Meniup poni tinggi-tinggi, aku mendesah malas merenggangkan tubuh di kursi belajar. Bunyi detik jam bergerak seirama di dinding kamar menjadi satusatunya suara yang terdengar jelas sebelum teriakan itu kembali membuatku harus menutup mata.
“CINTAAAAAA ...,” teriak Bunda.
Bukan tanpa alasan aku enggan memenuhi panggilan Bunda. Aku sudah terlalu hafal dengan apa yang akan beliau katakan begitu aku menghadapnya nanti.
“Ta, kamu budek, ya?” Kali ini, kakakku yang berteriak. “Enggak denger dipanggilin Bunda dari tadi? Kakak lagi belajar, nih, berisik!”
Ini dia sumber keenggananku. Kak Bilqist. Saudara perempuanku yang dapat membuat siapa saja jatuh hati hanya dengan sekali tatap. Bukan hanya itu, orang-orang akan jatuh makin dalam begitu mengenal Kak Bi lebih jauh. Penampilannya memang menawan, tapi bukan itu satu-satunya yang menonjol dari sosok Kak Bilqist. Semua orang tahu, Kak Bi adalah anak Bunda yang paling pintar di bidang akademik. Kepiawaiannya di organisasi bahkan tidak bisa dimungkiri, terbukti dari popularitasnya sebagai ketua OSIS yang dielu-elukan, meski saat ini dia sudah pensiun. Malangnya, semua kesempurnaan Kak Bi itulah yang kini menjadi malapetaka bagiku.
Kuperbaiki posisi duduk, memutar tubuh berbalik menghadapnya. “Kakak aja yang samperin Bunda sana, Cinta males,” ujarku tak acuh, memunggunginya, lalu mengambil buku yang tadi sedang kubaca.
“Masalah kamu, tuh, apa, sih, Dek? Memangnya Kakak salah kalo mau fokus belajar buat ujian yang udah ada di depan mata? Kalo setiap hari denger kamu sama Bunda ....”
Tanpa memberi kesempatan Kak Bilqist menyelesaikan kalimatnya, aku bangkit dari kursi, melewatinya yang berdiri di depan pintu kamar, dan berlalu. Aku tidak ingin mendengar ucapan yang hanya akan membuat pikiranku makin panas. Bukan masalah Kak Bilqist yang ingin tenang belajar untuk ujian akhir, bukan itu—ini jelas masalahku yang tidak ingin dikaitkan dengan kesibukannya, terlebih jika Bunda sudah menyangkutpautkan.
Kutemui Bunda di dapur. Beliau terlihat sibuk dengan perlengkapan memasak dan bahan makanan yang berserakan di kabinet dapur. Tanpa suara, aku berdiri di sana. Diam menunggu Bunda menyadari kehadiranku.
“Ya, ampun!” Bunda melonjak begitu melihatku.
“Kalo dateng, tuh, bersuara gitu, jangan kayak hantu tiba-tiba muncul!” ujarnya sambil mengelus dada, lalu menatapku penuh selidik. “Kamu, nih, dipanggil dari tadi baru nongol sekarang. Ngapain aja, sih? Pasti sibuk baca komik. Bukannya bantuin Bunda masak atau apa, kek, malah asyik sendiri. Kamu itu udah mau naik kelas XI, Cinta! Jangan komik mulu yang dibaca, tapi buku pelajaran juga. Mentang-mentang hari Minggu, jadi kamu bisa males-malesan gitu? Contoh, tuh, kakakmu, di hari libur aja dia belajar sungguh-sungguh. Enggak kayak kamu yang bisanya cuma ....” Dan, bla bla bla lain yang semakin malas kudengar.
“Cinta, kamu denger Bunda enggak, sih?”
“Iya, Bun, denger ...,” gaungku malas sembari mengambil beberapa wadah untuk memindahkan kentang dan wortel dari dalam plastik.
“Memang, Bunda ngomong apa coba? Kamu, tuh, bilangnya denger, tapi enggak dilakuin. Masuk kuping kanan, keluar kuping kiri, gitu terus ampe Bunda capek!” omel Bunda sambil sibuk mengeluarkan bahanbahan tambahan dari kulkas.
“Ya, denger. Bunda bangga-banggain Kak Bi, sanjung-sanjung Kak Arga. Nasihatin Cinta biar kayak mereka, padahal Cinta enggak mau nurut, tapi Bunda tetep aja maksain Cinta biar kayak gitu.” Sesuatu yang terlalu sering kudengar dan pada akhirnya aku bisa menghafalnya di luar kepala.
Bunda menoleh, menatapku tajam. Tanda bahwa beliau tidak terima ucapannya aku kembalikan. “Bunda bukannya bangga-banggain kakak-kakakmu atau maksain kamu biar kayak mereka, tapi seenggaknya kamu, tuh, punya ....” Sudah cukup! Aku benar-benar lelah dengan perdebatan seperti ini. “Terus, apa namanya kalo bukan bangga-banggain? Kalo bukan bermaksud maksa Cinta biar jadi kayak mereka?”
“Bunda lagi ngomong, jangan dipotong!”
Aku cemberut. Selalu begitu, setiap kali membalas ucapan Bunda. Aku selalu disudutkan. Padahal, hanya ingin Bunda tahu apa mauku. Apa yang aku inginkan, dibandingkan harus selalu mendengar semua nasihatnya yang tidak pernah berubah sejak dulu.
“Tau, ah, bilang aja Bunda memang enggak pernah mau denger apa kata Cinta!”
Aku berlari keluar dapur, meninggalkan rumah, mengabaikan panggilan Bunda yang terdengar hingga teras. Masa bodoh! Aku tidak mau peduli lagi—mendengarkan Bunda hanya membuatku menjadi lebih keras kepala dari sebelumnya.
***
Embusan napasku keluar saat senja di hadapanku makin habis, menatap gamang senja dari dahan pohon di taman kompleks tetangga. Dulu sekali, aku suka saatsaat seperti ini, menyaksikannya hampir setiap hari tanpa sedikit pun merasa bosan. Bagiku, senja selalu mengagumkan. Detik-detik warna langit terlihat begitu indah dan pada detik selanjutnya menjadi gelap gulita.
Itu dulu, sebelum perasaanku kini hambar melihatnya. Bukan karena senja yang berubah menjadi tidak menarik lagi, kurasa bukan itu. Tapi, mungkin karena aku yang sudah tidak bisa merasakan perasaan mengagumi itu lagi.
“Eh, anak monyet! Dicariin Tante, tuh! Pulang sana!”
Lamunanku buyar. Kepalaku otomatis berputar mendeteksi asal suara. Sial, di antara semua orang, kenapa selalu dia yang muncul lebih dulu untuk menemukanku?
Kuraih sepatu yang kupakai, lantas kulempar ke arahnya. Aku jelas tidak terima dikatai seperti itu.
Dia bereaksi, bergerak cepat menghindari lemparanku. “Wah, kurang ajar, nih, anak, kualat lo lempar-lempar sepatu ke gue!”
“Ups, gue lupa kalo lempar sepatu ke bapak monyet bakal kualat, ya?”
Dia berdecak, mengandalkan tinggi badannya yang seperti kingkong itu untuk meraih kakiku. Membuatku harus berpegangan pada batang pohon untuk berjaga-jaga jika cowok menyebalkan ini menarikku paksa.
“Ish! Apaan, sih, lo! Minggir, enggak? Jatoh, nih!” Aku berusaha meronta, melepaskan pegangannya di kaki kiri dengan menggunakan kaki kananku.
“Turun! Cepet!”
“JAJA! LEPASIN!”
“Nama gue Senja! Bukan Jaja! Lagian, panggil Irgi aja susah banget, sih, lo?”
Semarah apa pun dia padaku, aku akan memanggilnya seperti itu. Bagiku, melihat si Jaja ini sewot selalu mengobati rasa sakit hati yang kuterima darinya. Baiklah, biar sedikit kujelaskan—meski malas juga sebenarnya menceritakan soal laki-laki menyebalkan ini.
Namanya, Irgian Senja Dipetra. Nama yang unik menurutku. Dia tetangga sekaligus teman satu sekolah sejak di Taman Kanak-Kanak. Bahkan, hingga kami bersekolah di SMA Dirgantara sekarang. Rumahnya persis berada di sebelah kanan rumahku. Hobinya menggangguku sejak dulu. Kata Bunda, sih, keluarga si Jaja ini—Irgi maksudku—sudah menempati rumah di samping rumahku sejak pertama kali Ayah dan Bunda pindah setelah menikah. Dan, soal namanya yang menurutku unik, usut punya usut, kata Tante Ardiana—maminya Irgi—nama itu diberikan karena orangtua Irgi berbulan madu di Irian Jaya. Sekembalinya dari sana, Tante Ardiana hamil. Sementara, “senja” sendiri dipakai karena Tante Ardiana selalu ingat senja yang dia saksikan di Pulau Irian ketika bulan madu itu. Orangtua Irgi pencinta alam yang hobi naik gunung. Singkat cerita, jadilah Irgian itu pelesetan dari Irian. Katanya, biar terdengar lebih “cowok”.
Waktu mendengar cerita Tante Ardiana itu, aku sampai terbahak. Karena hal itu juga, aku mendapat jitakan di kepala dan cubitan di kedua pipiku dari si pemilik nama.
“Ja! Gue tendang, nih, muka lo kalo enggak ngelepasin gue!”
“Coba aja kalo bisa! Gue tarik kaki lo biar jatoh sekalian. Cepet turun! Dicariin Tante!”
Orang satu ini memang benar-benar menyebalkan.
“Enggak mau! Gue lagi mau sendiri! Gue lagi sebel sama Bunda!” Aku menolak mentah-mentah, masih meronta berusaha menyingkirkan tangannya dari kakiku.
“Ck, bocah banget, sih, lo! Sebel ampe kaburkaburan. Mana dicari di tiap pohon enggak ada. Malah nongkrong di pohon mangga taman kompleks sebelah.
Nyusahin tau enggak!”
Aku mendelik ke arahnya. Memangnya, aku monyet yang mangkal di setiap pohon?!
“Apa? Enggak terima dikatain monyet? Memang lo titisan anak monyet, kan? Ngambek, kok, hobinya manjat pohon!”
Sayangnya, dia memang benar. Aku kalau sedang marah dan ingin menyendiri memang lebih memilih duduk di dahan pohon. Bahkan, saat kecil dulu, aku pernah menangis dan berdiam di pohon sampai malam karena lagi-lagi dibandingkan dengan kakak-kakakku. Saat itu, Ayah dan Bunda panik mencariku hingga mengerahkan beberapa warga kompleks agar aku lekas ditemukan. Lebih menyebalkannya lagi, selalu Irgi yang pertama kali menemukanku di pohon mana pun aku bersembunyi, yang membuat dia semakin besar kepala dan seenaknya memanggilku seperti tadi.
“Irian Jaya! Gue tabok, tuh, mulut kalo masih
ngatain gue anak monyet!”
“Irgian Senja! Lo bisa enggak, sih, enggak pelesetpelesetin nama gue sama nama pulau?”
“Lah, bagus, kan? Lo harusnya bangga nama lo enggak jauh beda sama nama pulau yang menyimpan mutiara hitam nan berharga itu,” tuturku mulai ngawur.
Aku yang sejak tadi tidak melihat ke arahnya karena sibuk memeluk pohon mangga akhirnya berpaling. Aku mendapati wajahnya yang terlihat berkali-kali lipat lebih menyebalkan dibandingkan tadi. Terlebih, seringai puasnya, seolah dia baru saja menemukan hal yang menyenangkan dari kata-kataku barusan.