Bab 2: Luka yang Masih Terbuka
Hujan akhirnya mereda saat Nayla dan Revan mencapai sebuah persimpangan. Air menggenang di beberapa sudut jalan, memantulkan cahaya lampu kota yang baru mulai menyala. Angin malam masih berhembus dingin, membuat Nayla merapatkan jaketnya.
Di bawah payung yang masih Revan pegang, mereka berhenti. Kedua mata mereka bertemu sesaat, seakan ada sesuatu yang ingin dikatakan tetapi tertahan di bibir masing-masing.
"Sepertinya kamu aman sampai sini," kata Revan dengan senyum tipis.
Nayla hanya mengangguk. Ia tidak tahu harus berkata apa. Perasaannya campur aduk-terkejut dengan betapa mudahnya ia merasa nyaman di dekat pria asing ini, tetapi di saat yang sama, rasa bersalah menghantamnya. Bagaimana mungkin ia bisa merasa sedikit lebih baik, bahkan hanya sesaat, padahal luka itu belum sembuh?
"Terima kasih," akhirnya ia berkata, meski suaranya terdengar lebih lirih dari yang ia maksudkan.
Revan mengangguk. "Sama-sama, Nayla."
Ia menyebut namanya dengan begitu mudah, seakan mereka sudah lama mengenal. Nayla merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya, sesuatu yang tidak ingin ia akui.
Revan menyerahkan payungnya. "Bawa saja. Aku nggak terlalu butuh."
Nayla terkejut. "Tapi-"
"Anggap saja ini sebagai alasan supaya kita bisa bertemu lagi. Aku bakal ambil nanti."
Revan tersenyum, lalu berbalik, berjalan menjauh di bawah langit yang masih kelabu. Nayla tetap berdiri di sana, memperhatikan sosoknya yang semakin lama semakin jauh.
Bagaimana bisa seseorang yang baru ia temui membuat hatinya bergetar seperti ini?
---