Minggu, 8 April 2018
MINGGU, adalah hari rebahan sedunia banyak dari orang yang seumuran denganku saat ini, sedang menikmati kasur empuk di dalam kamar. Tapi aku tidak ikut merayakan hari penuh tidur dan bermalas-malas. Aku sudah bangun sejak alarm berbunyi jam 03:45 subuh tadi, di lanjutkan salat selepas mandi.
Aku remaja yang sebenarnya bisa menikmati minggu pagi, seperti yang di lakukan sahabat atau orang-orang di luaran sana. Hanya saja aku memilih untuk menjalani hari ini dengan segala kesempatan yang tidak ingin aku lewatkan. Aku baru selesai mengenakan pakaian olahraga, baju lengan panjang dan rok menjuntai hingga ujung kaki, serta hijab tak tertinggal untuk aku kenakan. Memang terdengar sangat aneh, tapi inilah aku.
Aku keluar dari kamar jam 06:11, 23 detik di ruangan tengah rumah, Mas Denara Narapati sedang menikmati kopi hitam yang tidak aku tahu betapa pahitnya.
“Mau ke mana?” sapanya yang tidak melepaskan pandangannya dari layar leptop. Begitulah saudaraku satu-satunya ini, menghabiskan waktu dengan leptop hanya untuk menulis. Atau sekadar membaca artikel politik yang berkembang di negara ini.
“Olahraga, mau ikut?” tawarku berdiri di dekatnya. Aku melihat apa yang sedang dirinya ketik di layar leptopnya. Mungkin novel lagi? Atau kumpulan puisi yang dirinya buat. Dia sudah menerbitkan beberapa buku novel dan kumpulan puisi serta antologi yang tidak aku hitung sudah berapa buku.
“Biasanya kamu masih tidur jam segini. Ada angin apa, kamu sudah bangun sepagi ini? Tidak seperti minggu sebelumnya,” selidiknya yang tak melepas pandangan dari layar leptopnya. Sekarang matanya lebih terfokus melihatku.
“Hanya ingin saja ….” Aku tidak tahu harus memberikan alasan apa. Aku hanya mampu mengatakan apa yang sebenarnya hatiku rasakan.
“Mas, ikut. Tunggu sebentar di luar.”
Begitulah manusia satu ini, bicaranya sangat irit, tidak seperti dulu saat dia masih kuliah dan aku masih SMA. Sekarang banyak yang sudah berubah dari dirinya, termasuk sifat dan kebiasaannya.
TAMAN kota yang terletak tidak jauh dari pinggir pantai Pangkal Pinang menjadi perjalanan kami untuk menikmati udara pagi yang masih sangat sejuh di tubuh. Aku dengan Mas Denara Narapati berlari kecil menyusuri jalan setapak di kawasan taman kota. Aku pikir tempat ini tidak akan ramai karena semua orang merayakan hari rebahan sedunia. Banyak orang di sekitaran kami melakukan hal yang sama. Aku bersyukur hari ini Mas Denara Narapati mau ikut untuk merasakan angin segar di alam terbuka. Biasanya dia enggan untuk berjalan keluar rumah, selain pergi ke kedai kopi aksara.
Pohon-pohon besar menjadi penyerap ekosistem bagi udara segar untuk polusi asap kendaraan yang nyata atau hampir mirip dengan angin. Bunga-bunga mekar dengan indah di setiap sudut yang tertata rapi sempanjang jalan ini. Hampir 30 menit kami berjalan menyusuri taman, mengelilingi seluruh bagian yang terletak di sini.
“Capek ….” Suaranya terdengar ngos-ngosan. Bisa aku tebak, sudah berapa tahun dirinya tidak melakukan olahraga yang ringan seperti ini. Mungkin satu atau dua tahun lebih.
“Mau istirahat, Mas?” tanyaku yang melihat butiran keringan seperti embut mengalir di kaca jendela kamar.
Tanpa memberikan jawaban, dirinya langsung duduk di pinggir jalan setapak yang sedikit berdebu. Rumput-rumput hijau memberikan alas untuk kaki kami yang berbaring. Aku sedikit risih dengan tempat kami duduk ini. (1) Aku tidak suka kotor, (2) Aku orangnya mementingkan kebersihan, (3) Aku tidak suka dilihat orang dengan tatapan mata yang seperti berkata: aneh sekali orang itu. Sebenarnya tidak jauh dari tempat kami duduk saat ini, ada bangku khusus untuk beristirahat atau sekadar bicara bersama pacar.
“Haus, Mas?” tanyaku padanya yang mengelap keringan di wajahnya.
“Tidak, hanya lelah saja. Mungkin sudah hampir beberapa tahun, tidak melakukan kegiatan seperti ini. Jadi membuat tubuhku seperti berlari sejauh 500 km, melewati bukit dan turun tebing.”
“Itu karena, Mas Nara, lebih suka duduk manis di depan leptop dan menikmati secangkir kopi di kedai aksara. Dulu, Mas Nara, sering mengajakku untuk olahraga. Tapi bedanya, aku dulu malas sekali kalau harus bangun pagi. Apalagi di hari minggu, hari rebahan sedunia ….” Aku berbaring di sampingnya yang masih duduk. Aku tidak peduli lagi yang namanya debu dan sejenisnya.
“Kamu benar. Mas, sudah banyak melewatkan kesempatan untuk menikmati hidup. Rasanya hidup ini hanya tentang kesedihan dan kesendirian.” Suaranya terdengar seperti sedang menyesali sesuatu.
Aku bangkit lalu menatap wajahnya yang memandang ke arah laut. Kekosongan tertangkap jelas di sana, bahkan banyak kesedihan yang dirinya simpan. Aku tahu, sejak di tinggankan oleh orang yang dirinya cintai, termasuk aku juga mencintainya. Semuanya berubah 65 derajat dari normalnya. Tapi bukankah telah berlalu sudah sangat lama.
“Jangan sedih, Mas. Semua sudah berlalu, sekarang masih ada hari esok untuk lebih merasakan kebahagian lagi. O, ya. Dua minggu lagi, Najmi akan pergi ke Bandung.”
Wajahnya menatapku seperti tidak percaya apa yang baru saja aku katakan. Aku memberikan senyum untuk meyakinkan dirinya jika semua itu benar. Senyumku tidak di balas olehnya, binar matanya berpaling kembali menatap hamparan bunga-bunga berbagai warna yang menghiasi taman kota. Aku tidak bertanya, hanya membiarkan dirinya menikmati perasaannya sendiri. Dia adalah satu-satunya saudara laki-laki, kami hanya dua saudara. Aku memang memiliki saudara yang bisa di bilang seperti saudara. Mereka adalah sahabat dari Mas Denara Narapati. Sejak mereka sudah menikah setehun lalu, kami sudah jarang berkumpul. Dan aku juga sudah tidak bisa meminta untuk di belikan makanan pada Bang Sandi Wandani.
Sekarang, umurku sudah genap 20 tahun 8 bulan 10 hari. Aku sedang kuliah di UMBB (Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung) mengambil jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Ini tahun semester 7, dua minggu lagi aku ditugaskan untuk melakukan sebuah penelitian tentang kehidupan guru di sebuah desa di kota Bandung. Mas Denara Narapati sendiri adalah sarjana sastra indo di UBB (Universitas Bangka Belitung).