Gemercik suara air terdengar riuh menggoda indera pendengaran ibu Sari. Wanita paruh baya itu perlahan membuka kedua netranya.
"Apa sedang hujan malam ini? Tapi sepertinya itu suara air kran dari kamar mandi. Apa ini sudah pagi." Ia pun melihat ke arah jam dinding yang melekat di tembok kamarnya.
"Pukul tiga dini hari, siapa yang sedang menghidupkan air sekencang itu."
Tak berapa lama Dahayu keluar dari kamar mandi. Ia pun berpapasan dengan sang ibu yang hendak melihat siapakah seseorang yang sedang berada di kamar mandi.
"Dahayu, tumben sekali kamu sudah mandi?"
"Dahayu ingin belajar hidup sehat, bu. Bukankah mandi di jam tiga sampai jam empat pagi itu baik untuk kesehatan dan kecantikan."
"Oh iya, Dahayu. Tante Maya sudah memberi kamu kabar tentang perjodohan kamu dengan Naresh?"
"Sudah, Bu."
"Apa kamu mau menerima perjodohan itu?"
"Dahayu hanya mengikuti permintaan keluarga besar dari almarhum ayah saja, Bu. Kalau Dahayu menolak, rasanya tidak enak dan takut akan menimbulkan kerenggangan antara keluarga, Bu. Tapi Dahayu tidak yakin jika Naresh menerima perjodohan ini mengingat usia Ayu udah kepala tiga, biarkan dia yang menolak nantinya."
Naresh, sebuah nama yang begitu melekat di hati Dahayu. Nama yang sama yang pernah berkesan di hati gadis itu.
'Naresh... Aku jadi ingat Naresh teman saat masih kuliah dulu. Dia adalah pria pertama yang membuatku jatuh cinta. Tapi dia meninggalkan aku begitu saha,' batin Dahayu.
Percakapan serius berlanjut hingga pukul empat dini hari.
"Bu, sudah hampir pagi. Dahayu pergi ke kamar dulu, ya. Ayu harus mempersiapkan beberapa dokumen untuk kepentingan ke luar Negeri."
Sebenarnya Dahayu ingin sekali menanyakan tentang siapa sosok Naresh status pria itu, tapi dia tak cukup nyali untuk menanyakan hal itu. Dirinya hanya bisa bertanya dalam hati.
'Apa pria bernama itu Naresh belum pernah menikah? Atau jangan-jangan dia adalah duda? Rasanya hampir tidak mungkin di umur kami yang menginjak kepala tiga belum menikah. Tapi kenyataan nya aku pun belum berumah tangga. Kira-kira siapa sosok pria itu, aku harus mencaritahu lewat tante Maya.'
Dahayu terus terpaku dalam lamunannya, hingga beberapa saat kemudian ia menghubungi bibinya itu. Dari sinilah Dahayu tahu, siapa sosok yang akan dijodohkan dengannya.
Tak terasa sang surya mulai menghangatkan semesta, senyuman getir tampak di wajah Dahayu pagi itu. Ia terlihat menaikan sebelah pipi kirinya, sudut bibirnya terlihat miring tak sejajar saat sebuah pesan singkat mendarat di handphonenya.
Naresh : Riani, sebaiknya kamu minta keluarga kita untuk membatalkan perjodohan ini. Aku sama sekali tidak mengenalmu dan aku sudah mendengar semua tentangmu dari mamaku. Aku sama sekali tidak tertarik denganmu. Satu hal yang perlu kamu tahu, aku sudah memiliki seorang wanita yang akan aku jadikan calon istri.
Dahi gadis itu terlihat mengkerut, alis kiri serta pipi kirinya terlihat kembali naik ke atas seperti sebelumnya. Sebuah balasan pesan singkat pun ia kirim untuk seseorang itu. Dahayu : Kamu tenang saja, Nar. Aku cukup tahu diri. Aku akan membicarakan hal ini kepada orang tuamu saat mereka mengajakku makan malam sabtu depan. Aku pastikan perjodohan kita akan dibatalkan.
Tentu saja Dahayu sangat tahu diri dengan seseorang yang kini sedang ia hadapi.
Naresh Mahendra, pria yang lima belas tahun lalu sempat meluluh lantahkan hatinya. Kini wanita itu sudah dapat mengontrol hati serta perasaannya terhadap pria yang sempat mencuri hatinya dan kini akan dijodohkan dengannya.
"Naresh… Naresh. Mungkin dulu hatiku sempat hancur selama berminggu-minggu karena ulahmu. Kamu pergi sesuka hatimu dan bodohnya aku sempat terkecoh menjadi korban diantara wanita pilihanmu. Beruntung hal itu tidak berlangsung lama. Lukaku karena kamu, sudah terobati dengan hadirnya beberapa pria saat itu. Namun tak bisa aku pungkiri, rasaku masih sama seperti dulu. Hanya saja aku tidak mau terluka untuk kedua kalinya dengan pria yang sama. Maka dari itu, aku menutup rapat perasaanku ini."