Sari melihat Farah dan Gus Syauqi di dapur, segera Sari menghampiri mereka.
“Apa yang sedang kalian lakukan di sini?”
Farah menundukkan wajahnya, Gus Syauqi menoleh ke arah suara, di mana Sari sudah berdiri di belakangnya.
“Nyuwun sewu, Gus.” Gus Syauqi menggeser tubuhnya menjauhi pintu dapur.
“Farah, sini kamu!” Sari menjulurkan tangannya dan menggandeng Farah keluar dapur.
“Ngapunten Gus, Farah masih banyak pekerjaan, jadi dia harus segera kembali ke kamarnya,” kata Sari.
Gus Syauqi terlihat gugup dan mengangguk mempersilahkan mereka pergi.
Sesampainnya di kamar, Sari melepaskan tangan Farah. Tatapan mata Sari membuat Farah takut. Selain Abah dan Ummi, yang ditakuti Farah di sini adalah Sari karena dialah saudara yang betul-betul menyayanginya dan menjaganya setelah kematian bapak dan ibunya.
Sari menghela nafas kecewa, “Sudah berapa kali aku bilang, jangan dekat-dekat dengan Gus Syauqy lagi! Mba ragu kamu benar-benar sudah memutus hubunganmu dengannya atau belum.”
“Kami sudah tidak punya hubungan apapun mba,” kata Farah.
“Lha tadi apa namanya? Malah kalian tambah berani berkomunikasi di ndalem. Kalau Gus Syauqi, aku tidak khawatir, tidak akan ada yang berani menghukum dia. Tapi kamu? Siapa yang akan membelamu kalau kalian kepergok ngobrol di ndalem? Pasti kamu yang disalahkan dan dibilang menggoda Gus Syauqi,” kata Sari dengan nada agak tinggi.
Pagi seperti ini memang di kamar tidak ada siapapun, banyak yang berangkat sekolah dan sebagian mba ndalem ada yang belanja ke pasar, ada juga yang sibuk mencuci pakaian mereka. Biasanya memang Farah sendiri di kamar menyelesaikan pekerjaannya atau membaca buku sampai menjelang dzuhur. Apalagi sekarang hari senin, semua yang di rumah dan di pondok puasa sunnah, jadi jam segini belum ada yang masak di dapur. Sedangkan Ummi tidak akan keluar dari kamarnya sebelum adzan dzuhur berkumandang, beliau selalu melanggengkan membaca al-Quran.
“Aku sudah menghindarinya mba, dia yang menghentikanku dan mengajakku bicara.”
“Di ruang tengah ada abah, kamu tidak lihat?”
“Aku tahu mba, tapi dia yang menghalangiku keluar dari dapur. Ah sudahlah, terserah mba!”
Sari merasa bingung dengan sikap adik sepupuhnya ini. Sari mengingat kembali di mana hanya Sari yang mengetahui hubungan antara Farah dan Gusnya.
***
Beberapa tahun lalu sebelum Farah masuk pesantren, Gus Syauqi mendekati Sari yang sedang menyapu di dalam rumah.
“Mba Sari…. rumahnya mba desa Wonokerto ya,” kata Gus Syauqi saat itu.
“Iya Gus,”
“Aku punya teman, dia butuh catatan ini, dan aku harus mengantarnya ke sana.”
“Biar kulo antar Gus, namanya siapa dan alamat temannya di mana?”
“Dia sepupuhnya mba Sari koq, namanya Farah.”
Sari terkejut, dia berpikir dari mana Gusnya mengenal Farah, tapi tidak berani menanyakannya.
“Baik Gus, saya akan mengantarkannya.”
“Tidak mba, aku mau ikut.”
“Hah!!”
“Boleh kan mba? Aku naik sepeda, mba Sari juga naik sepeda, bukannya tidak begitu jauh dari sini?” Sari mengangguk ragu, dia masih bingung dengan apa yang dikatakan Gusnya, lebih bingung lagi kalau Gusnya mengenal adik sepupuhnya.
Sesampai di depan rumah Farah saat itu terdengar pertengakaran. Sari merasa malu dan Gus Syauqi merasa heran dan penasaran.
“Kenapa aku tidak bisa lanjut SMA bu? Mas Reyhan bisa sekolah SMA, tapi aku gak boleh?”
Terdengar suara Farah merengek. Rumah Farah yang tidak terlalu besar membuat suara mereka terdengar jelas dari teras rumah.
“Ibu tidak punya uang nduk, sekolah SMA tidak ada yang gratis, walaupun kamu selalu peringkat satu tetap saja itu tidak cukup, semua butuh uang. Nduk, bapak butuh banyak uang untuk terapi stroke nya, kamu tahu sendiri dua tahun ini ibu banting tulang, beberapa bulan terakhir kamu juga sering ibu minta untuk puasa senin kamis, karena buat beli beras saja sekarang berat bagi ibu. Semua yang bapak dan ibu miliki sudah habis nduk. Mas Reyhan memang bisa masuk SMA, tapi itu sebelum bapak sakit. Sekarang ibu juga tidak bisa membayar SPP mas Reyhan, beruntung mas mu dapat bantuan dari sekolah karena prestasinya, jadi mas mu masih bisa sekolah. Setidaknya karena mas mu laki-laki jadi dia harus selesai minimal SMA, kamu perempuan nduk, tidak harus sekolah tinggi-tinggi.”
“Tapi bu, Farah ingin jadi dokter, dan itu hanya bisa diraih kalau Farah sekolah. Kelak kalau Farah jadi dokter, bapak tidak perlu berobat ke mana-mana, biar Farah yang mengobati bapak.”
“Nduk, mimpimu terlalu tinggi, mana mungkin ibu menyekolahkanmu sampai perguruan tinggi. Saat ini pilihan terbaik adalah kamu segera menikah. Selesai lulus SMP kamu akan dijodohkan dengan anak temannya bapakmu. Dia sudah banyak membantu kita dan saatnya kita membalas kebaikan mereka.”
Suara ibunya Farah membuat Gus Syauqi terkejut. Sari yang semakin tidak enak segera meminta Gusnya untuk kembali ke pesantren.
“Ehm… Gus, biar catatannya saya bawa saja, nanti saya kasihkan ke Farah. Sebaiknya kita pulang, sepertinya mereka sedang berdiskusi masalah pribadi.”
“Tidak mba, saya tunggu saja, kalau sudah mereda, kita ketuk pintunya.”
“Ngapunten Gus, itu tidak sopan, kita tidak bisa menguping di sini, bagaimanapun suara mereka terdengar jelas di sini.”
“Aku ingin tetap di sini!”
Sikap Gus Syauqi membuat Sari serba bingung.