Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai tipis di kamar Alina, memantulkan kilauan lembut di dinding yang dipenuhi lukisan bunga liar. Alina duduk di kursi roda di samping jendela besar, tempat favoritnya. Di sana, ia bisa melihat kehidupan kecil di luar: anak-anak yang bermain di jalan setapak, burung-burung yang berkicau di dahan pohon mangga, dan taman kecil yang selalu tampak hijau, meskipun hujan atau terik matahari.
Namun, pagi itu ada sesuatu yang berbeda. Seorang pemuda yang tak pernah ia lihat sebelumnya duduk di bangku taman dengan kanvas besar di hadapannya. Pemuda itu mengenakan kaus lusuh dan jeans yang sedikit pudar. Tangannya dengan cekatan menggoreskan kuas ke kanvas, seolah dunia di sekitarnya tak lagi berarti.
Alina tertegun. Biasanya taman itu hanya dipenuhi ibu-ibu yang membawa anak-anak mereka bermain, atau pedagang keliling yang singgah untuk beristirahat. Tapi pemuda ini—ada sesuatu tentangnya yang membuat Alina tidak bisa mengalihkan pandangan.
“Siapa dia?” gumam Alina pelan, sambil memiringkan kepalanya.
“Siapa siapa?” suara lembut Ibu mengejutkannya. Wanita itu masuk sambil membawa segelas susu hangat dan piring kecil berisi roti selai stroberi, meletakkannya di meja kecil di samping Alina.
“Laki-laki itu, di taman,” jawab Alina, menunjuk dengan dagunya ke arah pemuda yang masih sibuk melukis.
Ibu melirik ke luar jendela. “Oh, mungkin pendatang baru. Belum pernah Ibu lihat sebelumnya,” katanya ringan. Ia kemudian menyibukkan diri membereskan tumpukan buku di meja belajar Alina.
Alina tidak menjawab. Matanya kembali tertuju pada pemuda itu. Penasaran bercampur kagum mulai merayapi pikirannya. Siapa dia? Apa yang dilukisnya?
Selama berjam-jam, Alina memerhatikan pemuda itu, bahkan ketika ia memutuskan untuk istirahat dan duduk sambil menikmati minuman dari termos kecilnya. Setiap gerakannya terasa seperti misteri yang ingin Alina pecahkan.
Hari mulai beranjak sore ketika pemuda itu akhirnya berdiri, menggulung kanvasnya, dan berjalan pergi tanpa menoleh sedikit pun. Alina merasa ada kekosongan tiba-tiba di taman itu.
“Dia akan kembali besok,” pikir Alina penuh harap. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada sesuatu yang dinantikan.
Namun, di balik rasa ingin tahunya, Alina tidak tahu bahwa pertemuan tak langsung itu akan membawa perubahan besar dalam hidupnya—sesuatu yang selama ini ia pikir mustahil terjadi, sebuah cinta yang perlahan tumbuh dari balik jendela.
Keesokan paginya, Alina sudah berada di dekat jendela bahkan sebelum matahari terbit sepenuhnya. Jendela itu sekarang terasa seperti gerbang kecil yang menghubungkannya dengan dunia luar dan dengan pemuda misterius itu.
Ketika cahaya pagi mulai menghangatkan taman, sosok yang dinantikannya muncul. Pemuda itu kembali dengan membawa kanvas dan perlengkapan melukis. Ia mengenakan jaket cokelat tua dan topi kusam yang menutupi sebagian wajahnya. Kali ini, ia tampak lebih tenang, meski tetap sibuk dengan kanvas di depannya.
Alina memperhatikannya dengan seksama. Sesekali, pemuda itu mengangkat wajah, memandangi pohon, bunga, atau burung yang terbang melintas. Lalu, dengan lincah, tangannya kembali bergerak di atas kanvas. Alina penasaran, seperti apa lukisan itu? Apakah ia sedang melukis taman? Atau mungkin sesuatu yang lain?