PAGI adalah waktu yang indah untuk kembali merangkai mimpi. Waktu yang indah untuk memulai sesuatu hal yang baru dan waktu ketika harapan-harapan baru merekah menghiasi langit yang biru.
Awali pagimu dengan senyuman. Insya Allah harimu akan penuh dengan senyuman.
Kalimat itulah yang selalu memotivasiku dalam mengawali hari. Sinar matahari pagi ini begitu cerah, padahal beberapa hari kemarin langit tampak redup karena tertutup awan mendung. Sekarang memang sudah memasuki musim penghujan.
“Ra, jangan lupa sarapan sebelum ke kampus! Sudah Mama siapin roti panggang di atas meja makan. Mama mau pergi ke rumah Tante Anisa dulu,” ucap Mama yang menyembulkan kepalanya di balik pintu kamarku.
Kuhampiri Mama yang masih berdiri di ambang pintu. “Enggak bareng saja sama Zahra pergi ke rumah Tante Anisa-nya?” tawarku.
Mama menggeleng. “Rumah Tante Anisa kan lawan arah jalannya sama kampus kamu. Jadi..., mendingan Mama sendiri aja ke rumah Tante Anisa-nya,” dengan lembut, Mama membelai puncak kepalaku. “Mama berangkat dulu ya... assalamu’alaikum.”
Kucium tangan Mama. “Wa’alaikumussalam Hati-hati ya, Mah!”
***
Macet. Rutinitas ini tak pernah dapat kuhindari setiap paginya. Gara-gara macet, aku membutuhkan waktu hingga satu jam lebih untuk mencapai kampus, padahal normalnya empat puluh menit saja.
Mobil kesayanganku berjalan merayap seperti semut. Pandanganku mengarah ke samping jalan. Tampak beberapa sepeda motor menyelip di tengah-tengah kemacetan hingga berhasil lepas dari perangkap kemacetan yang menjenuhkan ini. Andai saja aku bisa mengendarai sepeda motor, sudah pasti aku akan lebih memilih naik motor dibandingkan dengan naik mobil. Sayangnya, aku tidak bisa. Padahal aku bisa naik sepeda, tapi kenapa aku tidak bisa naik motor ya? Padahal menurut Citra, orang yang bisa naik sepeda, pasti bisa naik motor. Berulang kali aku latihan naik sepeda motor, tapi ujung-ujungnya pasti lecet-lecet karena nyungsep ke trotoar.
Pandanganku kembali fokus ke depan. Aku teringat surah Ar-Rahman yang tadi subuh kubaca. Kucoba untuk kembali mengingat isi surah tersebut. Perlahan kulantunkan ayat demi ayatnya. Aku bertekad, mulai hari ini aku akan memperbanyak hafalan surahku. Malu rasanya saat aku melihat diriku sendiri. Aku yang diberi kesempurnaan oleh Allah malah malas menghafal Al Quran, sedangkan diluar sana yang hidup dalam keterbatasan penglihatannya semangat menghafal Al Quran.
Sesampainya di kampus, aku segera memarkirkan mobil di parkiran depan yang letaknya lebih dekat dengan fakultasku. Aku semakin mempercepat langkah saat jam yang melingkar di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Masya Allah, kelas Pak Ginanjar sudah dimulai!
Suara ribut menandakan bahwa Pak Ginanjar belum masuk kelas. Alhamdulillah. Aku selamat dari ceramahan sang dosen pagi ini.
“Tumben telat?” Pertanyaan itu terlontar dari Citra. “Macetnya parah banget hari ini,” jelasku. “Pak Ginanjar ke mana? Tumben belum dateng... Bukannya ia biasanya on time?”
Citra mengangkat bahunya, menandakan bahwa dia tidak tahu.
Lima belas menit berlalu. Belum ada tanda-tanda kedatangan Pak Ginanjar. Pada menit kedua puluh, ada yang mengetuk pintu kelas yang tertutup rapat. Sontak seluruh mahasiswa yang berada di dalam kelas menghentikan kegiatan masing-masing.
“Assalamu’alaikum.”
Salam? Tumben sekali. Biasanya Pak Ginanjar selalu menyapa kelas dengan ucapan, “Sudah siap menerima materi saya?”, tapi kok ini malah mengucapkan salam?
Citra menyenggol bahuku. “Nyari apa sih? Lihat tuh ke depan siapa yang masuk ke kelas kita!” ujarnya semangat. Aku masih sibuk mencari keberadaan tempat pensilku.
Perasaan sudah aku masukkan ke dalam tas, tapi kenapa tidak ada?
“Hari ini kelas kita benar-benar lagi beruntung. Pak Ginanjar enggak datang... eh yang datang malah malaikat.”
Aku memutar mataku malas mendengar perkataan Citra yang menurutku terlalu berlebihan.
“Memangnya siapa sih yang datang?” Kualihkan pandanganku ke depan kelas.
Dia si cowok songong plus galak? Ngapain dia ada di kelasku?
“Biasa aja kali lihatnya.... Enggak usah lebay kayak gitu juga,” ejek Citra seraya menyenggol bahuku.
“Maaf... hari ini Pak Ginanjar berhalangan masuk. Jadi sebagai gantinya, saya yang akan memberi materi hari ini.”
Ngapain dia ngasih materi? Memang dia dosen? Masa sih dia dosen? Kalaupun dia dosen, kenapa dia malah jadi dosenku?
“Apa aku bilang! Ganteng banget kan Pak Ali?” Lagi-lagi Citra memberi pujian.
Pak Ali memang ganteng. Sebelas dua belaslah sama Ali Syakieb, tapi tidak tahu saja bagaimana sikap asli Pak Ali yang dia puji itu. Kalau tahu, aku yakin pasti Citra bakal langsung pensiun deh jadi penggemarnya Pak Ali.
Tidak terasa kelas mata kuliah Pak Ginanjar selesai. Kuakui cara penyampaian materinya sangat bagus. Biasanya aku sangatlah lemot kalau menerima materi ini. Entah kenapa saat dia yang menjelaskan materi tersebut, terasa begitu mudah dimengerti. Syukurlah, di antara sikap buruknya, dia masih memiliki sisi baik. Bukan hanya ganteng, dia pun mampu menyampaikan materi dengan sangat baik.
Ya ampun! Kesambet apa aku? Kenapa aku malah memujinya?
“Sudahcakep, enakbangetlagicarapenyampaianmaterinya.” Aku mengangguk. Hal tersebut memang tidak bisa dipungkiri. Tapi, tetap saja sikap songong-nya bikin aku sebal sama dia.
***