Gus Syauqi masih memandang pesawat kertas buatan Farah, dia tersenyum membayangkan tingkah Farah beberapa hari yang lalu. Hatinya mulai penasaran dengan apa lagi yang akan dilakukan Farah. Setiap hari dia melakukan hal yang tak pernah terlintas dalam benaknya.
Setelah hari itu, tiap pagi dan sore Farah selalu menunggu di bawah pohon mangga, dia menunggu burung yang sudah berjanji akan kembali menemuinya. Begitupun dengan Gus Syauqi, setiap duduk di dekat jendela dia mencari-cari apakah burung tersebut sudah mendatangi sarang yang dibuat Farah.
“Kenapa aku harus percaya sama Farah, dia lucu, gak mungkin burung yang lepas bisa kembali. Apalagi bukan burung yang terlatih, pasti sudah bebas terbang,” gumam Gus Syauqi.
Pagi itu Farah berputar-putar di sekitar pohon mangga, Gus Syauqi melihatnya dari jendela kamarnya dan menunggu apa yang akan dilakukan Farah. Hampir lima belas menit Farah masih belum beranjak dari tempat itu. Akhirnya Gus Syauqi menulis surat dan seperti yang dilakukan Farah, Gus Syauqi pun membuat kertasnya menjadi pesawat dan melemparnya ke bawah.
Farah yang melihat ada pesawat kertas jatuh dari atas langsung mendongakkan kepalanya. Farah melihat Gus Syauqi sedang di dekat jendela kamarnya. Gus Syauqi memberi isyarat Farah untuk membuka surat yang dibuatnya.
Farah pun mengambil dan membacanya.
“Sudahlah, tidak usah menunggu sesuatu yang sudah pergi. Mana ada burung yang sudah dilepas akan kembali.”
Farah merasa jengkel dengan surat yang dikirim gusnya, dia kembali mendongakkan kepalanya. Farah melempar ekspresi wajah yang sangat aneh bagi Gus Syauqi. Ekspresinya semacam marah, kesal atau sedih. Farah pun berlalu pergi.
Gus Syauqi masih bingung berusaha mencerna ekspresi Farah, “Kenapa wajahnya jadi seperti itu, dasar!” katanya.
Farah berjalan menuju kamar dengan perasaan kesal. Dia kesal sudah beberapa hari ini, sarang burung yang dibuatnya belum ada penghuninya. Dia juga kesal Gus Syauqi tidak percaya dengan keyakinannya bahwa burung itu akan menepati janji yang dibuatnya.
“Sebel, sebel, sebeeeeeeel…”
Icha yang sedang membaca Al-Quran pun berhenti karena ocehan Farah.
“Kenapa kamu? Burungnya belum kembali ya? bhahahahaha…. lagian kamu aneh, mana ada burung yang sudah dilepas bisa kembali lagi. Kecuali burung itu sudah terlatih,” kata Icha.
“Semua gak ada yang percaya denganku. Padahal aku tulus melepaskan burung itu, niatku juga baik, aku kasihan kalau lihat burung dikurung seperti itu, dia tidak bisa bebas merasakan kehidupannya. Ya Allah……, Njenengan kenapa tidak juga segera mengirim burung itu kembali.”
“Lho kamu malah nyalahin Allah. Sudahlah Farah sebaiknya kamu fokus ngaji, belajar, bentar lagi sekolah masuk.”
“Aku tidak menyalahkan Allah, mbak. Aku yakin gusti Allah akan memerintahkan burung itu untuk menepati janjinya.” Icha geleng-geleng kepala.
“Aku jadi ingat, Ramadhan tahun lalu abah ngaji kitab, di sana ada kisah burung pipit yang diselamatkan Sayyidina Umar.” Farah mendekati Icha, “Trus, trus mba, di kitab itu ceritanya kayak gimana?” tanya Farah.
“Kalau gak salah inget, burung yang diselamatkan Sayyidina Umar membalas kebaikannya dan menyelamatkan Sayyidina Umar ketika menghadapi pertanyaan di alam kubur.”
“Oh iya mb? Waah ada kisah sekeren itu? Berarti kalau Sayyidina Umar saja diselamatkan burung dari malaikat munkar nakir, pasti aku juga diselamatkan dari kemarahan ummi, hehehe..” kata Farah sambil memikirkan rencana untuk membalas surat Gus Syauqi yang tidak percaya padanya.
“Yo bedo to Fa…. kamu kok nyama-nyamain sama sayyidina Umar,” kata Icha. Farah tidak begitu mendengarkan perkataannya.
“Awas aja gus, kamu akan menyesal gak percaya sama aku,” kata Farah sambil mengepalkan telapak tangan kanannya dan memukulkan pada telapak tangan kirinya. Dia merasa punya senjata untuk dikirim ke gusnya.
Farah menggulung lengan bajunya dan kembali melanjutkan pekerjaannya melipat dan menyetrika pakaian keluarga kiainya.
Semua pakaian sudah tersusun rapi di keranjang baju. Farah mengambil kertas dan menuliskan surat balasan untuk gusnya. Lalu dia menyelipkannya di saku baju gusnya.
“Lihat aja nanti, gus.”
Farah berjalan menuju ndalem, ketika menuju ruang tamu Farah melihat Gus Syauqi sedang mengaji dengan abahnya. Dia pun berjalan menggunakan lutut menuju kursi besar untuk menaruh keranjang pakaian. Setelah keranjang dia taruh, dengan berani matanya menatap cukup lama gusnya yang sedang membaca kitab tafsir di depan abahnya.
Pertama Farah mengenalnya bukan sebagai putra kiai, kemudian Gus Syauqi menyelamatkan dirinya dari rencana pernikahan yang tidak dia inginkan, Gus Syauqi pula yang memberi kesempatan untuknya bisa mengenyam pendidikan di pesanren ini. Farah memandangi gusnya yang khusyu’ mengaji dengan abah. Farah tersenyum membenarkan kata-kata Icha dan Ulun kalau gusnya itu ganteng dan pinter.
“Mba.. mba…” Farah terkejut suara Ummi memanggilnya.
“Dalem Ummi,”