Setelah direncanakan oleh Fuadi, Bima dan Halimah. Mereka bertiga berangkat menuju taman kota. Jarak dari tempat tinggal menuju taman kota sangatlah jauh. Dahulu ketika Fuadi harus menemui Nirmala di taman kota, dia harus mengenakan bus angkutan kota. Biaya untuk menaiki bus itu sendiri tergolong cukup mahal. Fuadi merelakan uang tabungannya agar dapat menemui orang yang dia cintai saat itu.
Ditengah perjalanan mereka membicarakan tentang hal yang akan terjadi di sana. Bima memang menjadi orang yang paling tidak setuju dengan acara ini, tetapi karena paksaan dari Halimah membuat dia harus mengalah. Hal itu sekaligus memperkuat dugaan Fuadi jika Halimah dan Bima memang bukan sekedar sahabat biasa.
“Fu, memang engkau ingin apa ke sana? Bukankah itu hanya sekedar taman biasa. Taman itu memang sudah menjadi saksi bagi kalian, tapi taman itu hanya sebuah tempat. Bagaimanapun dia tidak akan pernah berbicara dan mengerti masalah manusia.” Bima berbicara sembari mendenguskan nafasnya dengan sengaja. Bima sengaja memberi kode bahwa dia tidak ingin melakukan ini.
Bima sebenarnya ingin membantu temannya, tapi menurutnya tindakan mengunjungi sebuah tempat kenangan saja tidak akan memberikan jawaban apa-apa. Memang benar jika itu bisa membuat kita menjadi ingat terhadap kenangan. Tetapi apa bukti yang bisa didapatkan bila kita mengunjungi. Tidak mungkin kisah ini seperti sejarah yang tiba-tiba saja menemukan benda-benda sebagai bukti atas suatu kejadian. Hidup tidak bisa dengan mudah diskenariokan seperti cerita fiksi.
“Tidak apa-apa. Jika benar aku tidak mampu mendapatkan bukti yang kucari, setidaknya aku bisa menatap tempat ketika terakhir Nirmala pergi pada saat kita masih berpacaran.” Ucap Fuadi menjawab pertanyaan dari Bima. Fuadi mengeluarkan nada yang sangat tidak bersemangat, itu menggambarkan bahwa tempat tersebut adalah luka yang sangat hebat bagi dia.
Setelah mendengar jawaban sahabatnya, rasanya Bima tidak bisa menolak permintaan itu. Bima adalah orang yang sangat membenci kebohongan, bagaimanapun dia juga ingin rasanya menghajar wajar Nirmala. Hanya karena dia perempuan bukan berarti dia bisa seenaknya saja menyakiti perasaan laki-laki. Dan sebagai laki-laki hanya karena dia perempuan bukan berarti tidak bisa memberikan pelajaran. Seperti itulah prinsip seorang Bima.
Setelah diam karena tidak ada topik yang harus dibicarakan, lagi-lagi pemandangan yang kurang mengenakkan harus terjadi di depan Fuadi. Tertangkap jelas di depannya bahwa Halimah dengan Bima sedang bergandengan tangan. Perasaan Fuadi semakin saja kacau melihat hal itu, ditambah lagi dia sedang memikirkan ucapan Bima. Setidaknya ketika sampai di sana apa yang harus dia cari. Tidak ingin dengan mudahnya terpancing emosi, Fuadi memutuskan untuk mengabaikan peristiwa yang baru saja dia lihat. Fuadi menyenderkan kepalanya ke kaca mobil, dan memejamkan matanya untuk beristirahat sejenak.
Ketika Fuadi membuka mata dia mampu merasakan bahwa mobil sudah berhenti. Dia memperhatikan sekitar, dan ternyata Bima dan Halimah juga masih ada di dalam. Sepertinya mereka baru saja tiba di tempat. Di depan kaca mobil jelas terpampang pohon yang rindang. Sepertinya Bima memutuskan untuk memarkirkan mobil di lokasi yang rimbun akan dedaunan.
“Mari kita turun.” Fuadi secara langsung meminta semuanya untuk turun walaupun dia dalam kondisi baru saja terbangun dari tidur lelapnya.
“Ah, sepertinya kau sudah bangun. Bagaimana istirahatnya? Semoga saja itu bisa sedikit meringankan beban engkau.” Saut Halimah ketika melihat sahabatnya itu sudah terbangun.