Teriakan-teriakan histeris dari gadis-gadis yang menggilai Irgi terdengar begitu memekakkan telinga. Alasannya satu, Irgi sedang bertanding saat ini. Aku sedang berada di aula pertandingan bulu tangkis antarsekolah yang diselenggarakan di SMA tetangga. SMA Almahera. Irgi salah satu pesertanya. Entah, apa yang kulakukan di sini. Biasanya, aku tidak begitu tertarik dengan beragam pertandingan yang Irgi ikuti.
Ini hari Sabtu, seharusnya aku pulang lebih cepat dari biasanya. Tapi, saat jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 2.00 siang dan bel pulang sekolah berdering nyaring, cowok menyebalkan itu bersikeras memintaku ikut. Irgi menarik paksa pergelangan tanganku hingga tiba di tempat ini. Jangan tanya bagaimana reaksi para penggemar Irgi melihat kehadiranku. Mereka iri dan cemburu. Ekspresi mereka sudah seperti buaya kelaparan. Siap kapan saja mencabikku kalau saja Irgi tidak memperingatkan mereka untuk tidak menggangguku.
Bukannya besar kepala. Sebagian orang di sekolah memang sudah tahu bahwa aku dan Irgi sejak kecil tumbuh bersama. Meski begitu, tetap saja ada yang merasa keberadaanku adalah hama pengganggu yang mengancam kemaslahatan mereka.
“Go Irgi ... go Irgi ... go!” teriak mereka serentak.
Sementara, aku dengan malas menutup telinga dengan kedua tangan. Mereka benar-benar bisa membuat telingaku tuli.
Kulirik Lily yang saat ini duduk di sampingku. Aku menyikut tubuhnya pelan. Gadis yang selalu bersamaku sejak kami kelas IX itu melirik ke arahku.
“Apaan, sih, Ta?” Dia setengah berteriak di tengah sorakan penggemar Irgi yang menggema di seluruh aula. Aku meringis, merapatkan kedua tangan menutup telinga, berusaha melindungi indra pendengaranku agar tidak terkontaminasi suara-suara tinggi mereka.
“Keluar, yuk! Di sini berisik!” ujarku mengandalkan gerakan bibir. Percuma mengeluarkan suara jika situasinya tidak kondusif seperti ini.
Pandangan Lily berubah ke arah lapangan tempat Irgi masih bertanding, lalu kembali menatapku dengan kening berkerut. “Tapi, pertandingannya belum beres, Ta. Bukannya Irgi minta lo nunggu ampe pertandingan beres?” ucap Lily sambil melakukan hal yang sama, menggunakan gerakan bibir untuk berkomunikasi denganku.
Aku berdiri, menarik pergelangan tangan Lily, dan bergegas meninggalkan tempat itu. Telingaku sudah tidak tahan mendengar teriakan histeris yang menggema di sana, bahkan tempat itu lebih terasa horor dibandingkan harus berdiam diri di dahan pohon seharian. Barangkali, karena aku tidak begitu menyukai tempat ramai. Atau, karena teriakan itu ditujukan untuk Irgian Senja Dipetra. Bulu kudukku berdiri ngeri seketika.
“Yaaah, Ta! Pertandingannya, kan, lagi seru, bentar lagi Irgi menang, tuh!” seru Lily kecewa setelah kami sudah berada di luar aula.
Aku memutar bola mata malas, teringat betapa keras kepalanya Irgi ketika memaksaku untuk ikut ke tempat ini. Jangan-jangan, dia sengaja ingin pamer padaku soal kehebatannya?
Aku mendengus. “Makin besar kepala dia kalo kita liatin.”
“Itu, kan, menurut lo,” dengus Lily memihak Irgi.
Aku memelotot sebal pada Lily, yang ditanggapi datar-datar saja. Cenderung tak acuh. Sebenarnya, Lily ini temannya siapa, sih? Aku atau Irgi?
“Udah, yuk, ah, balik. Bete, nih, gue.”
“Elah, Cinta, bentaran lagi kenapa, sih? Lagian, entar Irgi marah sama gue biarin lo balik gitu aja. Dia, kan, udah nitipin lo ke gue tadi.”
“Memangnya, gue barang, dititip-titipin? Lagian, sejak kapan lo jadi sekongkolannya Ir ... duh!” Tanpa sadar, karena berjalan sambil menanggapi Lily, aku malah menabrak seseorang yang membawa banyak tumpukan kertas. Akibatnya, kertas-kertas yang dibawanya itu kini malah berserakan.
“Nah, lho, Ta! Lo, sih, jalan enggak liat-liat!”
Kuabaikan ocehan Lily yang tidak penting, memilih membantu orang itu, yang kini sibuk mengumpulkan kertas-kertasnya.
“Maaf, Kak. Saya enggak sengaja, gara-gara temen saya, nih!”
Lily memelotot. “Kok, gue, sih, Ta? Kan, lo yang nabrak!”
“Kan, lo yang bikin gue enggak liat ke depan!”
Belum sempat Lily membalas, suara yang tidak lain berasal dari cowok yang barusan bertabrakan denganku menghentikan perselisihan antara aku dan Lily.
“Cinta?”
Aku dan Lily bersamaan menoleh ke arahnya.
“Kamu ... Cinta, kan?” tanya orang itu sambil menatapku lekat.
Aku melirik Lily, lalu mengangguk kaku. “Siapa, ya?” Dari mana dia tahu namaku? Rasanya, aku tidak mengenalnya. Kalau dari hasil pengamatan, sih, dia bukan berasal dari sekolah kami—terlihat dari seragam yang dia kenakan, di kerah seragamnya ada ukiran batik yang merupakan lambang seragam SMA Almahera. Sekolah yang sedang kutapaki ini.
Cowok itu tersenyum. “Ternyata masih semanis dulu, gue kira Bi bohong,” ujarnya masih tampak mengamati wajahku.
Aku mengernyit. Tidak mengerti arah pembicaraannya, sekaligus berusaha mengingat. Barangkali, aku memang pernah mengenalnya. “Cinta!” Suara lain yang sangat tidak asing menginterupsi pikiranku. Irgi.
“Gue, kan, bilang jangan ke mana-mana ampe gue beres. Enggak bisa nunggu bentaran banget, sih, lo?” Aku mendengus, tidak menghiraukan kicauan Irgi yang kini berjalan ke arahku. Kujatuhkan perhatian pada cowok yang bertabrakan denganku tadi. Tanpa ingin memperpanjang dan membuang waktu, sekali lagi kusampaikan maaf padanya.
“Sekali lagi maaf, ya, Kak. Kami permisi dulu.” Kutarik Lily bersamaku.
“Cinta! Cinta Bagaskara ... gue bilang berhenti!” teriakan Irgi masih terdengar. Tak lama kemudian, pergelangan tanganku ditariknya.
“Apaan, sih. Lepasin!”
Irgi masih mengenakan jersey sekolah kami. Sekujur tubuhnya masih dipenuhi peluh yang membanjir. Napasnya terengah, menegaskan dirinya baru saja menyelesaikan pertandingan. “Gue bilang tunggu ampe pertandingan beres.”
“Apa? Lo mau pamer kalo lo jago badminton gitu? Kalo lo punya sesuatu yang bisa bikin orang terkagum-kagum sama lo? Secara enggak langsung, lo mau nyindir gue yang enggak bisa apa-apa, kan?”