Beberapa hari setelah pertemuan itu, Naresh mengunjungi kota tempat ia dan Dahayu menempuh pendidikan tinggi.
Mobil yang sedang ia lajukan terlihat menuju pada sebuah perumahan.
"Sepertinya ini rumah bibinya Dahayu. Aku masih ingat bentuk pagarnya." Ternyata orang yang selama ini ia cari adalah Dahayu. Wanita yang sudah ia minta untuk membatalkan perjodohan dengannya. Tanpa sengaja ia telah menyia-nyiakan kesempatan kedua yang diberikan oleh semesta kepadanya.
Mungkin kata pepatah itu benar, tidak kesempatan untuk kedua kalinya. Naresh tanpa sengaja menolak wanita yang ia nantikan kehadirannya selama ini, setelah ia meninggalkan Dahayu tanpa kabar belasan tahun lalu.
"Permisi," teriak Naresh beberapa kali.
Seorang wanita paruh baya membuka pintu rumah dan menghampiri Naresh.
"Cari siapa, ya?"
"Maaf, apa Dahayu masih tinggal disini?"
"Dahayu keponakan saya?"
"Iya, Bi."
"Dia sudah empat belas tahun lalu sudah tidak tinggal disini."
"Apa boleh saya minta alamat Dahayu, Bi? Atau mungkin nomor teleponnya?" pinta Naresh.
"Maaf, Nak. Saya tidak punya alamat beserta nomor telepon Dahayu. Anak saya yang menyimpan semuanya, kebetulan saat ini anak saya sedang ada tugas di luar kota. Mungkin kamu bisa datang lagi besok lusa. Saya sudah lama tidak pegang handphone, karena mata saya sudah tidak begitu jelas untuk melihat. Kalau boleh saya tahu anda siapa? Ada perlu apa mencari Dahayu?"
"Saya hanya ingin bertemu dengan Dahayu, Bi. Ada hal penting yang ingin saya tanyakan padanya," jawab Naresh tanpa ada keraguan.
"Oh begitu, ya. Bulan September nanti, tepatnya tanggal satu, Dahayu akan datang ke sini untuk menghadiri acara keluarga. Kamu bisa datang kemari dan bertemu dengannya. Atau jika kamu mau ketemu anak saya untuk meminta alamat dan nomornya kamu bisa datang kesini lusa."
"Mungkin hari Sabtu nanti saya akan kesini lagi, Bi. Baiklah kalau begitu saya mau pulang dulu."
"Iya, Nak. Hati-hati, ya."
Tak lupa Naresh mencium punggung tangan lawan bicaranya itu sebelum pergi. Sesaat setelah ia melajukan mobilnya, ia bergumam.
"Apakah harus sesusah ini untuk menghadirkan kamu lagi ke dalam hidupku, Yu? Andaikan saat itu aku tidak ceroboh, mungkin kamu tidak akan menghilang seperti ini." Hati Naresh seolah bergejolak ingin melawan kerasnya kenyataan.
Ketika Nares hampir tiba di rumah, dering handphone terdengar di telinga pria tampan itu.
"Hallo, Mah."
"Naresh! Maksud kamu apa? Sudah dua kali ini kamu meminta Nilam untuk datang menemui Dahayu."
Sang anak tak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh ibu kandungnya.
"Maksud Mama apa? Kapan Nares minta Nilam datang? Naresh belum meminta dia melakukan itu."
"Pertama, saat Dahayu makan malam bersama kami. Sekarang kamu minta dia menemui Dahayu dan bertemu empat mata di restoran Fd"
Nama yang tak asing itu membuat Naresh bertanya.
"Dahayu? Maksud Mama?" Perasaan Naresh tiba-tiba berkabu. Kesedihan seolah hadir dan membelenggu.
"Iya, Dahayu. Wanita yang akan dijodohkan denganmu."
Perdebatan terjadi melalui telepon seluler. "Mah. Aku tidak pernah menyuruh Nilam untuk datang ke acara makan malam kalian. Aku juga tidak pernah memintanya untuk datang menemui wanita yang Mama sebutkan namanya tadi."
"Lalu, dari mana bisa dalam tahu kami makan malam di restoran itu."
"Aku hanya menceritakannya kepada dia, jika kalian akan makan malam disana dan aku tidak pernah menyuruhnya datang kesana. Aku hanya memintanya untuk datang di acara pertemuan keluarga besar nanti, untuk menggantikanku supaya perjodohan aku dengan Riani dibatalkan."
"Riani? Maksud kamu Dahayu?"
"Entahlah, akupun tidak tahu siapa nama sebenarnya wanita itu."
"Kamu bisa memanggilnya Dahayu atau Riani, terserah kamu." Ibu Renita menutup teleponnya dengan perasaan kesal.