Berawal dengan sebuah alunan qasidah arab yang diiringi dengan tiupan seruling hingga terdengar begitu merdunya. Tak lupa pula dilengkapi dengan dendangan gendang, serta tabuhan marawis yang begitu meriah. Sehingga para santri pun menyorakinya dengan kata-kata arab “Thoyyib dan Aywah” Sambil menepukkan kedua tangan mereka. Itu adalah sebuah tarian khas budaya Timur Tengah tepatnya dari Yaman. Iya, tarian tersebut memiliki nama “Hajir Marawis” yang tarian tersebut mempersembahkan gerakan yang bermaju mundur, bergerak ke kiri dan ke kanan, berputar-putar, berloncat-loncat, dengan berlika-liku kaki yang telah terlatih.
Tarian ini memang jarang kita temui. Hanya saja tarian ini hadir dalam sebuah Majelis Ta’lim/Pondok Pesantren yang berbasis Arab atau bisa disebut juga Pondok Habib. Habib adalah seorang berdzuriyyah nabi Muhammad SAW atau bisa disebut juga berketurunan nabi Muhammad SAW.
Di tengah-tengah kerumunan santri, ada salah satu anak yang sedang merenung pilu seperti di tindas oleh ribuan masalah. Dialah Salman Alfarisi. Yah… panggil saja Salman. Salman adalah seorang santri yang pendiam dan penurut. Dia sendiri juga tidak banyak memiliki kawan. Apalagi, dia sering sekali dibully, dihina oleh kawan-kawannya. Karena dirinya yang pendiam dan kurang asyik untuk bergaul sehingga kawan-kawannya terlalu jengkel dengannya.
“Salman, ente kenapa?” Tanya seorang sahabatnya dengan raut muka yang mulai kebingungan.
“Ma fii Sye’ …, Mad”
“Lah terus kenapa ente bengong kayak gitu? Lihat Shohib-shohib ente... senang riang melihat hajir marawis, Lah…ente malah sequt .” Gumam seorang sahabatnya.
Tak lama kemudian Salman pun terdiam sejenak. Dia mulai terisak-isak membendung air matanya. Salman tak kuat menahan air matanya yang akan mengalir deras. Lantas Salman mengajak Ahmad, sahabat karibnya berlari menuju ke lantai tiga. Itulah tempat jemuran para santri.
“Ana gak kuat disini , Mad. Ana pingin waqof .”
Salman yang mulai mengungkapkan seluruh isi hatinya itu, tak lama kemudian air matanya mulai merabas,
“Kenapa ente Man? Apa ada masalah? Kenapa.? Bicara aja sama ana. Ana kan sahabat ente, Man”
Dengan dadanya yang masih menahan isak tangisnya, Salman pun mulai bercerita,
“Ana udah gak kuat disini, Mad. Ana sering dibully shohib-shohib. Ana juga sering dihina, diejek, dan lain-lain. Padahal salah ana apa coba? Ana aja gak pernah mengganggu mereka. Tapi mereka malah suka sekali ngebully ana”
“Tenang, Man. Ente harus sabar. Namanya juga mondok. Kan orang mondok mestinya juga banyak cobaannya. Kalau nggak ada cobaanya yah bukan mondok, Man”
Salman mulai berhenti mengalirkan air matanya. Dia usapkan kedua buah matanya dan menenangkan isak tangisnya. Lantas dia pun menjawab walaupun air matanya masih saja mengalir deras.
“Ana sudah tahu Mad, kalau orang mondok itu yah harus sabar melewati duri-duri tajam seperti mendapatkan cobaan dan musibah dari Allah. Tapi bagaimana lagi, nafsu jahat mengajak diriku untuk waqof dari pesantren ini”
“Istighfar ente Man… ente sudah kelas berapa? Diniyyah aja udah kelas Tsani Ibtida’. Sedangkan formal ente kelas dua Aliyyah. Sadarlah Man, ente udah besar sekarang. Sebenarnya ente sudah bisa berpikir jernih dan tidak berpikir kekanak-kanakan seperti ini…!” Sahut Ahmad walaupun di hatinya masih ada sedikit gejolak kemarahan.
Kini Salman mulai berpikir dewasa. Walaupun dia dikenal labil dengan sifatnya yang masih kekanak-kanakan. Karena Salman yang lebih condong memilih bergaul dan berkumpul dengan kawannya yang masih kecil. Dia berpikir bahwa dirinya lebih asyik bergaul dan berkumpul dengan anak-anak kecil. Meskipun seperti itu, Salman memiliki bakat yang luar biasa. Mulai dari menulis kaligrafi arab, vokal al-banjari, menulis puisi, novel, cerpen. Dan masih banyak lagi bakat-bakat Salman yang masih terpendam.
Percakapan bahasa arabnya wuihhh… jangan dikira. Dia paling suka sekali ngobrol dengan orang-orang Arab Saudi, Yaman, Oman, Mesir, yang mana mereka berkesempatan untuk datang dan mampir ke Pondok Pesantren tercintanya itu. Ahmad pun bergumam di dalam hatinya sembari berkata,
“Yah begitulah watak sahabatku. Kadang dia selalu minta waqof…waqof…dan waqof. Tapi nanti kalau filling nya udah enakan yah lupa dah dengan kata-kata waqof itu. Salman…Salman… pingin ketawa tapi takut dosa. Enggak ketawa yah kurang lega. Ealah… anak kok bikin greget aja. Wkwkwk….”
* * * * * * *
Qum… Qum… Bangun... Bangun…, Sambil terdengar suara pukulan rotan yang menggedor puluhan lemari. Terdengar keras, sehingga para santri terbangun dari tidur nyenyaknya. Mereka bersegera mengambil air wudhu’. Adapula yang masih mendepis lemas di tepi dinding kamar. Dan ada juga yang tidur di bawah ranjang, di dalam kamar mandi. Dan masih banyak lagi tempat-tempat persembunyian untuk bahan tidur para santri. Sesaat mereka terciduk oleh pengurus. Sambil membawa semprotan burung, akhirnya pengurus tersebut pun mulai menyemprotkan sesemprot air yang membasahi wajah mereka. Sangking terkejutnya, mereka pun segera berlari tebirit-birit menjauhi pengurus itu. Ada juga yang terkena pukulan rotan sampai menjalar merah di tubuhnya, karena sulit untuk dibangunkan.
Setiap harinya para santri dibangunkan sebelum fajar terbit, atau bisa dibilang jam tiga pagi. Mereka dianjurkan bahkan diwajibkan untuk menunaikan shalat tahajjud, membaca Al Quran serta membaca wirid-wirid dan dzikir-dzikir yang telah ditentukan oleh pihak pondok. Tapi lucunya ada juga yang menunaikan shalat dua rakaat dengan khusyu’ nya tanpa wudhu, lama sekali sujudnya. Ternyata tak diduga bahwa santri tersebut tertidur dengan posisi sujud. Ada juga setelah menunaikan shalat dua rakaat langsung duduk bersila meletakkan kepalanya di atas paha kirinya. Begitu pulasnya santri tersebut sehingga sulit sekali untuk dibangunkan. Kecuali pengurus tersebut membawa sebuah botol semprotan burung yang berisi air penuh. Beliau langsung menyiramkan air tersebut di atas kepala santri tersebut. Seketika itu teman-temannya serentak berteriak,
“Ajiiib…. dapet siraman rohani ente dari pengurus. Mampus ente, wkwkwkwk…”
Akan tetapi di tengah-tengah keadaan yang agak ramai karena kelucuan perilaku yang telah dilakukan oleh salah satu santri disana, ternyata ketika itu Salman tidak ada di dalam Mushalla. Iya, dia sedang menyaksikan keindahan alam di lantai empat, lantai paling atas. Itu adalah tempat jemuran dan tempat cangkrukan para santri. Dengan kedua matanya yang masih memandang gelapnya langit, tiba-tiba kedua buah matanya mulai menggelinangkan gelinang air linang yang melecap baju takwa putihnya. Ternyata dia mulai menangis. Mungkin dia teringat akan seorang kekasihnya yang tak kunjung datang untuk menghampirimya. Walaupun dulu dia pernah bertemu bertatapan wajah langsung, akan tetapi dengan pertemuannya sekali itu tidak dapat mengobati rasa sakitnya yang menggerogoti kerinduan hatinya itu. Karena di hatinya tertancap ukiran nama Maimunah Al Karimah, kekasih pujangganya. Duniannya dipenuhi dengan nama Maimunah yang dapat menyinari kegelapan malam dalam mimpi-mimpi indahnya, tatkala dirinya benar-benar rindu dengannya.
Tak lama kemudian, dari belakang Ahmad mulai memukul punggung Salman. Dia bertanya,
“Wahai sahabatku, mengapa engkau berdiri mematung sendirian disini?”
“Nggak kok, ana cuma memikirkan sesuatu. Ada seseorang yang sedang ana rindukan”
“Siapa itu, Man? Katakan…!”
Salman tersenyum sendiri. Seakan-akan dirinya terbang di atas langit. Dengan suka cita Salman pun menjawab,
“Maimunah, anak harem bk”
“Ceritakan…! Mengapa engkau mencintai Maimunah? Dan siapakah Maimunah itu?” Tanya sahabat karibnya yang benar-benar ingin mengetahui hal tersebut.
“Maimunah adalah seorang putri kyai. Jadi ceritanya, dulu abi dan umi itu ngaji di Pondoknya Kyai Bachtiar, ayahnya Maimunah. Sangking dekatnya abi dan umi Salman dengan Kyai Bachtiar, akhirnya sang Kyai punnmenganggap kami seperti keluarga sendiri. Nah disitulah kisah ana dan Maimunah dimulai”
Salman pun melanjutkan,
“Ketika itu Salman diajak abi dan umi ke rumah Abah Bachtiar. Abi dan umi sering sowan kesana. Dan ketika ana ikut kesana, sekilas ane lihat ada harem lewat di depan ana. Ana pun bingung penuh pertanyaan. Siapa itu yah? Ana jadi keppo pingin tahu siapa harem itu. Singkat cerita, beberapa tahun kemudian Abah Bachtiar memberikan saran ke abi untuk memondokkan ana ke Babul Khairat. Karena putrinya Kyai Bachtiar juga mondok disana. Ana pun menyetujuinya. Ana kira bisa ketemuan sama Maimunah dengan mudahnya. Eh… Ternyata nggak seperti apa yang ana kira. Tapi ana selalu ingin tahu gimana sih Maimunah itu? Ana cuma berharap suatu ketika nanti semoga Allah Swt mempertemukan ana dan Maimunah, amiin…”
Ahmad sedikit terheran dengan cerita yang di ungkapkan Salman tadi. Pertanyaan tersebut selalu berputar di benak pikiran Ahmad. Dengan rasa keppo dan ingin tahu, Ahmad pun bertanya,
“Apakah Maimunah juga cinta sama ente?”
“Ohhh iya, ketika ana udah dapat dua tahun di Babul Khairat, ana mulai penasaran dengan Maimunah. Ane pun mencoba untuk menititipkan salam kepada Maimunah lewat Mak Syiah. Di hari berikutnya Maimunah membalas dengan sekilas perkataan yang dititipkan lewat Mak Syiah. Mak Syiah pun bilang ke ana,
“Man, kata Maimunah salam balik. Sambil senyum-senyum gitu dianya. Oh iya ini, dia titip buah-buahan buat kamu.”