Aku mengamatinya dari sudut mata, dari dalam kelasku. Tepatnya di samping jendela tempat dudukku saat ini, aku bisa melihat Irgi asyik bersenang-senang dengan teman-temannya di lapangan memperebutkan bola.
Apa, sih, yang tidak bisa Irgi lakukan? Semua olahraga dia kuasai. Meski, saat ini fokusnya ada pada bulu tangkis, itu tidak mengurangi kepiawaiannya dalam hal sepak bola atau bola basket. Tidak adil rasanya melihat orang-orang di sekitarku begitu berkilau dengan kemahiran mereka, sedangkan aku tidak bisa melakukan dengan benar satu pun hal yang mereka lakukan.
“Hah ....” Tanpa sadar, aku mendesah pasrah. Menyadari betapa tidak berbakatnya aku melakukan apa pun.
Malas. Aku kembali melahap bekal makan siang sambil sesekali meliriknya, yang saat ini sudah menRasa yang Ditampik jadi primadona. Suara gadis-gadis yang mulai histeris meneriakkan namanya.
“Ta! Cinta! Hari ini lo bawa bekal apa?” Suara Lily sudah terdengar sebelum dia menerobos memasuki kelasku.
Dengan napas terengah, Lily mengambil tempat duduk di depan. Matanya berbinar melihat ke arah bekal makan siang yang sedang kusantap. Aku meraih kotak bekalku dan menunjukkan padanya. Tidak ada yang istimewa, kurasa, hanya menu ala Jepang yang kubuat sendiri.
“Enak! Gue mau!”
Aku mengernyit. Dia, kan, belum mencobanya, tahu dari mana makanan yang kumakan enak atau tidak? Meski, sebenarnya Lily sudah biasa memalak makan siangku seperti ini. Sudah menjadi kebiasaanku untuk menyiapkan bekal makan siang sendiri sejak beberapa tahun lalu.
Semua dimulai karena Bunda sering memaksaku membantunya memasak. Meski, awalnya ini paksaan—karena menurut Bunda ini lebih bermanfaat dibanding membuang waktu dengan kabur-kaburan saat beliau memintaku untuk belajar seperti Kak Arga atau Kak Bi—lambat laun aku menikmatinya, hingga semakin tertarik, bahkan sering mencoba menu-menu yang menurutku enak. Pada akhirnya, aku terbiasa memasak bekal makanku sendiri.
Zaman SMP dulu, karena terlalu seringnya Lily meminta bekal makan siangku, aku sempat beranggapan jangan-jangan dia mau berteman denganku hanya karena itu. Jujur saja, tidak banyak orang yang tahan dengan sikapku yang angin-anginan. Tapi, setelah dipikir-pikir, bukankah Lily sudah berteman denganku sebelum mencicipi masakan pertamaku? Mungkin, memang hanya Lily yang khilaf dan mau menjadi teman baikku sampai sekarang. Bahkan, ketika kelas kami terpisah di SMA pun, Lily tetap mau menempel padaku, meski terkadang aku tidak membawakannya bekal ekstra. Jadi, memang tidak seharusnya aku berpikiran sedangkal itu.
Aku meraih satu kotak makan siang ekstra yang kusimpan di kolong meja. Menyerahkannya pada Lily yang menerima dengan binar bahagia, seperti baru saja mendapatkan door prize yang amat sangat dia inginkan. Berlebihan sekali ekspresi wajahnya itu. Tanpa menunggu lama, Lily membuka kotak makan siang itu dan melahap isi di dalamnya menggunakan sumpit yang sudah kusiapkan.
“Ta! Seperti biasa, lo genius!” serunya, menatapku dengan pandangan berbinar.
Aku beralih menatap kotak makanku. Benarkah? Rasanya biasa saja, sama seperti hari-hari sebelumnya. Kalau dipikir-pikir, Lily memang selalu berlebihan jika menyangkut makanan. Lagi pula, apa, sih, yang menurutnya tidak enak? Kurasa, bagi seorang Lily Aurora semua makanan akan terasa enak, apalagi gratis.
Aku memilih diam dibanding menanggapi semua kata-kata Lily yang terlontar setiap memasukkan makanan ke mulutnya. Mataku bergerak liar melihat ke arah lapangan. Sepertinya, pertandingan sudah selesai. Lihat apa yang Irgi lakukan. Cowok menyebalkan itu sedang tebar pesona, membuat gadis-gadis yang mengerumuninya berteriak histeris tanpa henti. Aku mendengus, mencibir tanpa suara melihat kelakuannya.
“Kayaknya, lagi ada yang cemburu,” ucap Lily sambil melirik penuh maksud ke arahku.
Aku balas menatap dengan tanda tanya. Lirikan Lily yang terarah pada Irgi membuatku langsung mengerti maksud dari ucapannya. Mengangkat bahu tak acuh, aku menyuapkan satu gulung onigiri berbalut rumput laut kering ke dalam mulut.
“Yakin ...?” Suara Lily sarat nada menggoda. Aku menatap sahabatku ini malas, mengembuskan napas berat sebelum menjawab pertanyaannya.
“Itu masa lalu, Ly.”
“Enggak bisa dijadiin masa depan, gitu?”
“Lily!” Suaraku meninggi. Lily hanya terkekeh melihatku yang sudah memelotot ke arahnya.
Gadis itu kembali melanjutkan makan siangnya tanpa merasa bersalah. Hanya menyisakan kekehan kecil dengan matanya yang seolah hampir hilang karena tersenyum terlalu dalam kepadaku.
“Tapi, menurut lo Irgi aneh enggak, sih, akhirakhir ini?” tanyaku. Gulungan telur dadar yang kumasak dengan madu terhenti di depan mulutnya. Lily menatapku dengan alis menyatu, memperlihatkan kebingungannya atas perkataanku barusan. “Aneh gimana?” tanyanya, lalu membiarkan gulungan telur itu mendarat aman di lidahnya.
Aku menerawang. Berpikir sejenak tentang katakata yang akan kusampaikan pada Lily agar dia bisa mengerti apa yang ingin aku sampaikan.
“Hm ... gimana, ya? Lebih ....” Aku kehilangan kata-kata. Tidak tahu bagaimana cara menggambarkan sikap aneh Irgi yang akhir-akhir ini kurasakan.
“Lebih perhatian?” sambung Lily, membuatku bingung sendiri.
Benarkah? pikirku. Rasanya, Irgi tidak mungkin perhatian padaku. Tapi, tidak bisa dikatakan tidak juga. Perhatian. Kata itu terkesan manis sekali jika dikaitkan dengan Irgi. Sayangnya, dia tidak mungkin bersikap manis padaku.
“Gue enggak tau. Bingung mau jelasin kayak gimana. Yang gue rasain, sih, dia aneh.”
“Yang gue liat, sih, dia makin perhatian sama lo, makin peduli, makin dan makin segala-galanya,” godanya dengan mengedipkan sebelah mata.
“Jangan mulai,” dengusku.
Lily tertawa puas melihat ekspresiku yang mulai kesal dengan arah pembicaraan kami. “Kan, lo duluan yang ngajak ngomong soal dia. Gue, sih, cuma ngikut.” Aku meliriknya sinis. “Enggak inget gimana patah hatinya temen lo ini gara-gara, tuh, orang? Mau gue kayak gitu lagi?”
“Siapa yang patah hati?” Sela suara yang tibatiba hadir di dekat kami. Lebih tepatnya, orang itu masih berada di luar kelas, menumpukan siku pada kusen jendela kelas yang terbuka. Tubuhnya condong menghadapku.
Kutatap Lily yang kini menyeringai menahan tawa. Sial! Kenapa dia tidak bilang bahwa makhluk ini sudah ada di sini, sih?
“Tuh, si Cinta, lagi patah hati dia,” Lily puas dengan tawanya.
Awas kamu, Lily Aurora!
“Lo patah hati, Ta? Sama siapa?”
“Sama kodok! Terkutuk lo, Lily ...,” geramku melihat Lily yang sudah kabur ke kelasnya, menyisakan kotak makan siang kosong dan makhluk yang paling ingin kuhindari jika sudah membahas masalah perasaan seperti ini. Kualihkan kekesalanku pada makan siang yang belum juga habis. Padahal, aku makan lebih dulu, tapi si Lily menyebalkan itu yang lebih dulu menghabiskan makan siangnya. Dia memang monster pemakan segalanya!
Wortel rebus yang baru kuraih dengan sumpit berhenti di depan mulut. Kulirik tangan yang menahan gerakanku, lalu menatap sebal pada cowok yang dengan seenaknya menyuapkan wortel itu ke mulutnya— dia menggerakkan tanganku untuk melakukan itu.
“Lo udah beralih jadi penyuka berbeda spesies? Terus, nasibnya para monyet jantan gimana?” oloknya.
Aku menggigit bibir bawah dengan kesal sambil menyambar onigiri dengan kedua tangan. Tidak peduli lagi dengan sumpit yang sudah kusentak kasar. Gulungan onigiri itu kumasukkan paksa ke mulut Irgi yang sudah penuh. Kusumpal mulutnya tanpa memberinya kesempatan menelan.
“Ngadu ke bapak monyet!” sentakku, lalu pergi meninggalkannya dengan kesal.
Jam makan siangku jadi rusak!
****
Sepulang sekolah. Saat memasuki rumah. Aku yang sedang dalam suasana hati buruk gara-gara kejadian di sekolah, disambut oleh teriakan keponakanku yang menggemaskan. Daffandri Bagaskara. Putra pertama Kak Arga. Bocah kecil itu berlari ke arahku.
“Ante CINTAAA ....”
Wajahku semringah melihatnya menyambutku dengan senyuman lebar. Kuraih tubuhnya untuk segera menggendongnya.
“Kakak Daffa sama siapa ke sini?” tanyaku sambil mencium pipi tembamnya dengan gemas.
“Sama Ayah sama Unda, Nte,” jawab Daffa, menyembunyikan wajahnya di lekukan leherku.
“Udah mamam belum?” Aku berjalan menuju dapur, tempat pertama yang selalu kusinggahi setiap pulang sekolah untuk mengisi perut yang keroncongan.
“Belum, tuh, Ta. Susah disuruh makan siang dari tadi.” Terdengar suara seorang wanita yang tidak lain adalah Kak Zahra—istri Kak Arga—yang menjawabku setibanya di dapur.
Aku menghampiri kakak-iparku, mencium punggung tangan dan kedua pipinya. Kemudian, aku beralih lagi pada keponakanku yang menggemaskan.
“Kok, enggak mamam, sih? Kenapa?” Biasanya, bocah satu ini paling hobi makan, tidak beda jauh dengan tantenya.
“Kakak mau mamam pija, Nte, sama Ante Cinta.” Ibu bocah ini malah tersenyum melihat putranya yang mulai merajuk. Dengan perutnya yang sudah mulai membesar—karena di dalam sana terdapat calon keponakan baruku—Kak Zahra melangkah menuju kulkas, lalu menuangkan air mineral dingin ke dalam gelas yang dia bawa.
“Dari tadi Daffa nungguin kamu pulang. Katanya mau pergi sama Ante Cinta aja. Enggak mau sama Ayah atau Bunda,” tutur Kak Zahra sambil menyerahkan gelas air minum itu padaku.
Aku menenggaknya sampai habis, melepaskan dahaga yang sejak tadi kutahan saat berada di luar. Matahari memang sedang terik-teriknya siang ini.
“Makasih, Kak,” kataku nyengir pada kakak-iparku yang baik hati. Kak Zahra tersenyum lembut menerima ucapan terima kasihku.
“Ayo, Nte, kita pelgi, Kakak Daffa mau mamam pija, Nte.”
“Kakak Daffa, Ante Cinta-nya masih capek, Sayang, baru pulang sekolah. Kakak Daffa sama Bunda aja, yuk, beli pizanya? Mau, ya?” bujuk Kak Zahra pada putra mungilnya yang masih berada dalam gendonganku.
“Enggak mau! Kakak Daffa maunya sama Ante Cinta pokoknya! Enggak mau sama Unda!”
Bocah itu kembali menatapku penuh harap dengan sepasang matanya yang mulai berkaca-kaca. Aku tersenyum mengusap pipinya dengan lembut. Apa boleh buat, memang sulit menjadi tante yang begitu dicintai keponakannya.
“Oke, kita pergi. Tapi, Kakak Daffa tunggu sini dulu, ya. Ante mau mandi sama ganti baju dulu, abis itu kita beli piza. Setuju?”
Daffa segera mengangguk bersemangat disertai senyum semringah yang menghiasi wajah tampannya. Bocah itu kemudian turun dari gendonganku. Berlari entah ke mana sambil berteriak, “Nenek ... Ayaaah ... Kakak Daffa mau pelgi sama Ante Cinta beli pija, dong...,” ujarnya membuatku tertawa.
“Maaf, ya, Ta ... jadi ngerepotin kamu. Padahal, kamu masih capek. Kamu tau sendiri kalo Daffa ada maunya pasti kayak gitu.”