Farah menghentikan sepedanya dan menyandarkannya pada pohon kersem. Tempat inilah awal dari pertemuannya dengan Gus Syauqi. Pohon ini pula yang menjadi saksi bisu tumbuhnya perasaan cinta di antara mereka. Farah membuka tasnya dan mengeluarkan surat-surat dari gusnya. Ia memandanginya dan pikirannya meloncat ke mana-mana. Mengandai-andai hal yang sudah terjadi.
Andai sepedanya saat itu tidak rusak, andai dia tak jatuh ke selokan sawah, andai saat itu tidak ada Gus Syauqi yang menolongnya, andai dia tak mengajaknya berkenalan, andai, andai dan andai yang lainnya sangat mengganggu pikiran Farah.
Farah mengingat kejadian beberapa hari lalu, ketika dirinya dipanggil ummi. Batapa berat perasaannya saat itu.
“Farah, ummi tidak tahu apa yang terjadi antara kamu dan putra ummi, Syauqi.” Farah tertunduk diam. Keceriaannya yang selalu menghiasi wajahnya tiba-tiba sirna.
“Ummi juga tidak mau tahu ada hubungan apa kamu dan Syauqi. Tapi kamu perlu tahu, putra-putra ummi kelak akan melanjutkan perjuangan abahnya. Ummi akan memberikan yang terbaik buat mereka. Jadi ummi harap kamu mengerti apa maksud perkataan ummi,” kata ummi.
Farah masih tertunduk dia tidak berani mengatakan apapun.
“Kamu mengerti nduk?” tanya ummi dengan suara lembut dan tidak berniat menyakiti hati Farah.
Akhir-akhir ini ummi memang sering mendengar para santri bergosip tentang putranya dan Farah yang memiliki hubungan. Simpang siur kabar, ada yang bilang Farah suka merayu gusnya, ada juga yang bilang Gus Syauqi tidak pandai mencintai perempuan, lantaran yang dicintainya adalah sosok Farah. Santri ndalem yang dengan segala kekurangannya. Bahkan kelebihannya dalam ilmu pengetahuan alam dan kecakapnnya dalam merawat tanaman dan ternak-ternak abah tidak menjadi nilai lebih baginya, dibandingkan dengan sosok putra kiainya itu. Puluhan piagam kemenangannya yang diraih melalui lomba atau olympiade hanya menjadi tumpukan kertas yang tak berarti lebih baginya.
Harapannya untuk melanjutkan kuliah setelah kelulusan sekolah juga tidak bisa diraihnya. Sebenarnya banyak informasi beasiswa bagi pelajar yang memiliki kemampuan seperti dia, namun ketika dirinya sedang fokus mendaftar, kabar tentang ibunya sungguh mengejutkan. Ibunya mengalami kecelakaan tepat keesokan harinya peringatan seratus hari kepergian bapaknya. Farah pun merawat ibunya dengan segala perasaan sedih yang ia rasakan. Hanya seminggu setelah itu ibunya pun pergi meninggalkannya selamanya.
“Farah….” Panggil Ummi.
Farah mengangguk dan mengatakan iya dengan suara sangat pelan. Ummi melihat raut wajah Farah yang menyimpan kesedihan.
“Kamu kenapa?” tanya ummi.
“Ngapunten ummi, Farah teringat bapak dan ibu Farah.” Ummi mengangguk memahami perasaan Farah, karena kepergiatan kedua orang tuanya dalam waktu yang berdekatan. Namun, ummi tidak memahami perasaan Farah yang lain, dia akan kembali kehilangan orang yang dicintai dan mencintainya. Ia harus rela untuk menghapus segala perasaannya.
***
Kembali Farah memandangi surat-surat yang ditulis gusnya, dia buka satu persatu. Surat ketika Gus Syauqi memberi semangat Farah saat pertama kali mengikuti lomba. Surat ketika Farah pertama kali tampil bersama grup hadrah pondok putri, suaranya yang indah membuat banyak orang terperangah. Namun sayang, Farah tidak bersedia lagi menjadi vocalis, karena waktu latihan mengganggu kegiatannya di ndalem juga mengganggu belajarnya. Surat saat mereka memperdebatkan tentang agama dan kemanusiaan, memperdebatkan ilmu pengetahuan dengan ketuhanan, juga memperdebatkan cinta dan kerinduan. Kemudian ada pula surat yang berisi puisi untuk menghibur hati Farah saat kepergian ibunya.
Tangan Farah terhenti pada satu surat. Kertas putih dengan lipatan yang masih rapi itu dibukanya dan dibaca kembali kata demi kata.
“Sekian lama aku enggan menyadari perasaan ini, atau sepertinya aku terlalu ragu untuk mengakuinya. Aku bahagia saat melihatmu bahagia, aku khawatir saat melihatmu ketakutan, aku merasakan kesedihan yang dalam saat melihatmu menangis. Entah ada apa denganku, aku merasa cinta ini benar-benar tumbuh dalam diriku. Farah, aku mencintaimu.”
Farah meneteskan air matanya, mengenang saat pertama kali dia membaca surat itu. Dia sungguh merasa bahagia, karena ia pun memiliki perasaan cinta yang sama. Farah mulai mencintai gusnya, sejak ia merasa hanya gusnya yang memahami apa yang dilakukannya, apa yang diinginkannya. Ia merasa hanya gusnya yang percaya kalau dirinya mampu melakukan sesuatu, mampu menjadi seseorang yang berguna. Hanya gusnya yang melihatnya bukan sekedar ‘mbak ndalem’ tapi Farah bagi Gus Syauqi adalah santri yang cerdas, polos, jujur, penuh semangat belajar, yang ceria, yang menyimpan banyak cita dan hatinya pun penuh cinta. Sama sekali gusnya tidak menganggap Farah santri aneh.
Farah menarik nafas dalam dan melepasnya dengan berat. Ia mengambil korek api yang diambilnya dari dapur. Dia berusaha menyalakan api dan membakar surat-surat tersebut. Sepertinya angin menolak apa yang akan dilakukannya, angin selalu berhembus kencang ketika api menyala dan seketika padam. Kembali Farah menyalakannya dan kembali angin memadamkan apinya.