Cinta dalam Kontrak

Suryaning Bawono
Chapter #3

Bab 3: Pertemuan Pertama

Amara merasa jantungnya berdegup kencang ketika langkah-langkahnya membawanya mendekati ruang pertemuan di sebuah hotel mewah di pusat kota. Lorong panjang dengan karpet tebal yang redup menambah kesan mewah dan megah, membuat setiap langkah terasa berat dan penuh tekanan. Hari ini adalah hari yang penting, hari di mana ia akan bertemu dengan Raka Pratama untuk pertama kalinya. Mata Amara berkedip cepat, mencoba mengendalikan kegugupannya. Meskipun pertemuan ini sudah direncanakan, perasaan cemas dan tegang tetap menguasai hatinya. Setiap detik yang berlalu seolah-olah memanjangkan waktu, membuatnya semakin gugup.

Saat ia akhirnya tiba di depan pintu ruang pertemuan, Amara menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Dengan lembut, ia mendorong pintu berat tersebut dan melangkah masuk. Ruangan itu berdesain modern dengan lampu gantung kristal yang menggantung anggun di langit-langit. Ketika dia membuka pintu ruang pertemuan, pandangannya langsung tertuju pada seorang pria tampan dengan penampilan rapi yang duduk di ujung meja. Cahaya lampu memberikan sorot halus pada wajah pria itu, membuatnya terlihat lebih menawan.

Raka Pratama berdiri ketika melihat Amara masuk. Dengan senyum tipis, dia menyapanya, "Selamat siang, Amara. Saya Raka Pratama." Suaranya tenang dan penuh percaya diri, mencerminkan aura ketenangan dan kendali. Amara merasa sedikit gugup, namun ia berusaha untuk tetap tenang. "Selamat siang, Raka. Senang akhirnya bisa bertemu dengan Anda," jawabnya dengan suara lembut namun tegas. Mereka duduk berseberangan, merasakan suasana yang penuh dengan formalitas namun juga ada rasa penasaran di antara keduanya.

Setelah beberapa percakapan basa-basi yang sopan, Raka membuka pembicaraan tentang tujuan utama pertemuan mereka. "Amara, saya yakin Anda sudah mengetahui alasan mengapa kita di sini hari ini. Keluarga kita telah menyusun perjanjian pernikahan kontrak ini untuk kepentingan bersama," kata Raka, sambil menyerahkan dokumen kepada Amara. Amara mengambil dokumen itu dengan hati-hati, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. "Saya ingin kita mendiskusikan poin-poin utama dari perjanjian ini dan memastikan semuanya jelas sebelum kita melangkah lebih jauh," lanjut Raka.

Amara membuka dokumen itu dengan hati-hati, membaca setiap poin dengan seksama. Sesekali ia mengangguk, menunjukkan bahwa ia memahami isi dari perjanjian tersebut. "Jadi, perjanjian ini akan berlaku selama dua tahun, setelah itu kita memiliki opsi untuk memperpanjang atau mengakhiri pernikahan ini," kata Amara, mengulangi salah satu poin yang tertulis. Raka mengangguk setuju, "Benar. Dalam periode tersebut, kita akan berpura-pura menjadi pasangan yang harmonis di hadapan publik. Setelah dua tahun, kita bebas menentukan langkah berikutnya."

Diskusi mereka berlanjut dengan detail mengenai tanggung jawab dan hak masing-masing pihak dalam pernikahan tersebut. Amara menanyakan tentang bagaimana mereka akan menangani keuangan, tempat tinggal, dan kehidupan sehari-hari. "Semua pengeluaran akan ditanggung oleh saya. Anda tidak perlu khawatir tentang keuangan," jelas Raka dengan mantap, suaranya memancarkan keyakinan. Amara merasa lega mendengar itu, namun ia tetap ingin memastikan bahwa hak-haknya juga terlindungi. "Saya ingin memiliki kebebasan untuk melanjutkan karier saya dan menjaga hubungan dengan keluarga saya," tambah Amara, suaranya tegas.

Raka mengangguk setuju, "Itu sudah termasuk dalam perjanjian ini. Anda akan memiliki kebebasan penuh dalam hal karier dan hubungan pribadi." Amara merasa sedikit lega mendengar penjelasan itu, meskipun masih ada keraguan yang tersisa dalam hatinya. Dia menutup dokumen itu dan menatap Raka, mencoba mencari kejujuran di matanya. "Baik, saya setuju dengan perjanjian ini. Saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik," kata Amara akhirnya, suaranya penuh dengan tekad.

Raka tersenyum, "Saya juga berharap demikian, Amara. Mari kita jalani ini dengan sikap profesional dan saling menghormati." Kata-kata itu mengalir dengan ketenangan yang menenangkan hati Amara, meski perasaan cemas masih tersisa. Mereka berdua berdiri, menandai akhir dari pertemuan pertama yang penting ini. Dengan kesepakatan itu, mereka menutup pertemuan pertama mereka, saling berjabat tangan sebagai tanda dimulainya sebuah babak baru dalam hidup mereka. Meskipun awalnya canggung dan formal, ada sebersit harapan bahwa mereka bisa menjalani perjanjian ini dengan baik. Raka mengiringi Amara menuju pintu, senyumnya masih terlihat hangat dan tulus.

Amara melangkah keluar dari ruang pertemuan dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ada kelegaan karena semua sudah dijelaskan dan disepakati. Namun, di sisi lain, hatinya masih diliputi oleh keraguan dan kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Pandangannya menyapu ruangan mewah itu untuk terakhir kalinya sebelum pintu tertutup di belakangnya. Amara menyadari bahwa setiap langkah yang ia ambil akan membawa perubahan besar dalam hidupnya. Hari-hari tenang di desa kini terasa seperti kenangan yang jauh. Ia tahu bahwa tantangan baru yang akan dihadapinya di kota tidak akan mudah.

Sesaat setelah keluar dari hotel, Amara berjalan menuju mobil yang akan membawanya kembali ke rumah. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi oleh berbagai pertanyaan dan skenario yang mungkin terjadi. "Bagaimana aku akan menyesuaikan diri dengan kehidupan yang baru ini? Bisakah aku benar-benar menjalani pernikahan tanpa cinta?" pikir Amara, hatinya penuh dengan kebimbangan. Namun, di tengah-tengah kekhawatirannya, ia menemukan secercah keberanian. Ia mengingat kembali wajah orang tuanya yang penuh harap dan dukungan teman-teman terdekatnya. Keberanian dan tekadnya untuk melindungi keluarganya menjadi motivasi yang kuat.

Lihat selengkapnya