SEBENARNYA ia bukanlah tuan bagi banyaknya takdir yang disusun dalam sekenario semesta. Waktu adalah kesempatan yang harusnya aku jalani tanpa adanya lelah. Tapi aku manusia yang memikirkan semua masa dapat yang cukup sulit aku mengerti. Tidak begitu sempurna harapan dan mimpi yang ingin aku raih, hanya sebatas membahagiakan kedua orangtua itu sudah luar biasa indahnya. Namun, belahan dunia mana yang semestinya aku pijak saat cita-cita sudah digelar pada pilihan sebenarnya.
Dunia tidak pernah menampakkan keadaan sesungguhnya, melainkan menyembunyikan rahasia-rahasia yang lepas dari peristiwa nyata. Langkah seringkali membuat irama yang menyuarakan rasa getir dalam diri. Aku sesekali menatap langit yang begitu terik di jalan dekat kampus Muhammadiya Bangka Belitung. Satu jam yang lalu aku selesai mengerjakan mata kuliah terakhir untuk hari ini. Kini perjalan pulang aku lalui dengan kaki yang begitu berat menelusuri trotoar.
“Hei, anak manja. Jalan sendirian aja?” tegurnya yang menepikan motor di dekatku.
Aku tidak menghiraukan manusia satu ini yang sering mengatakan aku anak manja. Kakiku tetap melangkah menelusuri trotoar jalan. Aku tidak berhenti meski dirinya tetap mengikutiku dengan motor trilnya.
“Aku mau ke kedai. Kamu mau ikut?” tawarnya.
Aku menghentikan langkahku tanpa memandang wajahnya. Aku semakin risih dengan sikap ramah yang dirinya buat-buat itu. Aku tahu dirinya orang baik, juga mengenalnya hampir dua tahun lebih. Tapi keusilan yang selalu dirinya lakukan, membuat aku tidak suka berlama-lama di dekatnya.
“Bisa tidak jangan ganggu?” desisku menatapnya dengan semburan kemarahan.
Dia tertawa mendengarkan ucapanku. Selalu saja begitu, manusia satu ini tidak pernah merasa sakit hati ketika aku usir sekalipun. Pernah suatu hari aku mencacinya karena terlampau menyebalkan menjadi seorang cowok. Tapi hebatnya, dia hanya bilang ‘sudah ngomelnya. Saya suka sekali melihat kamu saat marah.’ Ada, ya manusia yang begitu?
“Mau ikut atau aku tinggal?” jelasnya seperti mengancam.
Aku mengepalkan tangan begitu erat, rasanya ingin sekali aku memberi tanda di wajahnya yang tampan itu. Tidak! Dia tidak tampan, mengapa aku bisa bilang begitu? Aduh, malu sekali kalau dia dengar aku bilang dia tampan.
“Tidak, terima kasih.” Aku menolak kerena malu bercampur kesal padanya.
“Yakin?” tanyanya memainkan alis turun naik. “Ya sudah kalau tidak mau. Aku sendiri yang akan bermain dengan Arunika di kedai. Aku bilang saja nanti, tante Nurun Najmi tidak mau bermain sama dia,” ucapnya seakan memenangkan pertarungan.
Arunika adalan anak Bang Alki Amatis dan Mbak Airin. Aku sering rebutan untuk mengajak Arunika bermain dengan cowok menyebalkan ini. Kali ini, aku tidak ingin dirinya memenangkan hati Arunika. Karena selama ini, aku yang selalu berhasil mendapatkan pelukan pertama dari Arunika saat kami bertemu.
“Ish. Aku ikut,” jawabku sedikit kesal oleh pernyataannya itu.
Aku menyetujui ajakkan dirinya. Karena, aku tidak ingin jika Arunika menjadi ketularan sikapnya yang super usil. Aku naik motornya setelah menerima helm dari tanganya. Untung saja hari ini aku memakai cenalan jens, jadi naik motor bukanlah hal yang buruk aku lakukan.
•••
KEDAI aksara yang terletak di kawasan kota Pangkal Pinang, ini berdiri hampir enam tahun. Seingatku, waktu itu aku masih SMP kelas 8. Aku sering di ajak Mas Denara Narapati ke sini di hari minggu. Tapi itu dulu, sekarang kami memiliki banyak kegiatan masing-masing yang mengurangi semua kebiasaan kami.
Mala bengong. Ayo, masuk atau aku duluan yang menemui Arunika?” jelasnya setelah meletakkan helm di stang motor.
“Enak saja!” tegasku seraya menginjak kakinya lalu berjalan cepat meninggalkan dirinya yang mungkin sedang kesakitan.
Aku membuka pintu kaca dan masuk ke dalam kedai yang memperlihatkan beberapa penikmat kopi serta pembaca buku. Aku menatap sekeliling mencari keberadaan Arunika. Tidak perlu waktu kama, mataku berhasil menemukan gadis cantik berumur 3 tahun itu di pangkuan bundanya. Aku menghampiri dirinya yang masih belum menyadari keberandaanku.
“Arunika ….” Aku menyapanya gemas.
“Kak Nami,” jawabnya bersuara cadel.
Dia merosot dari pangkuan bundanya, membentangkan tangan untuk memelukku. Aku merasakan aroma wanginya tetap sama seperti saat dia masih bayi. Aku membalas pelukkan itu dengan erat.
“Kamu ke sini sama siapa Naj?” Kak Airin bertanya padaku yang tiba-tiba datang.
“Sendiri ….”
“Enak saja sendiri,” potong seorang yang berada di belakangku.
“Om Suar, ke sini sama, Kak Nami?” tanyanya meraih tangan cowok di dekatku yang sedang membungkuk lalu menciumnya.
“Iya. Tadi om ditinggalin di luar setelah kaki om di injak sama, Kak Mumi,” adunya pada Arunika.
Aku melotot menatapnya yang di balas senyum kemenangan olehnya. Aku ingin mencakarnya, tapi aku urungkan karena tidak ingin gadis kecil ini membenciku.
“Kak Nami, jangan jahat sama om. Om Suar, itu sayang sama, Kak Nami.” Arunika mengatakan sesuatu yang membuat jantungku berpesta.
Aku merasakan pipiku menjadi hangat setelah mendengarkan ucapan Arunika beberap detik yang lalu. Aku tidak berani menatap cowok bernama Alaska Suardika yang sering memanggil namaku Mumi. Padahal namaku sudah begitu cantik ‘Nurun Najmi’, tapi dia selalu saja memberikan julukkan yang tidak aku suka.
“Kakak tidak jahat sama, Om Suar. Hanya memberi pelajaran saja. Jadi cowok harus tahan banting. Masa di injak kaki aja langsung ngadu, ‘kan itu namanya bukan cowok.” Aku menyindirnya halus.
Dia hanya menggelengkan kepala pada Arunika yang memandangnya. Aku tersenyum puas, karena sepertinya dia juga dapat teguran dari Arunika. Paling tidak, aku bisa membalas perbuatan dirinya yang suka mengusiliku.
“Om Suar, juga. Gak boleh begitu, om harus jaga, Kak Nami. Jangan bikin kesel mulu. Jangan sampai, Kak Nami, sedih ya om?” ucapnya seperti memerintah.
Aku selalu memenangkan hati gadis kecil ini. Dirinya sepeti tahu apa yang aku inginkan. Suar yang mengangguk seakan menyetujui perintah Arunika, membuat aku merasakan perasaan senang yang entah apa. Aku seperti menjadi juara pada setiap situasi apa saja, bahkan hati anak kecil saja bisa aku dapatkan dengan mudah.
“Om ke sana dulu, ya? Om harus kerja.” Suar berdiri sambil mengusap kepala Arunika pelan.
“Ka, tadi Mas Alki bilang, sore nanti kamu ambil kopi kiriman dari Pagar Alam.” Kak Airin memberi tahu Suar.
“Siap,” jawabnya mengacungkan jempol.
Dirinya berlalu membelakangi kami bertiga menuju meja barista. Dia bekerja menjadi bartender di kedai ini. Yang aku tahu, dia berhenti kuliah dan memilih bekerja menjadi peracik kopi. Entah karena menyukai kopi atau tidak ada pilihan lain lagi.