Pagi itu, udara di desa masih terasa sejuk, embun masih menggantung di ujung dedaunan, dan aroma tanah yang lembap menyelusup ke dalam rumah-rumah kayu yang berjajar rapi. Alya duduk di teras rumah, memandangi jalanan tanah yang membentang di depan rumah orang tuanya. Sudah lama ia tidak merasakan ketenangan seperti ini, tapi di balik semua itu, ada kegelisahan yang terus menghantuinya.
Percakapan dengan ayah dan ibunya semalam masih terus terngiang di benaknya. Ancaman ayah Raka bukan sesuatu yang bisa dianggap enteng. Ia tahu betul bagaimana pria itu memegang kendali atas desa ini. Namun, kali ini ia tidak ingin lari lagi.
"Alya, mau ke pasar?" suara ibunya membuyarkan lamunannya.
Alya menoleh dan tersenyum kecil. "Boleh, Bu. Aku juga ingin melihat-lihat keadaan desa lagi."
Ibunya menyerahkan tas belanja kain kepadanya. "Belikan sayur dan beberapa bumbu dapur, ya. Ibu mau menyiapkan sarapan dulu."
Alya mengangguk dan segera melangkah keluar rumah.
---
Jalanan desa masih seperti yang ia ingat. Deretan rumah-rumah kayu dengan halaman luas, sawah yang terbentang hijau di kejauhan, dan beberapa warga yang berjalan kaki sambil membawa barang dagangan. Beberapa orang melirik ke arahnya, beberapa menyapa dengan ramah, tetapi ada juga yang berbisik-bisik begitu melihatnya lewat.
"Dia Alya, kan? Yang dulu pergi tiba-tiba..."
"Ya, katanya ke kota. Kok sekarang balik lagi?"
Alya mengabaikan bisikan itu. Ia sudah menduga akan mendapat reaksi seperti ini. Desa ini kecil, kabar menyebar dengan cepat.
Ketika ia tiba di pasar, suasana ramai sudah menyambutnya. Pedagang menjajakan dagangan mereka dengan suara lantang, aroma rempah dan sayuran bercampur dengan wangi gorengan yang dijual di sudut pasar.