Tiga bulan telah berlalu semenjak peristiwa mengenaskan itu, Aura saat ini sudah berada di rumahnya. Dia menjalani kehidupan yang sesuai dengan keadaan biasa lagi. Namun kali ini dia ditemani oleh sang Ibu sebagai pendamping. Sesudah kejadian itu, ibunya sangat khawatir dengan keadaan Aura. Bagi ibunya Aura adalah Mutiara terindah yang dia miliki.
Kehidupan seperti bias aini dirasakan juga oleh Fuadi. Kesibukannya hanyalah memastikan bahwa kehidupannya tidak hancur berantakan seperti dulu lagi. Menurutnya, suatu hal yang terjadi dalam hidup adalah bagian dari kehidupan itu sendiri. Dia merasa bahwa yang terjadi padanya dulu adalah teguran untuknya agar lebih berhati-hati lagi kedepannya.
Akhirnya mereka memutuskan untuk bertemu. Mereka kemudian bertemu satu sama lain untuk pertama kalinya. Dalam perjalanan yang panjang akhirnya raut wajah manis itu kembali terlihat. Senyumannya yang tanpa beban itu mengembang, pipinya merona sekali.
Kemudian Aura berlari ke arah Fuadi untuk melepaskan pelukan. Fuadi menanggapi pelukan itu dengan sangat bersemangat. Dia memeluk erat Aura yang sudah dinantikannya.
Tangisan Aura pecah dalam pelukan Fuadi. Aura hanya menangis tanpa berkata apa-apa. Tangisan itu sebenarnya menggambarkan bahwa dia sangat menyayangi Fuadi. Sebuah pelukan yang rasanya sudah tidak perlu dijelaskan, apalagi kalau harus dilepaskan.
“Sudahkah terluap semua rasa rindu itu?” Fuadi memulai pembicaraan kepada Aura.
“Tidak ada sepersenpun waktu yang mampu menggantikan rasa rindu yang hilang selama ini.” Aura kemudian menanggapi pernyataan dari Fuadi.
Hatinya berbunga-bunga ketika mendengar itu. Rasanya Aura seperti sudah terkena sihir dari Fuadi. Pelukan yang enggan untuk dilepaskan. Tangannya semakin erat mendekap Fuadi. Sepertinya tidak ingin melepaskannya sama sekali.
“Baiklah silahkan saja sepuas apapun itu.”
Senyum Aura mengembang dibalik badan Fuadi. Senyum itu bersembunyi seolah tidak ada, namun kenyataannya terlihat jelas dibalik badan itu. Perasaan senang menghampiri Aura dengan besar. Rasanya hati ini ingin sekali berkata jujur kepada Fuadi. Namun saya sulit untuk Aura berkata jujur kepada hal yang tidak bisa dia katakana.
“Bagaimana kalau kita duduk?” Fuadi kemudian menawari Aura untuk duduk di tepian sungai itu.
“Baiklah.”
Aura kemudian melepaskan pelukannya itu. Hanya untuk berjalan beberapa langkah saja rasanya berat sekali untuk Aura. Pelukan itu masih ingin dirasakan kehangatannya.
“Bagaimana hari-hari yang kau lalui?” Fuadi memulai pembicaraan.