Aku akan bercerita tentang dia, tentang seorang perempuan, ya betul! Tentang kisah cinta pertama.
Aku awali dari hari setelah kami pertama kali bertemu, ketika saat itu dia jatuh dari sepedanya dan masuk ke selokan sawah.
Hari kedua itu adalah hari minggu, saat itu aku sangat suntuk dengan tugas yang diberikan abah. Aku memang memiliki kemampuan mudah menghafal dan memahami sesuatu, dengan kemampuanku tersebut, abah punya target tersendiri. Bulan lalu aku harus selesai memaknai kitab Bulughul Marom, dan mulai besok aku harus bisa menyelesaikan sorogan kepada abah baik sorogan makna maupun sorogan hafalan hadist dalam kitab tersebut.
Bukan hal yang berat bagiku, namun aku lebih gemar menghafal sebuah nadzom, dan yang paling aku gemari adalah nadzom alfiyah. Setiap aku merasa suntuk, tempat inilah yang aku datangi dan kitab alfiyahlah yang aku bawa.
Aku lantunkan nadzomnya, aku analogikan maknanya, bukan sekedar makna dalam ilmu nahwu karena jika kita perhatikan betul, maka banyak makna kehidupan yang bisa kita pelajari dalam kitab ini.
***
“Mas, Hey, Mase….”
Aku menoleh pada suara yang sepertinya memanggilku.
“Sering di sini ya? Hari minggu gini koq pake seragam, emang gak libur.”
Pelajar SMP yang kutemui beberapa hari sebelumnya kembali muncul di hadapanku. Pertemuan yang mungkin tidak akan pernah aku lupakan, apalagi melihat ekspresi wajahnya saat tercebur selokan.
“Mas, koq diem aja?” katanya membuyarkan lamunanku.
“Iya, ini tempat yang aku datangi kalo lagi suntuk. Di sini angin semilir dan aroma sawah bikin pikiran bisa tenang.” Kulihat dia mengangguk.
“Kamu gak libur ya?” tanyanya.
“Sekolahku liburnya hari Jumat,” jawabku.
“Oh, kamu santri Pondok Al-Falah ya?” Aku tersenyum dan mengangguk.
“Tetanggaku juga banyak yang mondok di sana. Bahkan saudara sepupuhku juga mondok di sana, dia malah sudah bertahun tahun. Kamu kenal gak ya? Namannya mba Sari.”
Aku ingin menjawab pertanyaannya tapi dia kembali berbicara.
“Mungkin kamu gak kenal, pondok al-Falah kan besar dan banyak kompleknya, tiap kompleknya punya pengasuh sendiri-sendiri, juga komplek putra putri terpisah. Mungkin saja mba Sari gak satu komplek sama kamu.”
Aku kembali tersenyum dan mengangguk.
“Baca kitab apaan mas?”
“Ini Nadzom Alfiah ibnu Malik,” kataku, dia mengangguk dan duduk satu meter di sampingku.
“Pasti kamu pintar ilmu agama ya? Aku sebenarnya ingin bisa memahami ilmu agama dengan baik, tapi entah kenapa aku kesulitan setiap menghafal istilah-istilah arab, bahkan terkadang bingung sekedar membedakan mana sunnah mana rukun sholat,” katanya dengan wajah terlihat sedih dan tatapan mata dilemparnya ke sawah yang membentang luas di hadapan kami.
Aku malah terbahak mendengar kalimatnya.
“Kenapa tertawa? Kamu menghinaku ya, karena aku bukan santri sepertimu yang pandai dalam ilmu agama?”
“Maaf, aku tidak bermaksud seperti itu. Hanya saja aku heran, bukannya syarat, rukun dan sunnah sholat itu pelajaran saat kita SD. Kamu dengan mudah melupakan pelajaran yang sudah kamu pelajari di bangku SD, dan bukannya kita setiap hari sholat. Hahahaha……” aku benar-benar tak bisa menahan tawa.
“Ehmm, mas aku mau tanya siapa penemu mikroskop?”
Aku berhenti tertawa dan mengingat-ingat sepertinya aku mendapatkan nama penemu mikroskop di bangku MTs.
“Hahahahaha….” diapun tertawa lebar, aku terkejut.
“Mase juga lupa dengan pelajaran biologi saat SMP.”
Aku merasa dia membalas apa yang aku lakukan sebelumnya.
“Aku ingat, penemu mikroskop ya, Galileo Galilei dari Italia.”
Dia berhenti tertawa.
“Tidak sepenuhnya salah tapi juga tidak sepenuhnya benar. Karena menurut sejarah, yang pertama kali memiliki pikiran untuk membuat alat mikroskop adalah Zacharias Janssen. Dia adalah seorang pembuat kacamata. Zacharias Janssen membuat mikroskop pertama kali pada tahun 1590, dibantu Hans Janssen. Mikroskop tersebut mampu melihat perbesaran objek 150 kali dari ukuran asli. Sedangkan Galileo Galilei menyelesaikan mikroskop buatannya pada tahun 1609,” katanya.
“Wah, kamu penggemar ilmu pengetahuan alam ya. Kemaren juga kertas-kertasmu yang basah ada gambar ilmuan biologi.” Dia tersenyum dan aku kembali terpesona.
“Begitulah manusia, jarang sekali kita menemukan manusia yang sempurna memahami semua ilmu di bumi ini. Yang di pesantren pasti pinter ilmu agama, walau ada juga yang pintar sains, begitupun sebaliknya. Sungguh beruntung bagi mereka yang pinter dua-duanya,” katanya.
“Tapi sebaiknya, minimal kamu harus mengingat mana rukun mana sunnahnya sholat,” kataku dan dia kembali terbahak.
“Tahu gak mas kenapa aku merasa tidak penting menghafalkan mana rukun mana sunnah sholat?” pertanyaannya membuat aku terheran dan menggelengkan kepala.
“Waktu itu mba Sari pulang dan aku main ke rumahnya, saat adzan duhur mba Sari mengajakku untuk sholat berjamaah. Ketika mb Sari wudhu dan dia tidak membasuh telinga, aku pun protes dan menegur mba Sari. Aku bilang kalau wudhunya mba Sari gak sah, karena gak membasuh telinga. Mba Sari tertawa sambil bilang makanya rajin belajar ilmu agama biar tahu mana sunnah mana rukun.”
Aku tersenyum dan mengangguk mendengarkan ceritanya.
“Saat itu aku merasa, jangan jangan kalau aku tahu mana yang sunnah dan mana yang rukun, aku hanya akan memilih melakukan yang rukun saja dan melupakan yang sunnah. Jadi saat itu aku berpikir, dari pada aku akan menyepelekan yang sunnah lebih baik aku tidak perlu tahu mana yang sunnah mana yang rukun, jadi aku bisa tetap melaksanakan semuanya.”
Kesimpulan yang dia buat membuatku kembali tersenyum, aku merasa dia unik dan pikirannya meloncat-loncat sulit ditebak. Aku mulai tertarik dengannya.