Ada sebuah memori yang sulit dilupakan oleh setiap manusia. Meski kita setengah mati berusaha menghilangkannya dalam ingatan, tetap tak bisa kita lupakan. Malah semakin besar energi kita untuk melupakan, akan semakin besar pula ingatan itu muncul bak film drama dengan detail yang tergambar di depan mata. Memori itu menjadi bagian tak terpisahkan dari cerita hidup kita, mewarnai dan menghantui hidup kita. Bahkan, sesekali, memori itu mampu masuk ke mimpi-mimpi kita, membuat kita terbangun dari tidur dengan mata yang berair.
Memori itu bernama Kehilangan.
Kehilangan membuat hati serasa tertusuk. Membuat dada terasa sesak mengimpit. Menyisakan perih yang berlarut-larut.
Siapa yang pernah mengalami kehilangan?
Aku pernah. Tak sekali, bahkan berkali-kali. Aku yakin semua manusia pernah dan akan bertemu dengan cerita tentang kehilangan. Kehilangan bahkan seperti selalu menghinggapi keluargaku. Menjadi cerita kelam dalam kehidupan yang kujalani. Meski pada akhirnya, dari kehilangan pula aku belajar bagaimana caranya memaknai hidup.
Sekarang, izinkan aku menceritakan sedikit kepadamu ....
***
Orang tuaku memberiku nama Bintang Athar Firdaus. Sebuah nama indah penuh harapan kebaikan. Teman-temanku memanggilku Athar.
Pada suatu malam, aku terbaring di dalam kamar. Usiaku baru menginjak 5 tahun. Aku letakkan kakiku ke atas menyentuh dinding kamar. Mataku menatap langit-langit, termenung sendirian. Semua orang sedang berkumpul di ruang tengah. Suara mengaji terdengar begitu jelas. Dari dalam kamar kudengar suara deru mobil berhenti di depan rumah. Aku beranjak, dari balik jendela aku melihat dengan jelas sebuah mobil putih. Ada beberapa orang yang langsung menghampiri mobil tersebut. Mataku tajam menatap ke luar jendela. Tampak seorang perempuan yang mendadak pingsan. Orang-orang langsung memapahnya masuk ke rumah. Dia adalah bibiku.
Bibi sangat shock karena kakak satu-satunya yang sangat disayanginya telah meninggal.
Malam semakin larut. Dan, aku masih terdiam di dalam kamar. Tak beranjak, mataku tak mengeluarkan tangisan sedikit pun. Aku masih belum mengerti. Malam itu aku juga tak melihat Mama, aku tak tahu Mama ada di mana, Mama tak menghampiriku. Mungkin beliau sedang menangis atau mungkin sedang menidurkan Tiara, adikku yang baru berusia 1 tahun.
Aku beranjak menuju pintu, melihat orang-orang lalu-lalang. Tak ada seorang pun yang memperhatikanku.
Keesokannya, aku melihat jenazah Bapak sudah berada dalam keranda. Para tetangga dan saudara telah berkumpul di halaman rumah. Mereka bersiap membawa Bapak ke masjid untuk dishalati. Ada banyak rombongan yang ikut menshalati Bapak. Setelah selesai dishalati, kembali rombongan bergerak pergi membawa jenazah Bapak. Aku ikut bersama mereka berjalan menuju sebuah tempat. Ada beberapa tetangga mendekatiku dan menemani langkah kecilku. Beberapa di antara mereka terlihat baik kepadaku. Mereka aku kenali sebagai teman Bapak. Dan, di antara mereka ada yang memegang tanganku, memegang kepalaku, menuntunku dan berkata, “Kasihan sekali, anak sekecil ini sudah menjadi anak yatim ....”
Kakiku terus melangkah mengikuti orang-orang yang berjalan pelan, menerobos jalan kecil yang dipenuhi pepohonan. Hingga akhirnya orang-orang berhenti pada sebuah tempat. Di depannya ada tanah seukuran 2 x 1 meter yang sudah digali. Dengan perlahan dan hati-hati jenazah Bapak dikeluarkan dari keranda.
Semuanya aku lihat dengan jelas. Saat azan dan doa berkumandang, tubuh Bapak menghilang, ditimbun tanah, terkubur di peristirahatannya yang terakhir.
Sekelilingku penuh dengan suara tangisan. Dan, aku hanya membisu terdiam tanpa suara. Ada bisikan kecil pelan terucap dalam hatiku ....
Bapak telah pergi ....
Mulai saat itu, akhirnya aku tahu satu cerita kehidupan yang pasti dialami oleh semua manusia. Cerita yang mampu memisahkan kita dengan orang yang sangat dekat dengan kita. Seseorang yang kita sayangi dan menyayangi kita, bisa kapan saja pergi meninggalkan kita. Tak ada lagi senyumannya, juga pelukannya. Sebuah cerita yang mengakhiri cerita.
Cerita itu bernama kematian.
Beberapa tahun setelah kejadian ini akhirnya aku menyadari, betapa beratnya kehilangan seorang bapak. Sesuatu yang juga sangat memberatkan Mama yang harus rela ditinggal belahan jiwanya pada usia yang masih tergolong muda, 38 tahun. Sekarang beliaulah yang harus berperan sebagai kepala keluarga, dibantu oleh kakak-kakakku yang belum ada seorang pun yang lulus sekolah. Mereka pada usianya yang masih sangat muda harus ikut merasakan tanggung jawab untuk membantu Mama.