Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala Ali sayyidina Muhammad
Apa, Ra?!" pekikku kaget saat sahabatku, Rara menyukai pria yang sama denganku. "Kamu serius?" tanyaku kembali memastikan.
"Serius dong Nis …!" jawab Rara dengan anggukan mantap. "Sudah lama sebenarnya aku mau jujur sama kamu, tapi aku malu,” cengirnya dengan menampilkan deretan giginya yang rapi.
Aku hanya diam, merasa terkejut dan khawatir. Selama ini aku selalu memendam perasaanku pada Kak Naufal dari siapapun termasuk Rara, sahabatku. Bukan karena aku tak mau jujur padanya, hanya saja aku belum siap mengatakannya.
Aku dan Rara merupakan sahabat dari SMP hingga sekarang. Usia kami hanya terpaut dua bulan saja, dan aku lebih dulu lahir daripada Rara. Kami juga saling menyayangi layaknya sahabat karib pada umumnya. Aku mengenal baik dirinya dan juga keluarganya, pun sebaliknya.
"Kira-kira respon Kak Naufal gimana ya, Nis?" gumam Rara dengan wajah gugup. "Malu gak sih kalau aku bilang suka sama dia sekarang?"
"Aku gak tau!" cetusku singkat sambil menahan kesal dan pedih secara bersamaan. Lalu beranjak pergi meninggalkannya.
"Nisa? Loh, kamu mau kemana? Kok aku ditinggalin sih!" sewot Rara seraya menghentakkan kakinya. Sedangkan aku yang tak peduli padanya terus melanjutkan langkahku menuju motor yang terparkir di depan Cafe tempat kami menghabiskan waktu bersama.
🌿
"Assalamualaikum warahmatullah? Benarkah ini alamat saudari Khairunnisa Az-Zahra?" ucap pemuda jangkung berkacamata bertamu di rumahku. Di tangannya terdapat seekor kucing berwarna putih bercampur abu-abu yang berada dalam pet carrier sebagai pelengkapnya.
"Iya betul, saya sendiri.” Aku menyahut dengan alis berkerut tipis, "maaf, dengan siapa, ya?"
"Saya Naufal.” Pemuda itu memperkenalkan diri. "Saya kesini untuk mengantarkan pesanan untuk Kak Khairunnisa," katanya seraya meletakkan kucing tersebut di lantai teras rumahku yang sederhana.
Begitulah awal pertemuanku dengan Kak Naufal tiga tahun lalu. Karena kami sama-sama menyukai hewan kesayangan Rasulullah yakni ‘kucing’. Maka dari sanalah aku selalu datang ke tempat petshop milik Kak Naufal.
Hampir setiap bulan aku selalu berkunjung dan bertemu dengannya. Sekedar mencari info tentang peliharaanku, pun akhirnya jatuh hati pada pria matang berumur tiga puluh tersebut.
“Nisa!” Aku tak asing lagi dengan suara milik Rara. Gadis itu sedikit berlari dan mensejajarkan langkahnya denganku. Saat ini kami tengah berada di sepanjang koridor Universitas di kota Bandung tempatku dan Rara menuntut ilmu.
“Tunggu dulu, Nis!” Rara Lasuba, gadis yang sudah lama bersamaku hampir sepuluh tahun itu menghalangi langkahku yang konstan.
“Kenapa?” tanyaku acuh tak acuh. Entah mengapa aku masih kesal padanya dan enggan bertemu.
“Kok kemarin kamu pergi gitu aja, sih?!” rengek Rara, nafasnya yang masih memburu berusaha ia atur. “Trus semalam aku telpon juga gak diangkat. Kamu marah, Nis?”
“Nggak, kok,” elakku lirih. “Aku lupa beliin pesanan Bunda. Jadi pulang duluan.”
“Oh, gitu.” Rara kini berhasil menguasai napasnya. “Yaudah ikut, yuk!”
“Gak bisa, Ra,” tolakku lembut hingga berhasil membuat sahabatku langsung cemberut. Jujur saja, aku belum sepenuhnya menerima jika kami menyukai pria yang sama.
“Hari ini kamu aneh deh, Nis?” ungkap Rara seraya menelisik wajahku. “Kenapa? Mau cerita? Hayu! Aku siap jadi pendengar yang baik!”
Aku menggeleng pelan, “Aku nggak apa-apa, Ra.”