Detak jantungku masih tak beraturan setelah menerima panggilan telepon dari lelaki yang sudah aku kenal sejak lama, beberapa menit lalu. Hari ini, dirinya memintaku untuk menemuinya di kawasan Kiara Arta Park. Langkahku terasa getir, saat menjejakkan kaki ke pintu masuk dari arah jalan Kiaracondong. Mataku mencari-cari keberadaan dirinya yang membuat janji untuk bertemu di tempat ini.
Aku menatap arloji yang menunjukkan jam pukul 14:33, Sabtu 22 September 2018. Besok kepulanganku ke Bangka. Hari ini, adalah hari terakhir aku tinggal di Bandung. Setelah beberapa menit aku mencarinya, terlihat tubuh tingginya yang cukup kekar. Aku berjalan mendekat dengan napas sedikit sesak, dirinya yang tengah berdiri digaris putih mirip zebra cross di bawah lampu.
“Ada tempat yang lebih jauh lagi, untuk membuat aku berjalan?” desahku. Aku berdiri di dekatnya yang tegap, dengan tangan di masukan ke saku celana menatap hamparan bunga-bunga dan rumput hijau.
“Harusnya, aku memintamu untuk berjalan sekitar 20 kilometer lagi,” ujarnya datar. “Tapi aku pikir, rasanya terlalu kejam untuk dirimu yang tidak biasa jalan sejauh itu.” Suaranya terdengar seperti tidak ada rasa bersalah sama sekali.
Aku melipat tangan seiring menghentakkan kakiku sebelah kanan menampilkan irama kekesalan.
“Jangan begitu, aku tidak bermaksud untuk mengerjaimu.” Dia menghadap ke arahku, matanya terlihat memancarkan cinta yang membuat detak jantungku seperti berjalan di rel lokomotif.