Angin malam bersyair lembut, bersenandung dalam kesunyian petang. Awan hitam berarak teratur di luasnya Lazuardi yang tak terukur.
Terlihat, Dahayu dalam kebingungan yang membuncah. Alunan lamunan melingkupi perempuan yang kini sedang beradu dengan alam, di bawah pohon rindang yang tumbuh subur di belakang rumahnya. Ia duduk di atas ayunan rotan yang ukurannya cukup untuk menampung seluruh tubuh rampingnya.
"Apa maksud Naresh tadi? Aku harus mencari tahu maksud dan tujuannya."
Dahayu meraih ponsel yang ia letakan di sebelahnya.
Namun, belum sempat dirinya menghubungi calon suaminya itu, sebuah panggilan telepon mendarat di ponselnya.
"Astaga, ada apa Nilam telepon? Perasaan aku tiba-tiba tidak enak. Lebih baik aku biarkan saja. Feelingku yang dibahas tidak jauh dari Naresh."
Panggilan yang di abaikan Dahayu itu, mengalun cukup lama.
"Astaga, sudah lima kali dia mengulanginya. Aku angkat saja.”
Perempuan yang akrab disapa Hayi itu, berubah pikiran.
Sepatah kata, keluar dengan sendu dari bibir ranum Hayu.
"Hallo."
"Hallo, Dahayu. Apa kabar?"
"Baik."
"Aku dengar Naresh menerima perjodohan itu. Kamu tahu kan, kami saling mencintai? Itu tandanya Naresh dengan sangat terpaksa menyetujui perjodohan ini. Aku harap kamu jangan besar kepala."
"Maaf, Nilam. Sebelumnya, saya sudah membatalkan perjodohan itu sesuai dengan permintaan Naresh. Aku juga tidak tahu, kalau malam ini Naresh menyetujuinya. Itu semua di luar perjanjian kami. Lebih baik kamu nasehati calon suamimu itu, supaya dia kembali membatalkan perjodohan kami."