Allahumma sholli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala Ali sayyidina Muhammad
Astaghfirullahaladzim …!!” Aku dan Rara berucap hampir bersamaan dengan mata bulat, pun mulut menganga.
Kuselami iris coklat kehitaman milik pria di hadapanku itu dengan pandangan tak menyangka.
Apakah semua yang ia katakan sungguhan? Ataukah sekedar alasan karena ingin menolak perasaanku juga Rara?
Kak Naufal tersenyum simpul lalu berkata, “Saya mengerti kalian pasti terkejut. Itu wajar, kalian bukan yang pertama bereaksi seperti tadi.”
Aku menelan ludah. “Maaf, Kak. Apakah ini serius?” tanyaku dengan suara pelan seraya berusaha menenangkan hati. “InsyaAllah kami ikhlas jika Kak Naufal menolak perasaan saya dan Rara, tapi-,”
“Saya serius, Nisa.” Kak Naufal memotong ucapanku. “Dulu saya memang seorang Gay!” Nadanya kini lebih tegas dengan mata berkabut.
Ya Rabbi … haruskah aku merelakan cinta pertamaku?
Kuhela napas panjang lalu beristighfar untuk kesekian kalinya. Hingga baru kusadari, sahabatku ternyata masih diam seribu bahasa.
“Ra?” ucapku padanya sembari menyentuh tangannya yang halus.
Matahari kini telah beranjak naik pun para pengunjung bertambah banyak. Namun tidak dengan atmosfer di sekitar kami yang seolah-olah kekurangan oksigen bersamaan dengan pernyataan pahit yang diutarakan Kak Naufal.
“Kenapa, Ra?”
Rara yang berada di sampingku masih membisu. Aku tahu ia patah hati, alih-alih tak percaya sama sepertiku.
“Aku nggak apa-apa, Nis.” Akhirnya Rara menyahut dengan senyum yang dipaksakan, kemudian mengalihkan pandangannya pada Kak Naufal. “Lalu bagaimana dengan sekarang, Kak? Apakah Kak Naufal masih menyukai pria?”
Aku terhenyak, kenapa bisa Rara mengatakannya tanpa ragu-ragu.
“Sudah hampir empat tahun saya mencoba, tapi ….” Kak Naufal menggantung ucapannya.
“Tapi kenapa, Kak?” timpal Rara tak sabaran, pun diriku.
Dan kulihat pria yang kusukai itu tengah menarik napas dalam-dalam, “Ini sulit, mereka tak menginginkan saya keluar dari kelompok tersebut. Tapi sungguh, saya ingin bertaubat. Saya lelah.”
Kak Naufal menatap kami berdua lalu melanjutkan ucapannya. “Maaf, saya bukan pria yang kalian harapkan. Masa lalu saya buruk. Jadi, pikirkan tentang masa depan kalian jika nanti bersama saya.”
Aku dan Rara tertegun sesaat. Hanya terdengar bunyi jam dinding bergerak konstan serta bisik-bisik para pelanggan dengan canda tawa masing-masing. Pun para pekerja Cafe yang mondar-mandir memberikan pelayanan ramah seraya menyuguhkan hidangan yang dinantikan.
“Baiklah, Kak, terima kasih. Kami permisi dulu.” Tanpa aba-aba, Rara bangkit seraya meraih tanganku.
“Eh, tunggu, Ra!” Aku menepisnya, namun Rara yang nampak kecewa pergi meninggalkanku dan Kak Naufal begitu saja.
“Maaf, Kak, kami permisi pulang dulu. Assalamualaikum?”
Setelah mendapat anggukan dari Kak Naufal, aku bergegas pergi mengejar Rara yang sudah lebih dulu tiba di Parkiran Cafe.
“Ya Allah, Ra …! Kamu kenapa pergi gitu aja, sih? Gak sopan tau!” ujarku sedikit kesal pada sahabatku.
“Aku gak peduli, Nis,” jawabnya acuh. “Yuk ah, kita pulang aja.”