Cinta Dalam Ikhlas (Republish)

Bentang Pustaka
Chapter #3

Kamu, Siapa Namamu?

Kamu hadir begitu saja dalam hidupku

Seperti hujan yang tiba-tiba menderas turun dari langit

Kamu hadir begitu saja mewarnai hatiku

Seperti matahari terbit menghangatkan tubuhku yang menggigil pada waktu fajar

Kamu, siapa namamu?

Celaka dua belas, kami satu kelas! Rasanya seperti sebuah tragedi besar dalam hidupku. Seseorang dengan senyuman terindah sepanjang hidup yang pernah kutemui. Seseorang yang gerak geriknya mampu membuat jantungku naik-turun. Haruskah aku temui, aku lihat, aku perhatikan detail tentangnya setiap hari? Apa yang harus kulakukan? Bagiku ini justru menyulitkan, perasaan yang kurasakan ini seperti beban berat bagiku. Aku kini seperti seseorang yang linglung dan kehilangan identitas. Aku benar-benar payah untuk soal satu ini.

Meski pada akhirnya aku harus menerima kenyataan. Aku harus menghadapi semua ini ....

Hal pertama yang ingin aku tahu tentangnya adalah siapa namanya. Semua orang yang merasa menemukan seseorang yang dicinta pada pandangan pertama pasti memikirkan hal itu. Sebuah pertanyaan yang selalu menggetarkan hati.

Siapa namanya?

Momen yang kutunggu-tunggu di dalam kelas adalah saat absensi pertama dilakukan. Saat itulah aku akan tahu siapa nama perempuan berjilbab dengan senyuman indah seperti pelangi terbalik itu. Hingga saatnya kami disatukan di dalam kelas, seorang kakak pembimbing dengan kertas di tangannya bersiap memanggil kami satu per satu. Saat itu aku buka telingaku lebar-lebar. Mataku terus mengintai.

Aku sangat menantikan dia mengacungkan tangannya saat dipanggil.

“Annisa Sumaryati ....” Kudengar teriakan kakak pembimbing memanggil.

Mataku langsung memburu. Dan, kulihat perempuan berjilbab itu masih terdiam. Seseorang yang di pojok belakang yang mengacungkan tangan.

Ternyata bukan ....

“Andi Arif ....” Mataku biasa saja. Sudah pasti bukan dia orang yang dimaksud.

“Alia Siti Aisyah ....” Kembali mataku melihat ke arah bangkunya. Hampir saja jantungku copot, tetapi ternyata yang mengacungkan tangan adalah teman sebangkunya.

Kembali aku menantikan nama demi nama dipanggil. Dengan rasa penasaran yang semakin memuncak.

“Aurora Cinta Purnama ....” Mataku kembali tertuju ke arahnya. Hanya beberapa saat aku melihatnya. Ternyata, dia mengacungkan tangannya. Ah ... dan kini jantungku terasa benar-benar copot. Degupnya semakin kencang.

Aurora Cinta Purnama, nama yang indah, seindah senyumannya.

Setelahnya, setiap mendengar nama itu dipanggil dalam absensi kelas, hatiku selalu bergetar hebat. Teman-teman sekelas memanggil gadis berjilbab itu dengan panggilan Ara. Tiga huruf yang akan membuat hidupku dipenuhi banyak cerita. Terkadang saat melihatnya, ruangan kelas bagiku seperti berubah menjadi sebuah taman bermain yang indah penuh bunga warna-warni.

Aku duduk di barisan pertama di jajaran meja kedua. Dia duduk di barisan kedua, jajaran meja ketiga dari arah pintu kelas. Sesekali mataku sering tertuju pada meja tersebut, mencuri-curi pandang, seolah mataku melihat ke luar jendela, padahal aku ingin melihat dia. Aku ingin tahu dia sedang apa, ingin melihatnya, meski yang kulihat mungkin hanya ujung jilbab putihnya. Itu saja cukup membuat getaran itu selalu terasa. Dan, rasa itu tak mau berhenti mendesir dalam hati, memberikan informasi dan perintah spesifik ke dalam otak, membuat sikapku tak menentu.

Selalu seperti itu, hari pertama, kedua, ketiga, dan keempat pada masa-masa awal orientasi sekolah.

Aku berubah menjadi seseorang yang tak aku kenal ....

Lihat selengkapnya