Tak banyak kata yang keluar dari mulut Naresh dan Dahayu kala itu. Keduanya terlihat masih memendam kata yang ingin mereka ungkapkan. Hanya saja waktu yang tak mendukung.
Satu hari sebelum keduanya bertemu, Dahayu mengirimkan sebuah pesan.
Dahayu : Apa kamu akan datang ke acara itu?
Naresh : Tentu saja. Aku akan datang.
Prasangka buruk kembali menaglun di benak Dahayu.
"Pasti dia datang dengan Nilam. Apa aku minta tolong tuan Jae Hyung untuk datang, ya? Supaya Nilam tidak memandang aku sebelah mata. Setidaknya dengan datangnya tuan Jae Hyung, membuatku tidak dipandang sebelah mata oleh Naresh dan Nilam. Bagaimanapun aku harus mengantisipasi luka dan menunjukkan kepada Nilam dan Naresh, kalau aku sudah ada pendamping. Dan aku tidak akan merebut Naresh dari Nilam."
Ketakutan Dahayu sepertinya tak berlebihan, mengingat sikap Nilam selama ini padanya.
Waktu bergulir, hari yang mungkin akan mengguncang Dahayu tiba. Malam ini, kedua belah pihak keluarga akan beradu muka.
Dahayu harus mengumpulkan keberanian untuk menghadapi semuanya.
"Aku harus bisa menghadapi semua ini. Sepertinya aku tidak harus melibatkan Tuan Jae Hyung. Biar saja apa kata Nilam nanti." Perempuan itu menguatkan diri.
Bak mendayung lara, lelah hati tampak jelas saat Dahayu berhadapan dengan pria yang akan di jodohkan dengannya.
"Aku harus terlihat kuat dan tegar menghadapi Naresh dan Nilam."
Tak lama setelah perempuan itu bergulat dengan batinnya. Suara ketukan pintu terdengar riuh menggema di telinga Dahayu.
Rupanya, jemari bu Sari lah yang menyentuh pintu kamar Dahayu dengan irama teratur.
"Hayu, ayo kita berangkat sekarang. Keluarga yang lain sudah menunggu."