Cinta Di Balik Jendela

Eko Hadisusilo
Chapter #2

Dunia yang Terlukis



Hari-hari setelah pertemuan pertama itu, Alina mulai merasakan perubahan yang aneh namun menyegarkan dalam hidupnya. Setiap pagi, ia akan menunggu dengan penuh harap di balik jendela, berharap melihat Arga kembali ke taman dengan kanvas dan kuasnya. Dan setiap kali ia melihat Arga duduk di sana, ia merasa jantungnya berdebar lebih cepat, seolah dunia luar tiba-tiba terasa lebih dekat meski ia masih di dalam rumah.


Mereka mulai berbicara lebih sering. Setiap kali Arga datang, ia akan membawa lukisan baru untuk Alina—lukisan-lukisan yang menggambarkan dunia yang Alina hanya bisa impikan: jalan-jalan kecil yang penuh bunga, pohon-pohon besar dengan daun-daun yang berkilau di bawah sinar matahari, dan pemandangan langit yang penuh warna senja. Semua itu seakan menjadi hadiah bagi Alina yang terkurung di balik dinding rumahnya.


Suatu sore, setelah beberapa minggu mereka berkenalan, Arga datang dengan lukisan yang sangat berbeda. Kali ini, kanvas itu lebih gelap, dengan goresan-goresan kasar yang tidak biasa. Ada ekspresi kesedihan yang mendalam dalam lukisan itu, yang membuat Alina terdiam lama saat melihatnya.


“Apa yang terjadi, Arga?” tanya Alina dengan suara lembut, khawatir melihat perubahan dalam lukisan Arga.


Arga duduk di bangku taman, memandangi lukisan itu dengan mata kosong. “Ini… ini tentang masa laluku,” jawabnya pelan. “Aku melukisnya karena aku merasa terperangkap dalam kenangan buruk. Kenangan yang sulit untuk dilepaskan.”


Alina bisa merasakan ada kesedihan yang mendalam dalam kata-kata Arga, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa Arga bukan hanya pemuda yang ceria dengan senyum yang hangat. Ada bagian dari dirinya yang terluka, sebuah cerita yang tidak bisa ia ungkapkan dengan mudah.


“Kenapa kamu tidak mengungkapkan semuanya?” tanya Alina, matanya memandang Arga dengan penuh perhatian. “Aku… aku bisa mendengarkan, kalau itu bisa membantumu.”


Arga terdiam lama, menatap kanvasnya seolah mencari jawaban di sana. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Ada banyak hal yang menyakitkan… dan aku rasa, tidak semua orang bisa mengerti.”


Alina bisa merasakan betapa berat beban itu. Ia tahu, walau ia tidak bisa merasakan apa yang Arga rasakan, ia ingin menjadi tempat yang aman bagi pemuda itu. “Tapi aku di sini, Arga. Aku ingin memahami kamu, meski hanya sedikit. Kita bisa berbagi cerita.”


Arga menatapnya sejenak, lalu perlahan tersenyum, meskipun senyumnya masih menyisakan kesedihan. “Kamu baik sekali, Alina. Aku tidak pernah bertemu dengan seseorang yang bisa begitu peduli tanpa tahu semua cerita.”


Setelah beberapa saat, Arga akhirnya mulai bercerita. Ia menceritakan tentang kehilangan yang ia alami, tentang mimpi yang pernah hancur, dan bagaimana lukisan menjadi satu-satunya cara baginya untuk mengekspresikan perasaan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Alina mendengarkan dengan seksama, merasakan setiap kata yang keluar dari bibir Arga.


“Aku rasa aku terlalu lama mengurung diriku dalam kenangan itu,” kata Arga setelah selesai bercerita. “Dan entah mengapa, kamu datang dan… semuanya terasa berbeda. Seperti aku bisa sedikit melepaskan beban itu.”


Alina tersenyum, merasa ada ikatan yang semakin kuat di antara mereka. “Kadang, kita hanya perlu seseorang untuk mengingatkan kita bahwa dunia ini masih punya keindahan, Arga. Dan aku percaya, kamu bisa menemukan kembali kebahagiaan yang hilang itu.”


Hari-hari setelah itu, hubungan mereka semakin dekat. Arga tidak hanya melukis dunia untuk Alina, tetapi juga mulai membuka lebih banyak tentang dirinya. Setiap lukisan yang ia buat, semakin berbicara tentang perjalanan batinnya—dari kelamnya kenangan hingga harapan yang perlahan tumbuh kembali.

Lihat selengkapnya