ANEH! Itulah pendapatku saat mengamati penampilanku di depan cermin.
Bayangkan! Aku yang biasanya hanya mengenakan jins dan kemeja lengan panjang saat menemani Mama bepergian, hari ini—tak tahu kenapa—malah disuruh Mama untuk memakai gamis! “Iih...! Aneh banget, Mah! Ganti ya? Zahra keliatan kayak emak-emak kalau pake baju kayak ginian,” rengekku.
“Enggak..., hari ini kamu harus pake baju itu!” perintah Mama tegas.
“Please, Ma! Zahra nggak percaya diri kalau harus pake baju kayak gini,” mohonku kembali. Semoga saja Mama mengizinkanku untuk mengganti baju gombrang ini dengan baju yang sudah biasa kupakai.
“Enggak! Kamu mau jadi anak durhaka karena enggak nurutin permintaan Mama?” Dap a t ka h Aku Menjadi Wanita Seperti Fatimah az-Zahra?
Dengan cepat, aku menggelengkan kepala.
“Makanya..., nurut dong kalau Mama suruh apa! Hari ini anak laki-laki Tante Anisa baru pulang dari Malaysia.
Jadi, kamu harus tampil cantik.” “Apa hubungannya tampil cantik sama anaknya Tante Anisa?” tanyaku bingung. Bukankah hari ini aku dan Mama akan ke rumah Tante Anisa untuk menghadiri pengajian? Pengajian ini memang sudah rutin tiap dua bulan sekali diadakan di rumahnya.
“Cepet pake kerudungnya! Entar kita telat!” Bukannya menjawab pertanyaanku, Mama malah menyuruhku buru-buru mengenakan kerudung. Selain baju yang gombrang, ternyata kerudungnya juga tidak kalah gombrang.
“Mah, kerudungnya gede banget,” protesku. “Pake yang punya Zahra aja deh.” “Enggak, itu sudah sepasang sama bajunya. Jadi, cepet pake!” Lagi-lagi, daripada dicap sebagai anak durhaka, lebih baik aku menuruti saja keinginan Mama.
Mang Ujang, yang bertugas menjadi sopir Nyonya Besar, sedang sakit. Mau tidak mau, aku-lah yang menggantikan tugasnya hari ini.
“Jangan cemberut! Nanti cantiknya hilang.” Bibirku yang sudah maju dua senti, nambah lagi deh jadi tiga senti gara-gara diledek Papa.
“Bawa mobilnya jangan ngebut-ngebut ya! Pelan-pelan saja... yang penting sampai dengan selamat.”
Karena malas menjawab perkataan Papa, aku hanya mengangguk.
***
Sesampainya di rumah Tante Anisa, aku segera memisahkan diri dari kerumunan ibu-ibu yang langsung saja heboh mengobrol kalau sudah berkumpul.
“Mbak Nisya,” sapaku pada seorang wanita muda yang sedang sibuk mengatur makanan yang akan disuguhkan setelah pengajian selesai. Ia anak pertamanya Tante Anisa.
Ia itu bestfriend aku di acara pengajian ini.
“Wah, pangling banget Mbak lihat kamu pake gamis kayak gini! Jadi tambah cantik deh keliatannya.” “Masa sih, Mbak?” tanyaku tidak percaya.
“Bukannya gara-gara pake baju kayak gini aku keliatan kayak emak-emak ya?” “Kata siapa kayak emak-emak? Kamu cantik kok pake baju gamis kayak gini.” Masih sulit dipercaya. Mana mungkin sih aku terlihat cantik pakai baju begini? Badan mungilku yang tingginya cuma seratus lima puluh senti lebih sedikit jadi kelihatan tambah kecil. Kalau Mbak Nisya sih memang terlihat cantik pakai baju macam ini. Mungkin karena ia memiliki perawakan seperti gadis-gadis Arab.
“Dapatkah Aku Menjadi Seperti Fatimah az-Zahra?” ucapku membaca sampul sebuah buku yang tergeletak di samping Mbak Nisya. “Buku apa ini, Mbak?” tanyaku penasaran.
“Itu buku tentang akhlak mulia yang dimiliki oleh putri kesayangan Baginda Rasulullah,” jelas Mbak Nisya.
“Sampul bukunya bagus banget, Mbak. Bikin mata s e j u k l i h a t n y a .” “Bukan cuma sampulnya yang bagus... isinya juga bagus banget,” jelas Mbak Nisya, “mau baca?” “Enggak ah. Aku nggak suka baca buku kayak gini.