Alya duduk di depan cermin tua di kamarnya. Pantulan dirinya terlihat berbeda dari lima tahun lalu. Wajahnya lebih dewasa, sorot matanya lebih tajam, tetapi ada sesuatu yang tetap sama bayang-bayang masa lalu yang masih melekat kuat.
Ia menghela napas panjang dan mengusap wajahnya. Malam ini, pikirannya begitu berisik. Kepulangannya ke kampung halaman bukan hanya tentang bertemu keluarga, tetapi juga menghadapi apa yang dulu ia tinggalkan.
Ketukan pelan di pintu membuatnya tersadar.
"Alya, sudah tidur?" suara ibunya terdengar lembut.
"Belum, Bu. Masuk saja."
Pintu terbuka perlahan, dan ibunya melangkah masuk dengan raut wajah yang penuh keraguan. Ia membawa segelas susu hangat dan meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur Alya.
"Kamu baik-baik saja?" tanya ibunya sambil duduk di pinggir tempat tidur.
Alya mengangguk pelan. "Aku baik, Bu. Hanya... masih merasa aneh bisa kembali ke sini setelah sekian lama."
Ibunya tersenyum tipis. "Kami juga merasa seperti itu. Lima tahun bukan waktu yang singkat."
Alya menatap ibunya dalam. "Bu, aku ingin tahu satu hal..."
Ibunya menunggu dengan sabar.
"Lima tahun lalu, saat kalian menyuruhku pergi... apakah Ayah benar-benar setakut itu pada ancaman ayah Raka?"
Ibunya menundukkan kepala, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Ayahmu tidak takut, Alya. Dia hanya tahu batasannya. Kami ini bukan siapa-siapa, sementara ayah Raka punya kekuasaan di desa ini. Dia bisa saja membuat hidup kita sengsara."
Alya menggigit bibirnya. "Apa dia mengancam sesuatu yang lebih dari sekadar hidup kita?"