Dengan semangat aku susuri setiap lorong di sekolah. Hanya satu tujuanku, yaitu ke kelas Iqsal dan melabraknya. Sesampainya disana, ada Rian, Kean dan Ahan. Mereka adalah teman satu kelas Iqsal.
Orang yang aku cari ada di tengah-tengah mereka sedang membicarakan sesuatu. Aku masuk ke kelasnya dan menggebrak meja didepan Iqsal. Semuanya terkejut, termasuk aku sendiri. Ku tarik nafas dalam-dalam dan mulai beraksi.
"Kalau lo berani ngerjain gue lagi kayak kemarin, HIDUP LO GAk AKAN LAMA LAGI!" Teriakku sambil menunjuk wajahnya yang kebingungan. Tapi ekspresinya itu kembali santai, lalu berdiri dihadapanku.
"Eits! Sabar dong, kamu Salsha ya? Sini! Jangan galak-galak dong. Nanti cantiknya ilang lo" Ujar Ahan santai, sambil menarik bahuku mundur.
"Lepasin gue!" Nadaku sedikit turun sembari mengatur nafasku.
"Lepasin, Han" Ahan melepaskan tanganya dari bahuku sambil mengangkat kedua tangan. Lalu mengajak temannya yang lain agar keluar dari kelas. Akhirnya, hanya aku dan Iqsal didalam kelas.
Dia memajukan langkahnya hingga hanya berjarak beberapa centi di depan wajahku. Aku mendorongnya tapi dia berhasil menarikku dan memutar tubuhku hingga punggungku menghantam tembok. Dia mendekat lagi dan memiringkan wajahnya.
Aku berusaha mendorongnya tapi tangannya menggenggam tanganku sangat kencang.
"Lepasin!"
Semua kakak kelas memperhatikan kami dari kaca jendela. Tidak ada satupun yang masuk bahkan untuk memisahkan kami.
"Dengar gue baik-baik! Gue gak akan ngelakuin hal seperti kemarin kalau lo gak keras kepala. Gue udah datang ke rumah dengan itikad baik. Tapi apa? Lo milih kita kayak gini kan? Oke! Kita akan seperti ini terus sampai kapanpun. Gue gak akan berhenti gangguin lo dan lo jangan coba-coba menghentikan gue!" Dia bicara panjang lebar tapi aku lebih fokus pada bau rokok yang keluar dari mulutnya. Jelas sangat tercium, karena dia menahan tangannya berpegang pada tembok dibelakangku. Dan wajahnya sangat dekat dengan wajahku. Sehingga bau mulutnya juga sampai ke hidungku.
Setelah itu, dia melepaskan tanganku dan aku kabur. Bukan karena takut padanya atau karena bau rokok di mulutnya. Tapi karena aku malu karena telah menjadi pusat perhatian teman-teman sekelasnya , walau mereka hanya mengintip diluar.
Aku berjalan menyusuri lorong untuk masuk ke dalam kelasku. Sebisa mungkin mencoba bersikap biasa agar Zulfa dan Remi gak banyak tanya saat masuk ke kelas.
Saat jam istirahat, aku terbersit fikiran untuk membalas Iqsal dengan cara lain. Maka yang aku lakukan bukan ke kantin, tapi ke bengkel yang jaraknya beberapa meter dari sekolah. Aku beli Oli dan mulai melancarkan aksiku saat sudah sampai ke parkiran.
Ku lumuri Oli di jok motor Iqbsal hingga olinya tidak tersisa sama sekali. Setelah selesai, aku kembali ke kelas dan menunggu waktu pulang tiba. Setelah bel pulang berbunyi, dengan semangat aku ke parkiran dan mengambil motorku. Aku langsung jalan ke depan parkiran untuk menunggu Iqsal datang menuju motornya itu. Tak lama kemudian, yang di tunggu-tunggu datang. Iqsal sudah menaikki motornya dan jalan. Aku mengepalkan tangan dengan bangga rencanaku berhasil. Aku pulang dengan perasaan riang gembira. Membayangkan celana sekolahnya, berlumuran oli dibagian belakangnya.
Sesampainya di rumah, aku langsung makan dan tidur. Setelah beberapa jam tidur, aku di bangunkan oleh suara ketukan pintu kamarku.
"Sha! Ini ada temanmu" Ujar Mamah didepan pintu kamarku. Aku langsung beranjak dan membukanya. "Siapa Mah?"
"Kok kamu gak bilang sih tadi kamu pingsan di sekolah?" Mamah membelai pipi dan menyentuh keningku. Raut wajahnya terlihat sangat khawatir sementara aku bingung dengan apa yang di ucapkan Mamah.
"Pingsan?" Aku masih bertanya-tanya. Baru saja Mamah akan membuka mulutnya untuk berbicara, tiba-tiba datang cowok nyebelin di belakang Mamah yang membuat aku terkejut.
"Iya Tan, aku tadi di paksa Salsha supaya tidak menghubungi Tante. Tapi saat sampai di rumah, di fikir-fikir aku harus tetap kasih tahu Tante" Sela Iqsal penuh percaya diri, rencana apa lagi yang dia buat? Tega-teganya dia melibatkan ibuku.
"Lo...?" Aku maju satu langkah untuk memukul cowok gak beradab itu. Tapi disela lagi olehnya.
"Udah Sha, Ibu lo harus tahu. Lagian kan sekarang udah gak apa-apa. Nih obat dari UKS tadi kebawa. Gue lupa he he" Drama apa lagi yang dia buat? Wajahnya sok perhatian membuat aku muak dan ingin menenggelamkannya di samudera.
"Hah, nak Iqsal ini baik sekali. Ya udah, ni diminum dulu obatnya. Walau udah ngerasa enakan, tetep harus diminum. Mencegah biar gak kambuh lagi" Mamah masuk dengan nampan dan gelas diatasnya, disusul Iqsal yang tak tahu malu melewatiku masuk kedalam kamarku. Sementara aku hanya bisa bengong menyaksikan ini semua. "Ayo!" Ujar Mamah yang sudah membuka strip obat untuk ku minum.
"Tunggu Mah! Dia..."
"Aaaaaa...." Mamah langsung memasukkan obat kedalam mulutku. Dengan terpaksa aku meminumnya.
"Mah! Ini.."
"Minum!" potongnya lagi. Aku melihat ke arah Iqsal yang tersenyum puas. Entah obat apa yang dia berikan kepada Mamah.
"Ya udah Tan, aku permisi dulu ya. Cepet sembuh ya Sha.." sambil mendekat ke arahku. Aku masih terpaku bingung dengan keadaan ini."Gila-nya" Sambungnya membuat aku melotot. Tapi dia menghentikan emosiku dengan menaruh tangannya di atas kepalaku dan mengacak rambutku.
"Terimakasih ya Sal" Ujar Mamah saat Iqsal mencium tangannya.
"Iya Tan, mari!" Dia menoleh lagi ke arahku dengan senyum sinisnya. Aku benar-benar gatal tangan ingin segera mendaratkan pukulan diwajahnya. Tapi apa daya, dia sudah keluar dan pergi.
"Heh! Pacar kamu ya?" Tanya Mamah tiba-tiba membuyarkan konsentrasiku yang sedang marah.
"Bu...bukan!"
"Oh, masa sih? Tadi romantis banget pas pamit, pake bisik-bisik segala. Bilang apa dia? I love you bukan? ha ha ha" Mamah, andai saja aku jawab bahwa dia membisikan bahwa aku gila, apa Mamah akan se-sumringah ini?
"Bukan, udah deh!"
"Hmmm, sepandai-pandainya kamu sembunyikan. Tetap Mamah mengerti. Ingat! Mamah lebih berpengalaman" Mamah menyelimutiku dan pergi keluar sambi senyum-senyum menggodaku. Setelah dia pergi, ingin rasanya aku bilang padanya. Bahwa pengalamanku pasti jauh berbeda dengan yang dialaminya.
Aku berbaring lagi, lumayan. Dengan kebohongan Iqsal, kini ada gunanya juga. Aku bisa bermalas-malasan dan mengurung diri di kamar. Tapi tiba-tiba, aku merasakan mules yang hebat dalam perutku. Aku lari ke kamar mandi kamarku dan menumpahkan semua isi perutku. Setelah lega, aku kembali ke ranjang. Tapi, mules itu datang lagi dan aku lari ke toilet. Itu berlangsung sampai beberapa kali. Kakiku sampai kesemutan saking lamanya diam di WC.
Aku berfikir, ini pasti ada hubunganya dengan obat yang di berikan iqsal tadi. Itu pasti obat pencuci perut untuk membalaskan dendamnya untuku
Esok harinya, di kelas sudah ada Zulfa dan Remi. Aku jalan tertatih-tatih karena kemarin seharian aku terus bolak balik WC karena sakit perut.
"Eh Neng! Lo gak apa-apa 'kan? Apa baru diperawanin Iqsal?" Ujar Remi yang membuat aku melotot padanya.
Plakk... (Aku menampar bibir mudarat nya itu)
"Awww! Sakit" Ringgisnya sambil menatap cermin.
"Ha ha ha ha" Zulfa tertawa dengan sangat puas. Setelah duduk, aku menjelaskan semuanya. "Lo tuh Sha! Baikan aja kenap sih? Mau sampai kapan kalian saling balas dendam kayak gini?" Tanya Zulfa
"Biarin lah, hitung-hitung mengasah kreatifitas ya 'kan? Lagian males banget harus berbaikan sama orang itu." Aku mengeluarkan buku satu persatu.
"Keras kepala banget sih lo!"
"Ssst! Pak Dedi datang" Remi berlari ke bangkunya. Pak dedi adalah guru bahasa yang akan mengisi pelajaran hari ini. Kami mulai belajar dan sejenak aku harus konsentrasi agar pelajaranya menyerap pada otakku. .
.Hari berganti bulan, bulan berganti malam, hari-hariku selalu diisi dengan peperangan dgn Iqsal. Apalagi jika hari sabtu datang, maka seharian itu akan ada keributan antara aku dan Iqsal. Mengingat setiap sabtu kami ada dalam satu ruangan, yaitu markas Pecinta alam. Hingga sabtu ini, kak Deva mengumumkan bahwa minggu depan adalah camping pertama kita. Kami akan menjelajahi alam, mendaki gunung dan melewati lembah. Aku sangat semangat dengan perjalanan ini, karena ini travel pertamaku di masa-masa putih abu.
Sehari sebelum camping, Kami di kumpulkan dulu di markas untuk breefing.
"Kita akan camping di daerah Bandung, kita brangkat kesana convoi menggunakan motor. Sekarang saya mau data dulu yang pakai motor siapa saja" Jelas Kak Deva memimpin briefing.
"Kak boleh ajak pacar gak? Biar aku di bonceng pacar akoh" Tanya Remi yang mengundang sorakkan semua tim.
"Kalau pacar lo cewe gak apa-apa, lah ini....?" Rian menggoda Remi. Alhasil semuanya menertawakan Remi.
"Makanya, saya mau data yang bawa motor dulu. Biar yang gak bawa motor bisa nebeng ke yang pakai motor. Oke!" Jawab kak Deva.
"Udah, lo gue yang bonceng" Ujarku pada Remi
"Lah, terus gue?" Tanya Zulfa
"Kita bonceng tiga saja. Ha ha ha"
"Mau di tilang lo?"
"Oke, jadi yang paki motor ada 10 orang ya " Ka Deva mulai mengabsen yang punya motor dan yang di boncengnya. "Salsha dengan Zulfa, dan Remi ikut Iqsal" Itulah absen terakhir Ka Deva. Aku sendiri tertawa disusul yang lainnya. Melihat wajah Iqsal yang sepertinya tidak terima berboncengan dengan REmi.
"Hah? Enggak! Enggak! Nanti gue di apa-apakan sama Remi" Tolak Iqsal
"Ikh! Iqsal. Tidak dong! Sesungguhnya kamu itu bukan tipe aku, maaf ya!" Mendengarjawaban Remi semuanya tertawa.
"Tidak. Kak Deva, jangan sama dia dong!" Mohon Iqsal
"Ya sudah, kamu sama Zulfa, Remi sama Salsha"
"Ikh! Aku gak mau sama kak Iqsal" Tolak Zulfa. Rupanya pertempuran ini semakin sengit.
"Ck! Siapa juga yang mau bonceng lo!" Balas Iqsal. Aku duduk sebentar membuka keripik kentang yang aku bawa. Sepertinya seru adegan ini jika terus berlanjut.
"Ya sudah, Remi sama Zulfa, Salsha sama Iqsal"
"Hah?" ucapku dengan Iqsal bersamaan. "Enggak!" Lanjut kami
"Ya sudah, gue sama Remi aja. Awas ya lo Rem kalau peluk-peluk gue. Gue bantingin ke jurang" Ujar Iqsal. Kenapa kalau ujung-ujungnya sama Remi harus pake debat-debat kak Deva. Dia memang benar-benar menyebalkan.
"Aw Iqsal! Bagaimana kalau Remi jatuh, ya Remi harus pegangan dong ke Iqsal." Jawab Remi manja.
"Kalau lo berani nyentuh, gue buang lo ke jurang" Ancam Iqsal.
"Ih takut!" Semuanya menertawakan mereka. Dan akhirnya aku lega karena tidak harus berboncengan dengan Iqsal. Membayangkannya saja sudah muak, apalagi beneran harus dibonceng.
Keesokan harinya, rombongan kami mulai start di sekolah pukul enam pagi. Kami mulai perjalanan ke Bandung dengan menaiki motor. Kata kak Deva, nanti motor kami akan di simpan di rumah salah satu warga disana. Sedangkan kami berkemah di puncak gunung, kami menaiki gunung dengan berjalan kaki. Sesampainya disana, jalannya sangat menanjak menuju rumah yang kak Deva maksud.
"Ini mah sudah mulai mendaki gunungnya. Disini saja sudah mendaki pakai motor" Protesku
"Ha ha ha ha, otak lu dimana sih? Mana ada mendaki pakai motor?" Timpal Iqsal yang tiba-tiba disamping motorku.
"Diem lo! Nyamber aja!"
Jalan semaki menanjak, bahkan tak ada waktu untuk motorku bernafas. Sampai semakin naik, aku semakin tak mampu gas motorku lagi. Benar saja, motornya mundur dan semua teriak. Khususnya Aku dan Zulfa. Kami panik dan akhirnya jatuh ke pinggir jurang. Untung hanya pingir jurang, bukan ke jurangnya. Dengan keadaan mtor menindih tubuh kami berdua, kami berusaha berdiri tapi berat.
"Ah, untung gak masuk jurang" Ujarku lega, tapi langsung dio semprot oleh Zulfa.
"Untung lo bilang? Ini kaki gue kejepit motor lo!" Protes Zulfa.