AKU kembali mematut penampilanku di depan cermin. Tekadku sudah bulat. Mulai hari ini, aku akan mengenakan pakaian yang memang semestinya dipakai oleh seorang muslimah. Celana jins yang biasa aku gunakan berganti dengan rok panjang bermotif batik.Untuk atasannya, aku memilih kemeja lengan panjang lalu dilapisi kardigan abu- abu. Berhubung aku tidak memiliki koleksi kerudung yang besar dan lebar, mau tidak mau aku meminjam kerudung punya mama.
“Gimana, Mah? Aneh gak keliatannya?”
“Enggak kok, Sayang, kamu keliatan tambah cantik kalau pake baju kayak gini.”
“Masa sih Ma? Kalau temen-temen kampus aku pada ngeledek gimana? Aku pasti malu banget, Mah.”
“Insya Allah enggak akan ada yang ngeledek penampilan kamu. Bukannya Nurul juga pakaiannya kayak gini ya?”
“Kalau Nurul mah cocok Mah pake pakaian begini. Toh dia kan calon guru agama Islam. Lah... aku kan calon dokter. Masa pake baju gini?” terangku. Untuk kesekian kalinya aku kembali mematut penampilanku di depan cermin. Aneh nggak sih?
“Sudah, jangan banyak ngeluh! Baca bismillah, insya Allah semuanya lancar. Udah cepet siap-siapnya! Entar kamu telat lagi.”
***
Bismillah. Mudah-mudahan hari ini lancar, tidak ada yang meledek. Semoga saja tidak ada yang berkomentar tentang penampilanku. Awas saja kalau yang banyak komen!
“Zahra! Mau ikut pengajian di mana?”
Tuh, kan! Baru saja tadi berdoa, eh... doaku enggak dikabul. Baru tiga langkah masuk gerbang kampus, mulut nyinyir Citra sudah asal jeplak saja. Menyebalkan!
“Siapa juga yang mau ikut pengajian,” jawabku malas.
Mata Citra naik turun memperhatikan pakaian yang kukenakan.
“Biasa aja kali ngelihatnya,” celetukku sebal pada Citra. “Jangan bilang kamu lagi kena virus A yang sekarang
sedang mewabah para mahasiswi di sini.”
“Virus A? Virus apaan tuh? Kok aku baru denger sih?”
“Ih..., enggak usah berlagak oon deh! Hari ini kamu berpakaian ala-ala ustazah kayak gini gara-gara Pak Ali, kan?” tuding Citra.
“Pak Ali mana? Pak Ali bagian TU, bukan? Idih..., ngapain aku berpakaian kayak gini demi Pak Ali?”
Pletak! Satu jitakan berhasil mendarat di kepalaku. “Bukan Pak Ali itulah.”
“Terus..., Pak Ali yang mana? Perasaan di fakultas kita yang namanya Pak Ali cuman itu aja.”
“Bukan Zahra, yang aku maksud itu Pak Ali dosen baru di fakultas kita.”
“Emang ada?”
Citra mengangguk dengan semangat.
“Dia cakep banget, Ra, tapi dia juga religius banget. Masa kerjaannya kalau enggak ada jadwal ngajar, nongkrongnya di mesjid?! Hampir sebagian mahasiswi di kelas kita yang biasanya gak pake kerudung... sekarang pada pake kerudung loh. Demi narik perhatian Pak Ali.”