Cinta dalam Cerita

Sayidina Ali
Chapter #39

Bab 39 : Akhir, Awal, dan Usai.

Gaun yang indah itu dikenakan oleh Halimah. Keluar dengan langkah yang perlahan, dengan iringan musik yang sangat syahdu. Mempelai pria hadir untuk menyambut sang mempelai wanita. Bima dan Halimah saling bertukar pandang, berjalan saling mendekat. Sambutan dari Bima ketika langkah Halimah mendekat, tangannya siap menyambut calon istrinya itu.

Dari sudut lain telah hadir Fuadi dengan Aura, mengenakan pakaian yang sangat indah, sudah serasi bahkan seperti calon pengantin berikutnya. Hari yang indah untuk persahabatan mereka berempat, walaupun Aura baru bergabung setelah kejadian yang menimpa mereka.

“Mereka berdua sangat serasi ya, tidak aneh jika sampai menuju ke jenjang pernikahan.” Aura membuka pembicaraan diantara mereka berdua.

Fuadi langsung memberikan senyumannya kepada Aura. Raut wajahnya seperti mengisyaratkan sesuatu, memberikan tanggapan melalui senyuman. Namun Aura tidak mengerti dengan isyarat itu, dia hanya mengabaikan saja kemudian kembali memperhatikan Bima dan Halimah.

Kedua mempelai itu sudah berjalan beriringan, saat ini menuju ke tempat penghulu. Langkah kaki sangat gemulai, indah nan menyejukkan, bak sedang menengok pertunjukan kerajaan. Sampai di tempat penghulu, mereka berdua kemudian duduk sebagai pasangan yang sudah bersedia untuk menikah.

Telah hadir juga orang tua kedua pengantin, menjadi wali dan saksi dari keduanya. Bima terlihat mendeguskan nafas panjang, pertanda sedang merasa canggung karena ingin mengucapkan sebuah sumpah perkawinan.

Perempuan ini, yang ditemui karena rasa suka, membuat tumbuhnya rasa cinta, hingga pada akhirnya menuju kepada puncak paling tertinggi yaitu kasih. Perasaan yang tumbuh itu sudah bertemu fasa sempurna, ketika rasa cinta, kasih, dan sayang kemudian bersatu padu, itulah yang membulatkan tekad dari Bima untuk menikahi Halimah.

 “Saudara Bima Ramdani, apakah Anda setuju untuk menerima Saudari Halimah Nur Fauzi binti Darmawan sebagai istri dengan mahar tanah dua ratus meter persegi dan emas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai?”

“Saya menerima nikah dan kawinnya Saudari Halimah Nur Fauzi binti Darmawan dengan mahar tanah dua ratus meter persegi dan emas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.”

Sumpah sakral sudah diucapkan oleh kedua belah pihak, suasana hening yang menyelimuti seketika berubah menjadi ucapan serempak. “Sah!!” semuanya bergemuruh mengucapkan kata itu. Senyuman dan teriakan menghiasi pernikahan. Fuadi mengembangkan senyumnya dan menitihkan air mata, dihadapannya sahabat sejati, telah resmi bersuamikan seorang sahabatnya pula.

Tangisan itu disadari oleh Aura, kemudian diusaplah air mata itu. “Belum hilangkah perasaan itu? Belum kah engkau mengikhlaskannya menjadi milik orang lain?” Aura berbicara dengan nada yang pelan, untuk menghargai tamu-tamu yang sedang bergembira.

Aura mengetahui bahwa lelaki yang dihadapannya pernah menaruh rasa kepada Halimah. Walaupun lelaki ini adalah orang yang dia sayangi, tetapi dirinya tidak mau egois untuk melarangnya menangisi kepergian sahabatnya menuju kehidupan yang baru. Aura adalah perempuan yang sangat mengerti perasaan, itulah mengapa selama ini Fuadi merasa sangat nyaman ketika bersamanya.

“Hanya karena aku menangis, bukanlah arti bahwa aku tidak merelakan. Semua yang ada padaku hanya milik seorang yang berada di depanku, seorang yang memberikan aku arti mengenai sabar, syukur, dan senang.” Fuadi mengalihkan pandangannya menuju Aura.

Lihat selengkapnya