Cinta di Antara Dua Dunia

Risti Windri Pabendan
Chapter #3

bab 3 Tiba di Etheria

"Dia adalah pewaris takhta kerajaan Etheria," jawab Lyra. "Dia adalah harapan terakhir kami."

Aku menatap Lyra dengan tatapan bingung yang mungkin terlihat bodoh. Pangeran? Kerajaan? Harapan terakhir? Apa ini? Opera sabun fantasi? Aku merasa seperti baru saja terlempar ke dalam produksi film dengan anggaran besar, dan aku bahkan tidak tahu dialogku.

"Aku... aku tidak mengerti," kataku, kejujuran adalah satu-satunya senjataku saat ini. "Kenapa aku harus bertemu dengan Pangeran Rhys? Apa hubungannya denganku? Aku hanya seorang barista!"

Lyra tersenyum, senyum yang menyimpan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. "Itu adalah sesuatu yang harus kau temukan sendiri, Aisha. Tapi percayalah padaku, Pangeran Rhys adalah orang yang tepat untuk membantumu memahami semua ini. Takdir mempertemukan kalian."

"Takdir?" Aku mendengus. "Aku tidak percaya takdir. Aku percaya pada kerja keras dan kopi yang enak."

"Takdir memiliki cara yang lucu untuk bekerja," kata Lyra, mengabaikan sarkasmeku. "Terkadang, ia menyamar sebagai kebetulan."

"Oke, anggap saja aku percaya," kataku, menyerah pada argumen yang tak mungkin kumengerti. "Bagaimana aku bisa menemukannya? Aku tidak tahu di mana Istana Cahaya berada. Aku bahkan tidak tahu arah mata angin di dunia aneh ini!"

"Ikuti saja sungai pelangi," jawab Lyra, kelopaknya sedikit bergetar. "Sungai itu akan membawamu langsung ke istana. Airnya adalah penuntunmu. Tapi berhati-hatilah, perjalanan itu tidak akan mudah. Ada banyak bahaya yang mengintai di sepanjang jalan."

"Bahaya?" Aku menelan ludah, tenggorokanku terasa kering. "Bahaya seperti apa? Apakah ada monster? Aku benci monster."

"Monster, jebakan, dan... Penyihir Kegelapan," jawab Lyra dengan nada serius yang membuatku merinding. "Dia akan melakukan apapun untuk menghentikanmu. Kekuatannya menjangkau seluruh Etheria."

Penyihir Kegelapan. Nama itu lagi. Seperti gema dari mimpi buruk yang tak bisa kuingat sepenuhnya. "Kenapa dia ingin menghentikanku? Aku bukan siapa-siapa."

"Kau lebih dari yang kau tahu, Aisha," kata Lyra, matanya bersinar dengan cahaya yang aneh. "Kau memiliki sesuatu yang dia inginkan."

"Sesuatu? Seperti apa?" Aku meraba-raba diriku sendiri, merasa seperti sedang mengikuti audisi untuk peran dalam film mata-mata. "Apakah ini semacam misi rahasia? Apakah aku agen rahasia sekarang?"

"Waktunya akan tiba untuk mengetahui segalanya," kata Lyra, menghindari pertanyaanku. "Untuk saat ini, kau harus percaya pada dirimu sendiri."

"Aku... aku takut," kataku, mengakui kelemahanku. Aku hanyalah seorang gadis biasa, bagaimana aku bisa menghadapi semua ini? "Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukan ini. Aku bahkan tidak tahu cara bertarung!"

"Kau lebih kuat dari yang kau kira, Aisha," kata Lyra dengan lembut, kelopaknya menyentuhku dengan sentuhan yang menenangkan. "Kau memiliki keberanian dan kecerdasan di dalam dirimu. Kau hanya perlu menemukannya. Etheria akan membantumu."

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanianku yang tersisa. Lyra benar, aku tidak bisa menyerah begitu saja. Aku harus mencari tahu apa yang terjadi dan melakukan apapun yang aku bisa untuk membantu, bahkan jika itu berarti menghadapi Penyihir Kegelapan.

"Baiklah," kataku dengan suara yang lebih mantap, meskipun kakiku masih gemetar dan jantungku berdebar kencang seperti genderang perang. "Aku akan pergi ke Istana Cahaya. Aku akan bertemu dengan Pangeran Rhys. Aku akan melakukan apapun yang aku bisa."

"Itu adalah keputusan yang bijaksana," kata Lyra, senyumnya merekah seperti matahari terbit. "Aku percaya padamu, Aisha. Etheria percaya padamu. Semoga berhasil dalam perjalananmu."

Aku mengucapkan selamat tinggal kepada Lyra, bunga yang bisa berbicara itu, dan mulai berjalan menyusuri sungai pelangi. Airnya berkilauan dengan warna-warna yang mempesona, menciptakan pemandangan yang menakjubkan, sebuah lukisan surealis yang hidup dan bernapas. Aku mengikuti aliran sungai, berjalan melewati pepohonan perak yang menjulang tinggi dan padang rumput kebiruan yang luas.

Perjalanan itu memang tidak mudah, seperti yang telah diperingatkan Lyra. Aku harus menghindari monster-monster kecil yang mencoba menyerangku dengan gigi dan cakar tajam, melompati jebakan-jebakan yang tersembunyi di tanah, lubang-lubang yang menganga yang siap menelanku ke dalam kegelapan abadi, dan menahan godaan untuk menyerah dan kembali ke Jakarta, kembali ke kehidupan yang aman dan nyaman yang dulu kukenal.

Di tengah perjalanan, saat matahari keemasan mulai terbenam di balik cakrawala ungu, aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Aku berhenti dan bersembunyi di balik sebuah pohon besar, jantungku berdebar kencang seperti burung yang terperangkap dalam sangkar.

Lihat selengkapnya