Dia bersandar pada pohon Kersen yang sedang berbuah cukup banyak. Kulihat matanya menampakkan nuansa kegelisahan, namun juga sorotannya selalu memancarkan sebuah harapan. Beberapa menit aku menikmati wajah manisnya, namun sesaat kemudian dia menyadari kehadiranku. Aku pun melempar senyum dan mendekatinya.
“Sudah lama?”
“Lima belas menit yang lalu gus,” katanya.
Kurebahkan sepeda kesayanganku dan duduk menyandar pohon kersen. Kulihat dia ikut duduk namun menggeser tubuhnya menjauh dariku.
Tempat ini adalah tempat di mana pertama kali kami bertemu. Saat itu dia mengendarai sepeda cukup kencang dan karena ada masalah dengan rem sepedanya, dia hampir saja menabrakku yang sedang asik duduk bersandar di pohon sambil menikmati hafalan alfiyah.
Tak sempat menabrakku, sepedanya malah masuk ke selokan sawah dan dia pun tercebur basah kuyup.
“Hahahaha……” tawaku saat itu.
Namun tiba-tiba dia menangis, segera aku menghentikan tawaku dan menolongnya keluar dari selokan.
“Maaf, aku tidak bermaksud menertawakanmu saat jatuh, tapi sungguh kejadian tadi membuatku spontan ingin tertawa,” kataku. Dia hanya terdiam dan mengusap air matanya. Dia pun mengeluarkan semua isi dalam tasnya.
Aku melihat beberapa buku pelajaran yang sudah basah dan juga beberapa tumpukan kertas, mungkin tugas sekolah. Dia seperti tidak menghiraukan buku yang lain, dia lebih peduli dengan tumpukan kertas tersebut, tangannya gesit mengibaskan kertas dan menaruhnya satu persatu di atas rumput. Karena cuaca siang itu cukup panas, maka bisa cepat membantu mengeringkan kertas-kertas tersebut.
Aku mengamati betul kertas-kertas tersebut, ada beberapa foto orang-orang kuno, seperti para ilmuan, tapi sama sekali aku tidak mengenali mereka.
“Ini kertas apa? Tugas sekolahmu? Memang mereka siapa?” tanyaku.
“Dia Robert Koch seorang ilmuan dari Jerman yang merupakan pendiri Ilmu Bakteorologi Kedokteran Modern. Ia berhasil mengisolasi beberapa bakteri penyebab penyakit, termasuk TBC, dia juga yang menemukan hewan-hewan pembawa penyakit berbahaya lainnya. Temuannya sangat berguna bagi kehidupan kita sekarang,” katanya merespon pertanyaanku.
“Kalau yang ini Edwart Jenner, seorang dokter yang menemukan vaksin untuk menyembuhkan cacar. Ia adalah tokoh yang meletakkan dasar bagi Imunologi yakni ilmu tentang kekebalan tubuh. Dulu pada abad ke 18, cacar merupakan penyebab kematian terbesar.” Aku mengangguk mendengarkan penjelasannya.
“Hachi!”
“Sebaiknya kamu langsung pulang dan berganti pakaian, lihat kamu basah semua.”
“Lalu, bagaimana dengan buku dan catatan-catatanku ini?”
“Rumahmu jauh tidak?” dia menggeleng, “lima belas menit bersepeda.”
“Oke, aku akan menjaga barang – barang ini, sampai kamu kembali ke sini.”
Dia tersenyum, senyumannya sangat manis, mungkin karena hidungnya yang mancung dan pipinya yang sedikit chubby membuatnya begitu menarik untuk dipandang.
“Beneran mau jagain, baiklah, aku pulang sebentar dan segera kembali.”