MATAKU terjaga saat senandung dari surau dekat rumah membangunkan, tanpa mengusik tidurku. Salam terakhir yang terucap, menandai semua kerumitan waktu yang masih aku baca perlahan terlepas. Tiada yang dapat aku semai, selain doa dan impian dalam hati ini. Bahkan, mulut angin pun tak sanggup melahap harapan yang terus aku balut dengan cinta.
Tanganku meraih gawai yang tergeletak di atas nakas, menghidupkan benda itu untuk melihat apakah ada pesan yang masuk. Sayangnya tidak ada satu pun pesan yang masuk dari aplikasi hijau canggih itu.
“Ke mana manusia menyebalkan itu? Sampai sepagi ini tidak ada kabar sama sekali?” ujarku dalam hati.
Aku menekat tombol panggil pada nama Alaska Suardika, berharap ada jawaban dari seberang sana. Tapi, panggilan itu tidak kunjung terhubung sampai di tiga kali percobaan. Aku meletakkan kembali telepon cerdasku itu dengan kesal di atas meja. Mengalihkan pikiran melangkah keluar kamar menemui ibu yang sudah masak di dapur.
“Ibu ….” Aku menyapanya yang tengah mengiris bawang merah.
“Eh, anak gadis Ibu sudah bangun. Tadi mau, Ibu, bangunkan tapi takut kamu kelelahan.” Ibu menyaut.
“Sudah dari tadi, hanya tidak keluar kamar aja,” jelasku. “Ibu, lagi masak apa, sepertinya banyak sekalai?” lanjutku bertanya.
“Ibu, buat sarapan untuk Ayah, Denara sama Rey juga,” terangnya dengan nada suara gembira.
“Suar tidak ikut?” tanyaku sepontan.
Ibu menghentikan aktivitas memotong bawangnya, beralih menatap ke arahku. Aku sepertinya salah telah menanyakan hal itu.
“Memang dia bilang sama kamu mau ke sini, nanti pagi?” Ibu balik bertanya padaku.
Aku menggelengkan kepala tanda tidak mengetahuinya, sejak dirinya pulang kemarin sudah tidak ada kabar lagi darinya. Bahkan aku mencarinya dan mendapatkan hasil yang mengecewakan, atau dirinya masih tidur sepagi ini? Entahlah.
Aku mengalihkan pikiranku tentang dengan membantu menyiapkan segela sesuatu yang ingin di masak ibu, dan membersihkan sayur serta meja. Aku melajutkan menyapuh rumah, dari kamar hingga ruang tamu yang berakhir di teras halaman. Matahari yang mulai merangkak antara pelepah kelapa di semanjung, menandakan duniaku akan segera kembali dimulai.
“Ngapain melamun?” Mas Nara menegurku, “Tidak baik pagi-pagi melamun. Mandi sana,” perintahnya.
Aku memutar badan menatap Mas Nara, “Sudah. Mas Nara, tuh yang belum mandi. Relat. Jarang mandi pagi,” sindirku seraya meninggalkan dirinya yang tertegun.
“Harus bilang-bilang kalau mau mandi?” tukasnya.
“Harus disuruh-suruh kalau mau mandi?” balasku meledeknya.
SUASANA sarapan pagi cukup berbeda, karena ada Rey yang ikut bersama kami. Sarapan berlangsung cukup cepat, mungkin keluargaku tidak banyak bicara saat sedang makan seperti ini. Setelah kami selesai menghabiskan isi piring hingga tak tersisa, satu persatu dari kami meninggalkan meja makan. Ayah seperti biasa duduk di teras membawa segelas kopi dan koran terbitan terkini. Mas Nara sibuk dengan leptopnya, untuk melakukan revisi naskah novelnya. Rey menunggu di ruang tamu, dirinya tidak bekerja karena hari ini adalah minggu pagi.
“Minum dulu kopinya,” ucapku meletakkan gelas kopi di depannya.
“Terima kasih, Cahayaku,” sambutnya mengulas senyum.
Cahaya nama panggilan sayangnya kepadaku, satu kata yang terdengar sangat berlebihan menurutku. Tapi aku tidak keberatan dirinya memanggilku dengan sebutan itu.
“Rey … kita sudah jarang bertemu seperti dulu,” ungkapku menggeser posisi dudukku menatap ke arahnya. “Maaf, aku banyak tugas kuliah sekarang di tambah aku sudah mengajukan judul skripsi. Dan hari ini, aku harus terbang ke Bandung untuk mencari data isi skripsiku nanti. Sebenarnya, bisa saja mengambil dari internet. Tapi, kata dosen pembimbingku itu tidak cukup akurat hasilnya. Dengan usulan dosen dan dukungan mereka, aku diberikan tugas ke sana agar dapat hasil terbaik. Mungkin menurutmu ini tidak masuk akal, tapi …,” penjelasanku dipotongnya.
“Naj, aku mengerti. Semua bukan kesalahan kamu perihal kita jarang bertemu. Aku juga sibuk di humas pendidikan. Aku tidak masalah. Semua sudah aku yakini sejak kita membicaran ini di pantai Parai Tenggiri beberapa waktu lalu. Yang terpenting sekarang, kamu kejar dan selesaikan semua yang sudah kamu ambil.” Rey meyakinkanku bahwa ini pilihan tepat.
“Pasti!” tegasku.
Aku memberikan senyuman penuh arti kepadanya. Di lain sisi, ada perasaan sedih karena harus berpisah beberapa pekan dengannya. Walaupun masih ada alat penghubung untuk kami rutin komunikasi, tapi akan lebih baik jika berbicara langsung ketimbang lewat saluran telepon.
PUKUL 10:47 kami berada di Bandar Udara Depati Amir (PGK), Kepulauan Bangka Belitung, untuk penerbangan jam sebelas tigapuluh nanti. Kami sengaja datang lebih cepat, agar masih ada waktu beberapa saat sebelum keberangkatanku. Menit demi menit aku nikmati duduk bersama Ayah, Ibu, Mas Denara Narapati dan juga Rey Fakardaus.
“Kamu di sana jangan lupa mandi pagi sama sholat. Jaga kesehatan.” Mas Nara mengingatkan dengan kalimat seperti menyindir.
“Mas Nara, sudah ketularan Bang Sandi suka ngeledek.” Aku protes.
Mas Nara hanya tertawa geli, bukannya marah karena aku menyamakan dirinya seperti Bang Sandi. Ini mengingatkan aku saat mereka masih kuliah dan aku baru beranjak remaja. Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat yang membuat proses hidupku sampai seperti ini sekarang.
“Apa sebut-sebut? Ini ada orangnya,” sahutnya di dekat kami.
Aku menoleh kesamping, Bang Sandi tengah berdiri melipat tangan di dada yang di kalungin oleh tangan Kak Lara Senja. Mereka berdua datang ke bandara tanpa mengabari kami sebelumnya. Aku yang kaget sekaligus tersipu karena baru saja membicarakan dirinya, hal itu berhasil membuatku terdiam.
“Naj … Kakak kangen,” ungkap Kak Lara seraya memeluku.
Aku membalas pelukan itu. Jujur kami memang jarang bertemu, karena kesibukan Kak Lara yang seorang perawat di rumah sakit di daerah Bangkah Tengah. Mereka belum memiliki anak sejak menikah dua tahun lalu.