Cinta dan Salib, di Langit Bandung

Pena Akara
Chapter #4

Hamparan Senyum

Pangkal Pinang, Bangka Belitung

Sabtu, 4 Mei 2018

CINTA bukan tantang kebersamaan atau melepaskan. Cinta lebih luas dari samudra di depanku saat ini. Langit yang mulai menguning, laut tak lagi membiru sedang aku masih menatapnya dalam keadaan bisu.

Waktu tidak pernah berhenti mengingatkan perputaran dunia akan terus berjalan semestinya. Aku yang tengah mencerna setiap isyarat terucap lepas dari bibirnya. Hanya bisa menepikan sejenak perasaan benci yang sering mengganggu dadaku. Entah sedang apa dirinya yang sekarang, setelah mengganggu hatiku? Aku memainkan telepon cerdasku untuk menghilangkan sedikit pikiranku tentangnya, sayangnya notifikasi pesan aplikasi hijau gambar gagang telepon mengalihkan mataku.

Alaska Suardika: Gadis manja, belum tidur?

Aku enggan untuk membalas pesan itu setalah kubuka dan kujadikan centang biru. Aku kembali keluar kolom aplikasi, pindah ke halaman lain. Tapi notifikasi berulang keluar di atas layar telepon cerdasku

Alaska Suardika: Hei, di buka aja pesannya?

Alaska Suardika: Maaf kalau aku ganggu kamu lagi, L

Aku membuka pesan itu lagi yang memperlihatkan emotikon cemberut di kirim olehnya. Aku mencoba mengetik pesan balasan.

Aku: Ada apa? Aku mau tidur!

Aku menunggu balasan pesan yang terkirim padanya, tapi tidak kunjung di buka. Mungkin dirinya kesal karena aku sudah mengabaikan pesannya tadi. Sekarang dirinya yang yang membuatku menyesal telah membalas pesan itu.

Pasan yang aku tunggu tak kunjung di balas. Rasa geram menunggu, membuatku menjadi haus. Aku keluar kamar untuk mengambil minum dan membawa satu gelas air putih kembali ke kasur tempat tidur. Aku membuka telepon cerdasku yang ditinggalkan beberapa menit lalu. Ada pesan balasan dari Suar.

Alaska Suardika: Besok pagi aku jemput kamu. Tidak ada penolakan atau apa pun. Aku sudah bilang sama ayah dan Nara untuk mengantar kamu ke kampus dan mengantar pulang setelah urusanmu selesai.

Aku: Iya.

Aku membalas cepat pesan itu tanpa berpikir atas keputusanku mengiakan permintaannya. Sampai pada keadaan aku sadar, pipiku tiba-tiba menjadi hangat karena perasaan malu. Aku tidak biasanya menerima ajakkan atau sejenisnya yang disuguhkan oleh cowok bernama Alaska Suardika. Entah kenapa hari ini, aku seperti hanya punya jawaban ‘iya’, tanpa ada pilihan menolak.

PAGI hari setelah aku selesai mandi dan sarapan bersama ayah, ibu dan Mas Nara. Suara motor berhenti di depan pagar. Mas Nara yang duduk di teras setelah sarapan, terdengar sedang berbicara dengan seseorang yang sudah pasti bisa aku tebak siapa orangnya.

Aku enggan untuk pergi menemuinya, memilih tetap duduk di dalam kamar. Hingga sebuah ketukkan di balik pintu membuat aku menjadi sedikit gelisah.

“Najmi … ada nak Dika di luar. Dia nunggu kamu.”

“Iya, Bu. Najmi, sedang siap-siap,” jawabku terbata-bata.

Kenapa aku begini? Tanyaku pada diri sendiri di depan kaca. Aku merasa bingung dengan perasaanku, seperti ada yang berbeda setelah kami ke pantai kemarin.

Aku segera mengganti pakainku untuk menyusaikan apa yang akan aku tumpangi. Aku mengenakan celana panjang longgar warna abu-abu yang selaras dengan sepatu hitam dan baju kebiruan, lengkap jilbab warna akromatik selesai aku kenakan. Aku mengambil tas kuliahku yang berisikan beberapa buku dan surat. Setelah memasukan telepon cerdas ke dalamnya, aku pikir semua sudah dibawa tanpa ada yang ketinggalan.

“Ibu, aku berangkat.” Aku menyalami ibu.

Beliu mencium pipiku dan mengelusnya. Aku di bimbingnya keluar rumah sampai di teras. Suar segera berdiri dari bangku, lalu menyalami tangan ibu. Aku berjalan setelah berpamitan dengan Mas Nara.

“Pakai sendiri helmnya,” ucapnya menyodorkan helm.

‘Dia tidak lihat aku sedang memegang berkas dan tas? Seharusnya dia memakaikan helmnya di kepalaku. Padahal kemarin, saat aku tidak membawa apa-apa di tanganku dia memakaikannya. Apa secepat itu sikapnya berubah?’ Entahlah, gumamku dalam hati.

Kami berangkat setelah aku mengenakan helm dan naik ke atas motornya. Dia menjalankan motornya cukup cepat, karena jalan pagi ini tidak terlalu ramai. Matahari juga bulam begitu panas, hingga membuat perjalanan ini terasan tenang. Meski, dalam hati sedikit bergetar saat di lampu merah dirinya mengerm mendadak yang membuatku menjadi memeluknya. Ini bukan tentang dirinya yang mencari kesempatan tapi, memang keadaan yang begitu berlawanan dengan waktu.

Sekitar satu jam, kami sampai di UNMUM BABEL (Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung). Setelah menurunkan aku, dirinya menghidupkan motornya lagi entah ke mana tujuannya. Aku enggan bertanya, perasaan tidak ingin tahu apa yang akan dirinya lakukan membuat motornya melaju begitu saja.

Aku berjalan masuk ke dalam areal kampus saat waktu menunjukkan pukul 9:22 pagi. Hari ini aku ada satu mata kuliah yang harus di ikuti untuk menambah nilai. Selelang dua jam aku keluar kelas dan mengarah ke ruangan dosen.

“Siang, Buk,” sapaku setelah mengetuk pintu dan persilakan masuk.

“Bagaimana, Naj? Apa kamu sudah siap berangkat besok?” tanyanya saat aku sudah duduk di kursi depan mejanya.

Insya Allah, siap. Najmi, hanya perlu persetujuan dan doa dari, Ibu, saja,” ungkapku meletakkan map berisakan suarat pengantar.

“Baiklah, Ibu, tandatangani dulu. O ya, kamu nanti akan di bantu oleh mahasiswi dari Bandung, untuk kelancaran penelitian di sana,” jelasnya seraya menyodorkan kembali map yang sudah ia tandatangani.

“Terima kasih, Buk. Najmi, sekalian pamit,” ucapku menyalaminya.

“Nanti, kalau ada apa-apa jangan segan mengubungin, Ibu, atau minta bantuan dosen di sana. Ibu, doakan kamu berhasil menyelesaikan penelitiannya dan maju sebagai mahasiswi pertama melakukan sistem riset untuk jurusan keguruan di kampus ini…”

“Akan, Najmi, usahakan yang terbaik.” Aku meyakinkan dengan mengulas senyuman.

Aku keluar ruangan dengan perasaan senang bercapur sedih. Karena untuk dua bulan kedepan aku harus meninggalkan kampus yang membuat aku mengerti banyakhal. Sahabat-sahabat yang selalu mendukung setiap keputusan dan pilihan pada segala usahan untuk menjadi yang terbaik. Aku mengenal banyak jenis sikap seorang manusia. Contohnya gadis satu ini yang berada di hadapanku.

Lihat selengkapnya