak pernah suka mendengar keributan. Kalau sudah begitu, ia akan berlama-lama bersimpuh di atas sajadah.
Selama ini, bisa dibilang sajadah jarang terbentang di rumah mereka. Perlengkapan shalat Arum pun, Bik Nah, pembantu mereka yang membelikan. Ia juga yang mengajarkan Arum shalat sejak mendapat haid pertama.
“Kalau sudah haid, wajib shalat, Neng.”
“Shalat itu pembeda yang iman dan yang ingkar.”
“Orang yang shalat dekat sama Allah, dan kalau dekat, doa-doa kita bisa dikabulkan, Neng Ayu.”
Permintaan gadis kecil itu bejibun pada Allah. Ia ingin sembuh dan hidup damai. Bebas dari kemoterapi dan radiasi. Tak perlu lagi menjalani operasi. Tak ingin lagi mendengar keributan. Ia butuh dekat dengan Allah.
Akan tetapi, Mama juga bukan tipikal perempuan yang mudah goyah pendiriannya. Lain waktu, ia mendorong Papa memulai bisnis.
“Kamu nggak perlu pikirin modal, semua saya yang siapkan.”
Meski tak membantah, permintaan itu tidak pernah diiyakan Papa. Malah dalam satu momen langka, pernah juga lelaki itu menjawab, “Bukan sebuah aib bekerja di lingkungan para pelanggar hukum. Ini malah pengabdian yang nggak semua orang punya kesempatan.”
Jawaban Papa menimbulkan bara di mata Mama, tetapi sebelum perempuan itu sempat memotong, Papa cepat- cepat melanjutkan, “Malah kalau dipikir profesi kita ada miripnya. Kamu sebagai dokter—walau sekarang nggak praktik, merehab fisik pasien dan aku merehab moral napi. Tujuannya pun sama, agar mereka sembuh dan bisa kembali ke keluarga dan masyarakat.”
Mama merespons dengan tawa yang sulit dijelaskan, sebelum kemudian melangkah ke kamar dan membanting pintu.
Pertengkaran terus-menerus yang menguras energi. Hanya Arum dengan tubuh ringkihnya yang menjadi alasan keduanya tidak mengambil jalan perceraian. Penyakit kanker yang menimpa putri satu-satunya memaksa mereka merekatkan kebersamaan.
Setelah Arum dinyatakan sembuh, tanpa pikir panjang Mama dan Papa seperti satelit yang sempat keluar jalur, tak sabar untuk kembali ke orbit masing-masing. Bisa dibilang keduanya minim menunjukkan perhatian ke putri mereka. Khususnya Mama. Sebab sesekali Papa masih mengajak Arum ke penjara, tempat ia bertugas, hanya untuk mengenalkan gadis itu pada ‘dunia’ yang bisa jadi berbeda dengan yang ada di kepalanya selama ini.
“Agar dunia kamu nggak steril seperti Mama.” Kalimat pendek namun jelas bernada keluhan.
Hari-hari di mal bersama orangtua, masa mereka berkumpul bertiga di luar rumah kini bisa dihitung dengan jari. Seiring bergulirnya waktu dan Arum tumbuh dewasa, pusat perbelanjaan bukan lagi tempat menarik. Apalagi sejak ia memiliki beberapa ‘anak asuh’.
Mal memang memberikan banyak hal, dari kebutuhan fashion, makan, sampai hal paling kecil seperti mengurus kuku. Nyaris semua tersedia. Tapi bukan urusan remeh- temeh itu yang kini diperlukan. Jiwa kemanusiaannya membutuhkan tempat lebih luas buat berbagi ketimbang keriuhan mal. Hanya dengan melakukannya, lorong kosong di hati Arum perlahan terpenuhi.
Lalu, kenapa sekarang gadis dengan mata menjorok yang dinaungi bulu mata lentik berada di sana?
“Katanya udah alergi ke mal?” ledek Tantri, sahabat yang sempat menghilang dan baru sebulan belakangan muncul.
“Ini pilihan terakhir. Kemarin udah cari-cari ke tempat lain kayak Pasar Pagi atau Asemka tapi nggak nemu juga.”
Tantri tergelak. Sejenak ia mengamati Arum. Meski sudah bekerja, style-nya masih sama, dari dulu gadis itu tidak bisa lepas dengan longdress berbahan denim yang dipadankan dengan sepatu kets dan jilbab berwarna lembut. Seperti biasa, wajahnya yang agak pucat dibiarkan tanpa polesan.
“Ya iyalah. Masa mau cari paket hemat fried chicken ke pasar kulakan. Emang borongan boneka Upin-Ipin?”
Arum tertawa. “Maunya menghindari tempat kayak gini. Nggak terlalu sehat juga. Tapi pengen sesekali kasih anak-anak pengecualian. Soalnya kalau pas iklan di TV, mereka cuma bilang, kapan ya?”
“Kenapa nggak sekalian bawa anak-anak ke sini biar nggak repot?”
“Nanti malah ketagihan.” Arum mencubit sahabatnya. “Dan lagi aku nggak mau mendidik mereka jadi manusia yang gampang kagum sama hal-hal materi.”
“Cieeee... makin berisi aja omongan.”