Cinta di Antara Dua Dunia

Risti Windri Pabendan
Chapter #2

Bab 2. Dunia yang Tak Kukenali

Kepalaku berdenyut-denyut, sebuah orkestra nyeri yang memainkan simfoninya dengan intensitas yang menyiksa di belakang mataku dan di sepanjang pelipis. Setiap denyutan terasa seperti tusukan jarum yang panas, membuatku mengerang pelan, berusaha sekuat tenaga untuk mengabaikan sensasi yang menyakitkan itu. Dengan susah payah, dengan mengerahkan seluruh sisa tenagaku, kelopak mataku akhirnya terbuka, beradaptasi dengan cahaya yang asing dan tak kukenali.

Dingin.

Bukan dingin yang familier dan menenangkan, bukan sejuknya pendingin ruangan di Senja Kopi yang selalu melegakan dari panasnya Jakarta yang menyesakkan. Ini adalah dingin yang merasuk, yang menggigit hingga ke sumsum tulang, yang membuatku menggigil tak terkendali meskipun aku berusaha sekuat tenaga untuk menahannya. Seolah-olah aku telah dilempar ke puncak gunung yang diselimuti es abadi, telanjang dan tanpa perlindungan, hanya mengenakan gaun tipis yang tak mampu menahan gigitan angin yang membekukan. Dingin yang membuatku merasa rapuh dan rentan, terisolasi di tengah dunia yang asing.

Kebingungan menyerangku seperti gelombang pasang yang ganas, menyapu bersih semua pikiran yang rasional dan meninggalkan kekosongan yang menakutkan. Di mana aku? Tempat apa ini? Tidak ada yang terasa familier, tidak ada yang bisa kukenali. Semuanya asing, aneh, dan sekaligus menakutkan. Aku merasa seperti bayi yang baru lahir, terlempar ke dunia yang sama sekali tidak kukenali, tanpa panduan, tanpa petunjuk, tanpa harapan.

Terakhir kali aku ingat… cahaya. Cahaya yang membutakan, yang tiba-tiba meledak di atas langit-langit Senja Kopi, memecah keakraban dan kenyamanan kedai kopi itu menjadi kepingan-kepingan memori yang kabur dan tak jelas. Portal. Sebuah pusaran energi yang aneh, berputar-putar dengan kekuatan yang tak bisa kupahami, memancarkan warna-warna yang belum pernah kulihat sebelumnya, sebuah kaleidoskop yang mustahil. Aku tersedot ke dalamnya, ditarik oleh gaya yang tak tertahankan, tubuhku melayang dan berputar seperti daun kering yang tertangkap angin puyuh yang ganas, tanpa kendali, tanpa daya. Lalu… kegelapan. Kehilangan kesadaran yang menyelamatkan, sebuah jeda dari kengerian yang tak terlukiskan, sebuah pelarian sementara dari kenyataan yang menakutkan.

Dan sekarang, aku di sini.

Terbaring di atas hamparan rumput yang aneh. Bukan hijau subur yang biasa kulihat di taman-taman Jakarta yang terawat rapi, bukan hijaunya lapangan golf yang dipangkas dengan obsesi dan kesempurnaan yang menjemukan. Rumput ini berwarna kebiruan, seperti laut dalam yang memantulkan cahaya bulan yang pucat dan misterius. Warna yang menenangkan, namun tetap terasa asing dan tidak wajar, seperti mimpi yang tak pernah kubayangkan, sebuah visi yang diambil dari alam bawah sadarku yang paling dalam, sebuah lanskap yang mustahil. Seolah-olah seorang pelukis gila telah mencampurkan tinta langit dan laut, menciptakan warna yang tak pernah ada sebelumnya, sebuah simfoni visual yang mustahil, sebuah pelanggaran terhadap hukum alam.

Di sekelilingku, pepohonan menjulang tinggi, pilar-pilar perak yang menopang langit ungu yang luas dan tak berujung. Batang-batangnya halus dan berkilauan, memantulkan cahaya dengan cara yang mempesona, menciptakan ilusi bahwa mereka terbuat dari perak cair yang berkilauan, sebuah pemandangan yang memukau dan menakutkan. Daun-daunnya bukan seperti daun yang kukenal, bukan hijau dan lebar seperti daun pohon mangga di halaman rumahku yang selalu memberikan keteduhan. Mereka berkilauan seperti kristal yang rapuh, setiap helainya memancarkan cahaya lembut berwarna-warni, seperti permata yang tergantung di dahan-dahan pohon, sebuah harta karun yang tak ternilai harganya. Saat angin bertiup, mereka berdenting lembut, menciptakan musik yang aneh dan menenangkan, sebuah melodi yang tak pernah kudengar sebelumnya, sebuah simfoni alam yang mempesona.

Langit di atasku bukan biru cerah seperti langit Jakarta yang sering kali tercemar polusi dan asap knalpot. Di sini, langit berwarna ungu tua, seperti anggur yang matang di bawah terik matahari yang membakar. Warna yang dalam dan misterius, membuatku merasa kecil dan tak berarti, seperti setitik debu di alam semesta yang luas dan tak terjangkau. Dan di sana, tergantung di langit, dua buah bulan. Bukan satu, melainkan dua. Mereka tidak bulat dan perak seperti bulan yang kukenal, bulan yang selalu menemaniku di malam-malam sepi

Langit di atasku bukan biru cerah seperti langit Jakarta yang sering kali tercemar polusi dan asap knalpot. Di sini, langit berwarna ungu tua, seperti anggur yang matang di bawah terik matahari yang membakar. Warna yang dalam dan misterius, membuatku merasa kecil dan tak berarti, seperti setitik debu di alam semesta yang luas dan tak terjangkau. Dan di sana, tergantung di langit, dua buah bulan. Bukan satu, melainkan dua. Mereka tidak bulat dan perak seperti bulan yang kukenal, bulan yang selalu menemaniku di malam-malam sepi. Bulan-bulan ini berbentuk sabit, melengkung seperti senyuman misterius yang menyimpan rahasia yang tak terungkapkan, dan berwarna keemasan, memancarkan cahaya hangat yang menenangkan, seolah-olah mereka adalah mata dewa yang mengawasiku dari kejauhan.

Ini bukan Jakarta. Ini bukan Bumi. Aku tahu itu dengan pasti, dengan keyakinan yang tumbuh di dalam hatiku seperti akar pohon yang kuat, menembus keraguan dan ketakutan. Aku telah melintasi batas antara dunia, terlempar ke tempat yang tak seharusnya ada, tempat yang hanya ada dalam imajinasi liar para penulis fantasi dan mimpi-mimpi anehku.

Aku bangkit, tubuhku terasa berat dan lemas, seperti terbuat dari timah yang dingin. Pusing menyerangku seperti ombak yang ganas, membuatku terhuyung dan hampir kehilangan keseimbangan. Aku mencoba menyeimbangkan diri, tapi kakiku gemetar tak terkendali, menolak untuk menopang berat tubuhku yang tiba-tiba terasa asing. Aku hampir jatuh kembali ke tanah, tapi berhasil meraih batang pohon perak yang besar untuk menopang diri, menggenggamnya erat-erat seolah-olah itu adalah satu-satunya hal yang bisa menyelamatkanku dari jurang keputusasaan.

Gaun putihku kotor dan robek, bukti perjalanan yang mengerikan melalui portal itu, sebuah saksi bisu dari kengerian yang baru saja kualami. Gaun favoritku, hadiah dari Ibu untuk ulang tahunku yang ke-20, kini compang-camping dan menyedihkan, sebuah ironi yang pahit.

Dengan tangan gemetar, aku meraba saku gaunku, mencari ponselku. Harapan yang sia-sia, aku tahu, tapi aku tak punya pilihan lain. Aku mengeluarkan ponselku dan menekan tombol power. Layarnya menyala, menampilkan pesan "Tidak Ada Layanan" dengan huruf-huruf yang mengejek. Tentu saja. Aku menghela napas panjang dan mematikan ponselku, menyadari dengan getir bahwa teknologi canggih yang selalu kubanggakan tidak berguna di tempat ini.

"Halo? Ada orang di sini?" teriakku, suaraku pecah di keheningan dunia asing ini, terdengar kecil dan tak berarti. Aku tahu itu bodoh, mungkin berbahaya, tapi aku merasa putus asa, terdorong oleh naluri untuk bertahan hidup. Aku sendirian, tersesat, dan ketakutan, dan aku membutuhkan bantuan, siapapun itu.

Tidak ada jawaban. Hanya desiran angin di antara pepohonan perak dan suara-suara aneh dari makhluk yang tak terlihat, bisikan-bisikan misterius yang membuat bulu kudukku berdiri dan jantungku berdebar kencang.

Lihat selengkapnya